Oleh: J.zy
Lebaran selalu punya cara tersendiri untuk menghadirkan rindu. Ia tidak datang tiba-tiba, melainkan tumbuh pelan-pelan—bersama suara takbir yang mulai menggaung, aroma bumbu dapur yang akrab, dan kenangan tentang rumah yang tak bisa dijangkau tahun ini.
Sejak kecil, saya punya satu tradisi yang selalu saya nantikan setiap menjelang hari raya: pulang kampung dan ikut membantu orang rumah menyiapkan hidangan lebaran. Dapur kami menjadi pusat keramaian. Ibu akan duduk bersila di lantai, tante, dan kakak menyiapkan bahan masakan, dan saya biasanya kebagian tugas menggulung dan mengikat buras—makanan khas yang tak pernah absen dari meja makan keluarga kami.
Namun tahun ini, saya tidak pulang. Ada banyak alasan, tapi yang pasti: saya sedang berada di rantauan, jauh dari rumah, jauh dari tradisi yang biasanya saya jalani dengan hati penuh. Awalnya, saya hanya berniat melewati malam takbiran dengan diam dan sedikit pasrah. Tapi rupanya, tidak mudah melepaskan kebiasaan yang telah menjadi bagian dari identitas.
“Mauka bikin buras deh, kalau ada ambilkan ka daun pisang,” celetuk seorang kawan yang juga tak bisa mudik.
Ucapan sederhana itu langsung ditimpali kawan lain, “Nanti saya yang ambilkan,” timpalnya.
Membuat saya terdiam sejenak. Ada sesuatu yang hangat, seperti secercah cahaya yang menyelinap lewat celah rindu, ada kenangan yang terlintas.
“Ayo deh,” jawabku.
Obrolan singkat itu membangkitkan gairah untuk saling menyalakan pelita kecil dalam diri.
Kami pun mulai menyiapkan segala yang dibutuhkan—sebisa kami. Daun pisang dari samping Rujab, beras seadanya, dan tali rafia dari bekas acara kemarin. Tidak seperti di rumah, prosesnya penuh tawa, kelakar, dan sedikit kekacauan. Tapi dari situ saya sadar: tradisi bisa tetap hidup, meski dijalani dalam bentuk yang berbeda.
“Kak, ini ngikatnya cocok mi?” tanya teman saya sambil menunjukkan gulungan buras yang agak longgar.
“Belum kencang. Harus kuat, biar nggak bocor waktu direbus,” jawab saya, sambil membantu mengikat ulang.
Saya tiba-tiba teringat ucapan ibu bertahun-tahun lalu, “Kalau bikin buras itu, ikatannya jangan main-main. Harus sabar dan telaten.” Dulu saya pikir itu hanya soal teknik memasak. Tapi malam ini, saya mulai paham: nasihat itu juga bisa berlaku dalam hidup. Kadang, kita harus tahu apa yang layak dijaga erat, dan bagaimana caranya agar tidak mudah terlepas oleh keadaan.
Mengikat buras di tanah rantau bukan hanya tentang memasak makanan khas lebaran. Ia menjadi semacam pernyataan kecil bahwa saya belum menyerah untuk merawat ingatan dan akar. Di tengah jarak yang memisahkan, saya berusaha tetap terhubung dengan kampung halaman, lewat tangan yang bekerja dan hati yang menyimpan.
Malam itu, dapur rumah jabatan kami berubah menjadi ruang berbagi. Kami saling membantu, saling bercerita, bahkan saling diam saat rindu datang tanpa aba-aba. Di sana, kami tidak hanya memasak, tapi juga saling menguatkan.
Lebaran tetap datang esok hari. Tak ada pelukan dari ibu, tak ada sajian lengkap di meja makan rumah. Tapi saya tahu, saya telah membawa satu bagian kecil dari rumah ke tempat ini—lewat buras yang kami ikat bersama, lewat tawa dan rindu yang kami rajut dalam diam.
Karena pulang, nyatanya, bukan sekadar tentang tempat. Kadang, ia cukup menjadi perasaan yang diikat erat dalam hati.
*Penulis merupakan alumni UIN Alauddin Makassar











