Washilah – 26 Oktober 2023. Di sebuah kedai kopi di Samata, Kabupaten Gowa, Nur Hastina dan Supiati bersua dengan Fadli Andi Natsif yang datang seorang diri. Bukan sekadar menikmati secangkir kopi hangat sembari berbincang santai, pertemuan itu terjadi untuk suatu hal.
Mengawali perbincangan dengan Fadli, seuntai kalimat penuh nasihat keluar dari mulut lelaki paruh baya itu, seketika menyambar kedua telinga wanita yang tengah duduk takzim menyimak. “Jika ingin mengenal dunia, perbanyak baca buku, dan jika ingin dikenal dunia, perbanyak menulis buku”. Demikian pesan Fadli perihal kecintaannya terhadap buku dan bacaan.
Kehidupan Masa Kecil
57 Tahun silam di Pangkajene Kepulauan (Pangkep), tepatnya 16 Oktober 1966, pria yang akrab dengan sapaan Fadli atau Ustadz Fadli itu dilahirkan. Ia anak ke-12 dari 13 bersaudara.
Di tengah riuh dentuman musik yang memekakkan telinga, Fadli melanjutkan cerita, suaranya samar. Katanya, sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia memiliki tekad yang kuat, terbukti di antara saudaranya, ia yang paling gigih belajar dan terus melanjutkan pendidikannya hingga tembus ke perguruan tinggi. Perkuliahan lah yang membawanya menetap di Makassar.
Perjuangan Menempuh Pendidikan
Fadli tak pernah mengira akan berhasil menempuh Strata 1 (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Karena sedari kecil ia bercita-cita menjadi seorang arsitek, namun takdir Tuhan menghendakinya pada pilihan terakhirnya kala itu, hingga akhirnya ia menggeluti dunia hukum dan lulus pada tahun 1990 silam dengan predikat memuaskan.
Selain itu, sekitar empat tahun menempuh jenjang studinya, Fadli aktif menjadi seorang aktivis kampus, salah satunya sempat menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Unhas dan aktif menjadi wartawan kampus. Dari hasil tulisan itulah, ia mempunyai beberapa buku solo yang telah terbit.
Usai lulus S-1, ia berpikir untuk menggeluti profesi yang menurutnya menantang. Akhirnya ia memilih menjadi dosen. Menurutnya, dengan menjadi seorang tenaga pengajar, rutinitas membaca buku tidak akan terputus.
Dirinya bak pemuja pendidikan, tidak tanggung-tanggung perkuliahannya ia tamatkan hingga Strata 3 (S-3) di bidang Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia di Unhas melalui beasiswa penuh. Meski begitu, tak menyurutkan semangatnya bekerja menghidupi diri.
Tahun 1991, bermodalkan usulan dari beberapa teman dekatnya, ia mengabdikan diri menjadi seorang dosen honorer di Universitas 45 (sekarang Universitas Bosowa). Di samping itu, ia juga aktif mengajar sebagai dosen Luar Biasa (LB) di UIN Alauddin Makassar. Hingga pada tahun 2014, ia berhasil diterima menjadi dosen tetap Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin dan terangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia mengaku punya kepuasan batin setelah mengajar dengan bonus mendapatkan amal jariyah.
Kehidupan Pasca Pernikahan
Dalam sebuah kesempatan, ia dipertemukan dengan seorang wanita penakluk hatinya. Kala itu, wanita yang juga merupakan juniornya di kampus berhasil ia persunting. Sekarang, ia menetap di Samata, Kabupaten Gowa bersama istri dan dua orang anak perempuan, keduanya telah menamatkan perkuliahan pada jenjang S-1 dan bekerja di bidangnya masing-masing.
Selama menempuh pendidikan hingga pasca pernikahan, ia sempat merasakan peliknya kehidupan. Harus bisa mengatur keuangan, seperti biaya transportasi umum pulang dan pergi kampus yang jaraknya lumayan jauh, lalu menyisihkan uang jajan untuk membeli buku. Ia menargetkan paling sedikit ada tiga buku yang ia beli setiap bulannya.
Prinsip hidup dengan kegigihan dan kedisliplinan yang selama ini digenggamnya, tak lupa dipesankan kepada segenap mahasiswa yang diampuhnya. Terlebih konsep sederhana yang sering dipertanyakan banyak orang. “Sekolah tinggi-tinggi tapi kenapa gemar naik motor?” begitu kalimat yang sering ia jumpai. Menurutnya, kalimat sindiran itu sesekali harus diabaikan, meski kerap tebersit rasa minder, tapi ia selalu melawan rasa itu.
“Saya bukan sederhana, tapi tidak ingin berlebihan, kalau kemampuan beli mobil, anak saya punya, tapi kalau saya selagi masih bisa berdiskusi di warkop saya sudah merasa senang,” pungkasnya saat berbincang dengan kedua wanita itu.
Menurutnya, stigma orang-orang yang sekolah tinggi-tinggi untuk meraih jabatan dan uang tidak pantas menjadi pegangan hidup. “Karena orientasi saya sekolah, belajar, dan jadi dosen. Jadi kalau ingin kaya jangan jadi dosen, toh kalau ada dosen yang punya kehidupan wah, pasti dia punya usaha sampingan atau berasal dari keturunannya. Karena kalau murni jadi dosen hidupnya seperti saya, tapi alhamdulillah sudah punya rumah dan bisa mencukupi kehidupan istri dan anak,” ucapnya penuh yakin.
Selang beberapa lama berbincang dengan Fadli, dirinya selalu mengeluarkan sepenggal kalimat nasihat penuh makna.
“Kalau saya punya motor, bagaimana dengan orang yang tidak punya motor? Alhamdulillah saya punya rumah, bagaimana dengan orang yang tidak punya rumah? dan saya masih bisa makan, bagaimana dengan orang yang tidak punya uang untuk beli makanan?”
Menutup pertemuannya dengan dua wanita itu, Fadli menyampaikan harapnya untuk menjadi pribadi yang kelak keberadaannya dirindukan dengan menebar manfaat serta menginspirasi.
Penulis: Nur Hastina (Magang)
Editor: Nabila Rayhan