Washilah – Tanggal 2 September 2024, Ince dengan pakaian serba hitamnya tengah duduk di bahu jalan sekitar Masjid Agung Sultan Alauddin. Dengan sebuah buku dan seutas benang, Ince berekspresi melalui seni.
Saat itu, Sebagian besar sivitas kampus tengah dimabukkan oleh Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK). Sedangkan Ince, terus membaca buku pedoman buku saku sembari melilitkan benang hitam di wajahnya.
Semakin lama ia membaca, semakin rumit pula lilitan itu. Tumpukan demi tumpukan benang lambat laun menutupi wajahnya.
Beberapa langkah dari arah Ince, tepat di depan gerbang I kampus, puluhan mahasiswa sedang melakukan aksi demonstrasi menuntut SE 259 dicabut.
Bagi Ince, ada banyak variabel yang bisa dilakukan untuk mengadvokasi sesuatu. Tidak hanya orasi, tapi juga seni. Seperti yang sedang ia lakukan saat itu.
“Seni memiliki peran tersendiri dalam tatanan sosial,” ucapnya saat diwawancarai, Rabu (4/9/2024).
Ini bukan kali pertamanya Ince mengkritik kebijakan rektor melalui kesenian. 1 Agustus 2024 lalu, Ince pernah melakukan aksi simbolik di depan pelataran rektorat. Dengan pertunjukan seni membakar dupa, sambil sesekali menaburkan bunga di atas tumpukan buku dan topi toga.
Selang beberapa hari setelah itu, Ince mendapatkan panggilan dari Dewan Kehormatan Universitas (DKU). Ganjaran setelah ikut aksi. Saat sidang itu selesai, Ince dijatuhkan skors selama dua semester. Ince tak pernah berhenti membaca. Ia tak menghiraukan kehadiran Mahasiswa Baru (Maba) di sekitarnya.
Hingga saat pria berbaju putih menghampirinya—yang tampaknya staf rektorat— Ince ditarik, didesak, dan diarahkan untuk segera meninggalkan tempat ia duduk. Rima mengikuti perintahnya. Dengan menggunakan alas kaki yang sudah lusuh. Ia berjalan menuju gedung rektorat. Diikuti oleh petugas rektorat.
Ketika Ince melanjutkan aksinya, ia dicegat oleh satpam kampus. Dihalang-halangi untuk kembali menampilkan kesenian.
“Saya nda bisa dilarang untuk membaca di kampus saya sendiri, semua tempat yang ada di kampus adalah tempat di mana saya bisa membaca dengan tenang,” katanya.
Ince tak lagi memperdulikan mereka. Ia terus berjalan di sekitaran masjid. Membaca buku dengan suara yang lantang.
Tiba saat jam makan siang bagi para peserta PBAK. Mahasiswa baru bergerombol keluar dari masjid. Mereka tersebar di setiap sudut. Beberapa diantaranya menyantap bekal yangtelah mereka siapkan.
Beberapa lagi menaruh matanya kearah Ince. Ince masih terus berjalan. Tak menghiraukan kepala-kepala yang menengok heran padanya.
“Jika jurnalis dibungkam maka seni lah yang berbicara, jika jurnalis dibungkam maka sastralah yang berbicara,” itulah kalimat yang diucapkan Ince di sela-sela pertunjukannya sian gitu.
Tangan kanannya masih terus bergerak. Benang hitam sudah menutupi sebagian wajahnya. Pun begitu, mulut Ince terus berucap.
Penulis: Rhizka Amelia (Magang)
Editor: Sriwahyuni