Papi Bertakdir, Anak Melawan Takdir

Facebook
Twitter
WhatsApp
Eks Ketua Dema Universitas UIN Alauddin Makassar, Askar Nur.

Oleh: Askar Nur

“Jangan ki’ begitu! Sebelum buat ki’ sebuah aturan, harus dulu ditahu permasalahan yang sebenarnya, memahami kondisi orang yang akan menerima aturan tersebut dan utamanya jangan ki’ karena masalah yang hanya dibuat oleh segelintir orang kemudian digeneralkan atau disamakan semua orang.”

“Pi, yang namanya aturan harus dirembukkan secara bersama, melibatkan elemen-elemen yang terkait dengan aturan tersebut khususnya mereka yang menjadi sasaran aturan,” lanjutnya. “Jangan hanya karena kebutuhan atasannya Papi lantas sebuah aturan diterbitkan. Papi ini adalah seorang pemimpin yang bertanggungjawab kepada semua yang dipimpinnya, jadi harus lebih mengutamakan kebutuhan yang dipimpin daripada atasannya Papi. Oleh karenanya, sebelum mem…….”

“Mi, jangan ki’ ajari Papi. Mami tidak tahu apa-apa selain mengurusi rumah tangga. Papi tahu yang mana baik bagi orang-orang yang Papi pimpin. Mau tidak mau saya harus tetap menjalankan perintah untuk membuat aturan ini. Saya menjadi seperti sekarang berkat atasan, Mi lagian aturan ini atas nama kesejahteraan dan keamanan. Kalaupun aturan ini tidak sesuai dengan spirit awalnya pada kehidupan nyata, Papi tidak urus dan yang terpenting Papi patuh pada atasan. Itu saja!”, seketika memotong pembicaraan istrinya dengan nada suara yang sedikit tinggi dan sang istri hanya mampu diam sembari membersihkan meja dari gelas-gelas bekas teh dan kopi, kemudian bergegas membelakangi suaminya menuju dapur namun dari raut wajahnya, dia nampak sangat sedih dengan perkataan suaminya.

***

“Nak, harus ki’ tahu bahwa Papi mampu seperti ini sekarang, memperoleh kehidupan yang cukup layak bersama keluarga, tidak terlepas dari usaha dan perjuangan keras. Papi lahir dari rahim seorang ibu dan keringat seorang bapak dengan tingkat ekonomi terbelakang.”

Sejenak menyeruput kopi yang telah dihidangkan oleh sang istri di atas meja dan berhadapan dengan si buah hatinya yang sigap mendengar risalah dari papinya. “Papi tak pernah berhenti berjuang, Papi sangat percaya bahwa nasib suatu kaum tidak mustahil untuk berubah jika ia memiliki keinginan kuat untuk mengubahnya. Segala sesuatu yang ada di alam materi ini pasti masih dapat dikendalikan oleh manusia. Meskipun kematian, jodoh dan rejeki adalah perkara yang telah ditetapkan oleh-Nya namun manusia tak boleh lepas daripada yang namanya ikhtiar. Nak, lawan ki’ takdir ta’! jangan ki’ gampang menyerah dengan sebuah kondisi dan menyandarkan segalanya kepada-Nya. Harus ki’ dulu berusaha keras!”, lanjutnya.

Mendengar risalah Papinya, sang anak pun yang saat itu baru beranjak kelas 3 di salah satu sekolah menengah atas nampak sangat bergairah dalam hidupnya. Meskipun usianya masih terbilang dini, tapi cara berpikirnya layaknya orang dewasa pada umumnya.

Ia bersemangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi anehnya. Yah mimpi yang benar-benar aneh. Betapa tidak, ia ingin mengetahui jumlah nyamuk yang mati setiap malam dalam tepukan tangan orang-orang yang tidur di bawah kolong jembatan. Siapapun yang mendengar mimpi itu, pasti akan berpikir bahwa itu adalah keanehan yang akut. Seharusnya seorang anak yang hidup dengan kasih sayang kemewahan yang acap buat iri tetangga tak memiliki cita-cita yang begitu aneh.

Ia seharusnya memiliki mimpi untuk menjadi pengusaha hingga orang kaya seperti kebanyakan orang di bumi ini di kemudian hari setidaknya mirip dengan Papinya yang jauh hari telah berusaha keras untuk sebuah kehidupan yang layak.

“Papi dan Mami adalah orang hebat.” Menghampiri Maminya yang tengah membaca koran di pagi hari dengan headline berita yang nampaknya sangat menyita fokusnya.

“Nak, kamu harus lebih hebat dari kami nantinya.” Tanpa perasaan heran atas pernyataan anaknya yang tiba-tiba. Ia kembali menyeduh teh hangat di atas meja. Seduhan pertama tampak ia masih fokus dengan kabar hangat pagi ini dalam koran dan seduhan kedua kalinya rasa penasaran pun menghampirinya.

“Nak, kenapa tadi berkata bahwa Papi dan Mami itu adalah orang hebat?”, sembari menanggalkan koran di tangannya dan fokus pada penyataan anaknya. Seolah tak ada kabar hangat dalam koran Makassar hari ini seperti ujaran Aan Mansur bahwa tak ada New York hari ini. Cuman bedanya di New York tak ada Payyabo-yabo’ di subuh hari dan manusia gerobak di bawah lampu lalu lintas.

“Mi, saya kan punya mimpi besar, saya ingin tahu jumlah nyamuk yang mati setiap malam. Tapi Papi dan Mami tak pernah membunuh nyamuk saya lihat dan di rumah ini tak ada nyamuk, tak seperti orang-orang yang tidur di pinggir jalan dan di bawah kolong jembatan.” Membereskan piring sarapannya dan membawanya ke belakang.

“Mereka setiap malam membunuh ratusan nyamuk dan mereka sangat merasa terganggu sementara Papi dan Mami bisa tidur nyaman tanpa nyamuk dan saya bahagia karena Papi dan Mami bukan pembunuh. Kalian berdua adalah orang hebat.” Sambil memasang kedua sepatunya dan bersiap menuju sekolah.

Keluar dari kamar menuju dapur dan mendengar pernyataan anaknya, “Papi dan Mami memang orang hebat dan memiliki anak yang tidak kalah hebat. Di rumah ini memang tidak ada nyamuk kan kita punya AC jadi nyamuk takut mendekat.” Memotong pernyataan istrinya yang hendak berkomentar dengan pernyataan anaknya.

“Kalau begitu Papi dan Mami harus memberikan mereka yang tidur di pinggir jalan dan di bawah kolong jembatan AC juga supaya tidak menjadi pembunuh nyamuk lagi.” Merasa sedikit heran dengan kehadiran Papinya yang tiba-tiba.

“Seharusnya mereka harus berusaha dan bekerja keras supaya bisa beli AC tapi mereka adalah orang-orang yang malas bekerja, Nak.”

“Mereka tidak malas, Pi. Buktinya mereka tetap bekerja mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual. Setiap hari mereka begitu.” Sanggah anaknya.

“Sudah sudah, nanti dilanjut lagi pembicaraannya. Papi kan ada meeting hari ini di kampus dan Nawal harus berangkat sekolah nanti terlambat.” Potong istrinya saat pembicaraan keduanya sedang hangat.

“Ow iya, hampir lupa hari ini kan Papi ada meeting dengan pimpinan-pimpinan fakultas untuk bahas penerbitan aturan baru.” Sambil dasinya diperbaiki oleh istrinya.

“Aturan apa Pi?” tanya anaknya dengan cukup penasaran

“Nawal, berangkat sekarang yah nanti terlambat. Itu supir kasihan dari tadi menunggu.”

Saat setelah kepergian anaknya menuju sekolah, sang istri bertanya kepada suaminya perihal aturan baru yang sempat ia ceritakan. Namun suaminya tak punya niatan untuk mengubris pertanyaan istrinya. Artinya ia telah memutuskan untuk tetap mengeluarkan kebijakan tersebut tanpa mempertimbangkan saran sang istri. Sang istri hanya mampu diam dan diam-diam mendoakan keselamatan bagi sang suami yang selama ini ia kenal dengan jiwa kepedulian terhadap sesama namun nampaknya citra itu telah digilas waktu yang begitu tajam. Waktu yang hanya memprioritaskan setiap kinerja atas nama kemanusiaan dan kesejahteraan. Yah, hanya atas nama tapi tak terjadi dalam kenyataan bak janji tapi tak lekas ditunaikan. Entah kapan dan sampai kapan. Kita hanya dapat tertawa bersama Anton Chekov, menertawai diri dan mereka. Diri yang bodoh dan mereka yang membodohi.

***

“Demi menjaga keamanan dan ketertiban kampus, aturan ini harus kita segera sahkan.” Dalam sebuah ruangan, deretan kursi yang rapi dan orang-orang yang rapi. Tak banyak bicara dan hanya udara kaku yang hadir.

“Tapi pak, apakah aturan ini disepakati oleh semua masyarakat di kampus ini?” tanya salah seorang pejabat yang agak sedikit memaksakan diri untuk bicara dengan bulir keringat di dahinya menandakan antara ia sedang kepanasan atau ketakutan. AC ruangan dengan volume yang mampu membekukan setiap orang yang diam.

“Pemegang kendali tertinggi di kampus berada di tangan kita yang berada dalam ruangan ini jadi apapun yang kita sepakati di sini harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat kampus. Lagian aturan ini dibuat demi keamanan dan kesejahteraan bersama.” Jawabnya seolah tak mengharapkan lagi penyangkalan melainkan penerimaan.

Seisi ruangan seketika hening dan tak ada suara nyinyiran serangga yang lebih dulu terusir pengharum ruangan dan AC. Diamnya mereka adalah sebuah tanda penerimaan atas segala kehendak pimpinan tertinggi kampus.

Tilly dalam “Politik Jatah Preman” hasil garapan Ian Douglas Wilson seketika mengawakili pendapat beberapa orang dalam ruangan yang sebenarnya hendak mengeluarkan kata-kata namun tak punya kuasa. Dalih keamanan acapkali menjelma menjadi senjata pamungkas dalam pembuatan sebuah aturan. Namun setidaknya Tilly mencolek kita semua perihal keamanan itu sendiri. Baginya, keamanan itu bak pisau bermata dua. Satu sisi terdengar menenangkan dan lain sisi terdengar menakutkan.

Betapa tidak, keamanan yang menenangkan adalah merasa terjaga dan keamanan yang menakutkan seperti seorang rentenir pasar yang sedang menagih pajak keamanan kepada para pedagang yang bahkan jualannya belum ada yang laku. Melihat tubuh kekar berseragam adalah penampakan ketakutan bagi mereka.

“Pi, apakah di kampus yang Papi tempati banyak nyamuk kalau malam hari? Berapa banyak nyamuk yang dibunuh mahasiswa setiap malam di kampus, Pi?” tiba-tiba pertanyaan itu melayang dari bibir anaknya yang baru saja menyelesaikan PR.

Pertanyaan yang kiranya sangat ngawur namun sebagai seorang bapak yang menyayangi anaknya, ia tetap harus menjawab pertanyaan aneh anaknya.

“Di kampus tidak ada nyamuk dan mahasiswa Papi tidak membunuh nyamuk. Membunuh kan adalah dosa. Makanya jam 5 sore mahasiswa harus meninggalkan kampus dan itu ada aturannya.” Sambil menahan tawa dengan jawaban yang juga ngawur. Seorang anak yang menginjak usia remaja tentu jawaban yang dilontarkan Papinya kurang masuk di akalnya meskipun mimpinya hendak menghitung nyamuk yang mati setiap malam merupakan sesuatu yang ngawur dan pertanyaan anak SD tapi Nawal telah menginjak usia dewasa dan sebuah mimpi tidak memandang usia seseorang.

“Aturan tentang apa, Pi? Dilarang membunuh nyamuk?” tanyanya dengan rasa penasaran.

“Aturan mengenai batas beraktivitas di kampus pada malam hari agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan secara bersama.” Jawabnya jujur pada anaknya.

“Ow, begitu Pi. Kira-kira aturan yang Papi buat diterima oleh mahasiswa?” tambahnya.

“Yah, kiranya harus diindahkan oleh mahasiswa. Aturan tersebut lahir bukan tanpa alasan Nak,” menanggalkan dasinya dan bersiap-siap membersihkan badan.

“Untuk menjaga keamanan dan kebersihan kampus adalah salah satu alasannya tapi yang paling penting adalah supaya tidak ada lagi mahasiswa yang menggunakan kampus di malam hari tidak sebagaimana mestinya karena sudah pernah ditemukan hal demikian.”

“Tapi saya kira di kampus ada pihak keamanan, Pi. Kenapa mereka yang kedapatan itu tidak diproses sesuai dengan kesalahannya? Kenapa mesti semua mahasiswa dilarang beraktivitas pada malam hari di kampus? Jadi Papi menganggap semua mahasiswa sama?” tanyanya kembali dengan penuh rasa ingin tahu.

“Sudahlah Nak, kamu masih kecil.” Jawabnya dengan singkat, seolah tak mengharapkan pertanyaan lagi.

“Papi selalu mengajarkan saya untuk tidak pasrah pada keadaan, tidak gampang menerima apapun. Seandainya saya adalah mahasiswa Papi di kampus maka tentunya saya akan menemui Papi dan mempertanyakan aturan tersebut,” aroma semangat tercium dari dirinya yang sedari awal fokus pada Papinya.

“Dan saya akan bilang bahwa aturan tersebut tidak saya terima karena itu menghalangi saya untuk menghitung jumlah nyamuk yang mati di kampus pada malam hari dan juga aturan tersebut layaknya takdir yang diciptakan oleh manusia maka saya akan melawannya seperti yang pernah Papi lakukan.” Jawabnya dengan penuh semangat dan tertawa kecil.

Mendengar pernyataan anaknya, ia lantas bergegas ke belakang untuk membersihkan badan sementara di dapur nampak ibunya tengah menyimak apa yang dikatakan Nawal dan bibirnya tersenyum bangga atas keberanian anaknya. “Nawal, kamu hebat Nak dan itulah yang seharusnya terjadi. Takdir harus dilawan tapi ingat kelak jangan biarkan takdir balik melawanmu.” Sanjung ibunya dalam hati.

*Penulis merupakan eks Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) UIN Alauddin Makassar Periode 2018.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami