Washilah – “A, I, U, E, O,” suara lantang dari beberapa orang merebak dari balik panggung. Mengambil seluruh atensi penonton yang tengah duduk di depan panggung.
18 September 2024, pukul 14.18 WITA, di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) siang itu, seluruh pintu, jendela dan ventilasi udara dibalut dengan kain hitam, membuat ruangan dengan nuansa hitam memenuhi pandangan.
Di lantai satu, panggung berdinding kain hitam dan putih berdiri kokoh, kotak suara di depan panggung dengan kertas yang berserakan didekatnya, di kain putih terlihat jelas gambar garuda dengan tulisan “Peringatan Darurat.”
Seorang pemuda berkemeja hitam berdiri di tengah panggung, kedua tangannya terikat tali putih, mulutnya terus memekikkan bait demi bait syair puisi.
“Aku adalah lelaki lajang yang memikirkan cinta pun tak sempat,” bait yang diulang tiga kali oleh si pemuda.
Suaranya menggelegar dalam gedung itu, sesekali asap keluar, lampu berwarna merah terus menyorotinya, penonton terus menatapnya.
“Sssttt!! Sssttt!! Diam,” ucapnya sambil mendekatkan jari telunjuk di mulutnya.
“Lihatlah orang di atas sana, ada pemimpin yang sedang kau halangi,” pekiknya sambil menunjuk ke arah lantai dua, sontak seluruh atensi penonton mengikuti apa yang ia ucapkan.
Pemuda tersebut lalu menunjuk penonton sebelah kiri, tengah, lalu kanan sambil berucap, “Hey kau yang disana, katakan pada pemimpin, di atas langit masih ada langit,” teriaknya kepada penonton.
“Salam kenal dari aku, lelaki lajang yang tak pernah terlintas untuk bercinta, lalu mati digerogoti oleh belatung,” bait terakhirnya.
Seluruh penonton menyambutnya dengan gemuruh tepuk tangan, decak kagum terdengar di mana-mana dengan sorak-sorai memenuhi gedung itu.
Itulah salah satu pementasan Eksibisi Eksibanat XXVI yang diadakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni Budaya (SB) eSA di Gedung PKM Kampus II UIN Alauddin.
Pembawa puisi, Ebo, menjelaskan konsep dari puisi yang dipentaskan adalah seorang penguasa yang mainkan seperti wayang. Ia juga mengatakan pesan dari puisi ini adalah keresahan yang dirasakan oleh lelaki lajang yang terjadi di bumi dan alam semesta.
“Kegelisahan bukanlah kebebasan dari badai, tetapi kedamaian di tengah badai menimbulkan kebohongan, hanyalah ketenangan sesaat. Bila tidak diselesaikan, akan menjadi kegelisahan seumur hidup,” pesan yang ingin disampaikan dalam puisinya.
Penulis: Rhizka Amelia (Magang)
Editor: Sriwahyuni