Sosok Imam Hanafi, Si Relawan Jalanan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Imam Hanafi saat membersihkan gumpalan semen yang mengular di badan jalan depan gerbang II UIN Alauddin Makassar. | Foto: Washilah-Hardiyanti (Magang).

Washilah – Seorang pria paruh baya  tengah berdiri di badan jalan, sesekali menyeka keringat di wajahnya dengan raut yang tampak kelelahan. Sinar matahari siang itu terasa mampu membakar kulit, namun pria paruh baya itu tak mempedulikan.

Pakaian dinas cokelat dan rompi hijau neon bertuliskan kata “relawan” di punggungnya. Atribut yang selalu dia pakai, entah dapat dari mana. Di badan jalan, tangan kirinya sesekali dikibaskan mengatur kendaraan yang melintas, sedangkan tangan kanannya memegang palu untuk menghilangkan gumpalan semen yang kerap membuat pengendara khawatir.

Memilih Merantau

Dia Imam Hanafi, perantau dari tanah Jawa. Pergi dari tanah kelahiran, Jawa Timur tempat ia dibesarkan. Masalah pelik harta warisan membuatnya memilih menetap di perantauan. Memilih Gowa, Samata sebagai tempat pelarian karena ada yang mengajaknya bekerja. Pekerjaan yang dimaksud adalah kerja mebel. Dari tempat asalnya Jawa Timur, menaiki kapal ke Samata.

Di perantauan masalah baru muncul, ia tidak punya keluarga atau teman sekalipun, akibatnya ia hidup nomaden berbelas kasih orang lain. Saat ini menumpang di PKG Kampus Pertanian, Gowa.

Di Jawa, ia juga sering turun ke jalan mengatur lalu lintas. Hingga saat ini ia pun kembali menekuni kegiatan itu di Samata, Kabupaten Gowa.

Awal Mula jadi Relawan

Semua berawal dari dirinya yang resah akan peristiwa-peristiwa mengerikan beberapa puluh tahun lalu. Ia mengaku dirinya kerap mendengar banyak korban kecelakaan hingga tewas di area yang dikenal sebagai Bundaran Samata saat ini.

Berada di jalanan sudah ia tekuni selama puluhan tahun, bukan untuk mendapatkan pamrih dari pengguna jalan, ia ikhlas demi kemanusiaan.

“Tujuan saya untuk menjaga keselamatan pengguna jalan, itu saja,” katanya.

Puluhan tahun menghabiskan waktu di jalan membuat Pak Imam tahu berbagai karakter pengendara. Ada yang ramah, cuek, bahkan adapula yang arogan. Dirinya kecewa, Ia seringkali dianggap dapat upah saat turun ke jalan.

“Mereka (pengendara) kira saya dibayar, padahal tidak,” katanya.

Kecewa dengan itu, dirinya berinisiatif menulis kalimat “Aku tidak mengharapkan uangmu” di belakang punggungnya.  Dia melakukan itu karena ikhlas demi keselamatan pengendara.

Terkadang saat kesal, ia tidak menerima uang dari pengendara. Ia merasa tidak dihargai. Bahkan pernah sempat hampir diparangi. Entah kenapa dengan orang-orang, mereka mengira Pak Imam mencari keuntungan di jalanan.

Semen yang mengular di sepanjang badan jalan berhasil membuat hati Pak Imam gelisah. Tak ingin ada korban berjatuhan, setiap pagi Pak Imam berangkat menuju Bundaran Samata mengatur lalu lintas. Pekerjaan ini ia lakoni setiap hari.

“Kalau tidak dibersihkan akan membahayakan pengendara lain,” katanya.

Menghabiskan waktu di jalan, bahkan sebelum Bundaran Samata dibangun membuat Pak Imam mengenal berbagai macam karakter pengendara, Pak Imam juga kerap mendapati momen lucu. Banyak pengendara yang kadang putar balik ketika melihat dirinya.

Sarliana salah satunya, ia mengaku terkejut saat melihat Pak Imam dengan rompi hijau neonnya. Karena dirinya terbilang baru di Samata,  dia pikir Pak Imam adalah polisi saat itu, dan takut dirinya kena tilang. Namun setelah beberapa kali memperhatikan dia tahu bahwa Pak Imam bukan seorang Polisi Lalu Lintas (Polantas).

“Agak kaget ka juga karena baru pertama lihat dan belum lama ka tinggal di sini (Samata) jadi kukira polisi,” beber perempuan yang akrab disapa Sarli.

Rela panas-panasan demi membantu lalu lintas, Sarli pikir Pak Imam diberi upah. Namun ternyata apa yang dilakukan Pak Imam dilaksanakan dengan sukarela.

Pak Imam pernah sempat vakum imbas dari tragedi pembunuhan yang menimpa aparat kepolisian. Pak Imam merasa risau dengan peristiwa itu, terlebih ia tidak memiliki kenalan yang bisa membantunya seketika saat ia membutuhkan.

Nahasnya, tak berselang lama saat dirinya vakum dari pekerjaan itu, gumpalan semen kembali meregang nyawa.

Kehadiran Pak Imam dirasakan langsung oleh salah satu masyarakat, Daeng Puji. Ia merasa terbantu saat kendaraan tengah padat-padatnya. Berkat Pak Imam, kendaran di sepanjang lajur jalan M Yasin Limpo tertata rapi.

“Sangat membantu, apalagi kalau sore itu padat sekali kendaraan, jadi lebih enak ki ada yang atur,” ujarnya.

Penulis: Hardiyanti (Magang)
Editor: Nabila Rayhan

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami