Washilah — Karena persoalan ekonomi, Surti tidak pernah terpikir bisa berkuliah. Namun ia mendapat beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). Meski dengan cara yang tidak pintar.
Surti (Bukan nama sebenarnya) lulus di bangku SMA 2022 lalu. Kala itu, ia sadar betul dengan ekonomi keluarganya. Hanya ada dua pilihan waktu itu, “cari kerja atau membantu Ibu di rumah,” kata Surti kepada Washilah, Senin (14/8/2023).
Ayahnya seorang petani, sedang ibunya hanya punya kedai kecil di rumah. Keuntungan keduanya pun hanya cukup menutupi keperluan sehari-hari. Belum lagi ketiga saudaranya yang masing-masing masih duduk di bangku sekolah—semua butuh biaya.
Niat untuk berkuliah belakangan datang dari gurunya di SMA. Sang guru memberitahu Surti untuk mendaftar kuliah lewat jalur SPAN-PTKIN (Seleksi Prestasi Akademik Nasional-Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri), sebab ia dinilai berprestasi selama bersekolah.
“Coba saja, kalau lolos, bisa daftar KIP Kuliah,” ucap Surti menirukan gurunya.
Surti baru tahu tentang KIP Kuliah. Ia banyak bertanya pada gurunya waktu itu. Gurunya pun menjelaskan kepada Surti, bahwa KIP Kuliah merupakan program pemerintah untuk mendukung mahasiswa mendapatkan pendidikan tinggi, dengan syarat penerima memiliki potensi akademik yang cukup baik dan memiliki keterbatasan ekonomi dengan didukung bukti dokumen yang sah.
Setelah menerima penjelasan dari gurunya, Surti lantas mencari tahu lebih jauh tentang KIP Kuliah lewat Internet. Bermodalkan ponsel, Surti berselancar di laman resmi Kementerian Agama (Kemenag). Di sana, ia membaca dan mencatat syarat apa saja yang dibutuhkan sebagai calon penerima KIP Kuliah.
Setelah mengetahui syarat-syarat itu, ia menyadari dirinya memenuhi kriteria. Harapan Surti untuk bisa berkuliah seketika membukit. Bermodalkan harapan ‘KIP Kuliah’, Surti pun mencoba mendaftar di UIN Alauddin Makassar.
Kabar kelulusan pun tiba, bulan April 2022 lalu, Surti diterima sebagai mahasiswa baru angkatan 2022.
Mendengar kabar itu, gurunya turut senang, tapi tidak dengan Surti. Kepalanya mumet, memikirkan bagaimana menyampaikan kabar kelulusan kepada orangtuanya. Walau ia dapat menggunakan kata “beasiswa” sebagai penenang, bahwa dirinya bisa berkuliah tanpa memberatkan kondisi keluarga. Tapi Surti tak yakin, peluang menerima KIP Kuliah masih setitik debu.
“Ma’ luluska kuliah di UIN, kuambil atau janganmi?” ucap Surti kepada ibunya, 2022 lalu.
“Ambil mi saja nak, soal rezeki datang sendiri ji itu,” balas ibunya meyakinkan Surti untuk tetap berkuliah.
Kendati begitu, hati Surti tetap berat, ia kelimpungan membayangkan bagaimana bila dirinya tak lulus sebagai penerima KIP Kuliah? Bagaimana dengan biaya kuliah dan hidupnya di kampus nanti?
“Bayar UKT, makan, sewa kost, dan biaya kuliah lainnya,” kata Surti.
Dengan harapan yang tipis, Surti melakukan registrasi (daftar ulang) di PMB-UIN Alauddin, juga untuk menentukan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan diterimanya sebagai mahasiswa. Setelah melakukan pendaftaran ulang, besaran UKT yang diterima Surti pun keluar.
Ia mendapatkan kategori II, sebesar Rp1.890.000,00. Besaran UKT yang Surti dapatkan terbilang rendah, hanya kategori II, dari tujuh kategori yang ada. Paling rendah ada di angka Rp400.000,00 sedangkan kategori VII, ada di kisaran Rp5.000.000,00. Satu tahap lagi bagi Surti—membayar UKT.
Surti beruntung, kala itu Ibunya datang memberinya uang, “ini ada tabungannya mama, pergi bayar uang kuliahmu”.
Belakangan, Surti baru tahu uang itu berasal dari cincin emas milik ibunya, yang dijual untuk melunasi uang kuliah miliknya. Hal ini jadi alasan kuat bagi Surti, untuk lulus sebagai penerima KIP Kuliah, “apapun caranya”.
Tiga bulan pasca pengumumannya diterima di UIN Alauddin Makassar, Juli 2022, pendaftaran calon penerima Beasiswa KIP Kuliah dibuka secara online. Hal yang dinanti Surti pun tiba, ia mendaftar, melengkapi setiap berkas dan persyaratan yang diwajibkan sebagai calon penerima beasiswa. Surti memenuhi semua syarat yang dibutuhkan.
“Bismillah,” harapnya.
Walau begitu, Surti merasa tak percaya diri, ia ragu tidak terpilih sebagai penerima KIP Kuliah. Kesempatan itu hanya datang sekali. Rasa pesimis Surti bukan karena dirinya tak memenuhi syarat, melainkan karena kuota penerima KIP Kuliah hanya sebanyak 700 orang saja. Angka itu paling besar dibanding tahun sebelumnya (2021) yang hanya 500 penerima.
Seperti Oase di tengah gurun yang kering. Di tengah batin yang ragu itu, Surti menerima satu pesan WhatsApp. Seorang yang mengaku sebagai calo mengatakan bisa membantunya mendapatkan KIP Kuliah.
Tawaran itu bukan tanpa syarat. Jika Surti bersedia, uang yang ia terima dari KIP Kuliah tiap semester harus dibagi dua. Atau selama delapan semester berkuliah.
Besaran bantuan yang diterima penerima KIP Kuliah adalah sebesar Rp6,6 juta rupiah. Jumlah itu kemudian akan dialokasikan sebesar Rp2,4 juta untuk biaya kuliah (UKT), dan sisanya, Rp4,2 juta untuk living cost.
Jika saja Surti menerima tawaran itu, uang KIP Kuliah yang akan ia kantongi hanya tersisa Rp2,1 juta rupiah.
Mendapatkan tawaran itu, Surti terbelalak penuh semangat. Matanya menyalang, degup jantunganya kencang berdetak.
Meski uang KIP Kuliah yang ia terima akan dipotong nantinya, Surti sepakat mengambil tawaran dari sang calo. Ia tak keberatan sama sekali. Menurutnya, menggunakan jasa calo menjadi solusi terakhir untuk bisa berkuliah di Kampus Peradaban.
“Nda keberatan ja, malah terbantu sekali ka. Dari pada nda lulus ka KIP, terus berhenti kuliah, mending pakai calo,” tegas Surti.
“Semangat sekali ka waktu itu, besar harapanku bisa lanjut kuliah,” ujar Surti.
Data pribadi Surti pun diminta oleh sang calo. Surti memberinya dengan senang hati. Calo itu berjanji, nama Surti akan lulus seleksi dan dipilih sebagai penerima KIP Kuliah tahun itu.
“Yakin saja, seratus persen lulus ini. Tapi harus sesuai kesepakatan nah,” kata Surti, menirukan calo yang meyakinkannya kala itu.
Janji dari seniornya berbuah manis. Betul saja, Surti menjadi salah satu di antara 700 nama yang diumumkan sebagai penerima KIP Kuliah tahun 2022. Uang sejumlah Rp6,6 juta pun masuk ke rekening milik Surti. Rp2,4 juta ia pakai membayar UKT. Sedangkan sisanya, Rp4,2 juta, sesuai kesepakatan, Surti membaginya dengan calo, yang ia anggap sebagai “ucapan terima kasih.”
Belakangan, ia baru sadar, uang KIP Kuliah yang sisa Rp2,1 juta karena dipotong calo tak cukup untuk biaya hidup selama satu semester. Surti mesti memutar otak, bagaimana menghasilkan pundi rupiah untuk menutupi keperluan hidupnya.
“Jadi untuk tutupi itu, kerja ka juga sebagai joki tugas,” bebernya.
Saat ditanya tentang identitas senior dan calo yang meloloskannya, Surti hanya mengangkat bahu, dan lebih sering mengunci mulut rapat-rapat.
Surti bukan satu-satunya orang yang ditawari calo untuk KIP Kuliah. Tejo (bukan nama sebenarnya), mahasiswa angkatan 2021 mengaku pernah ditawari.
Berbeda dengan Surti, calo yang membantu Tejo lulus KIP Kuliah memiliki syarat yang terbilang ringan. Calo itu hanya meminta uang sekali, sebesar Rp2,5 juta di awal penerimaan Beasiswa.
“Dua juta setengah, satu kali ji, setelah itu saya semuaji yang ambil di semester berikutnya,” ungkap Tejo, Senin (14/8/2023).
Di sisi lain, salah satu mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), M Nur Fathun Naim Syaiful menolak tawaran seorang calo. Ia menolak dibantu.
“Itu waktu, ada kaki tangan calo hubungika untuk dibantu, tapi ada syaratnya,” ungkapnya, Kamis (28/9/2023).
Saat itu, satu panggilan tak beralamat masuk ke ponsel milik Naim. Ia mengangkatnya, “halo dek, ada ini slot kosong untuk KIP. Lagi cari ka orang, tapi nanti harus ko transferkan ka Rp2,5 juta kalo cairmi itu KIP mu,” ucap Naim, menirukan sang calo.
Naim tak tahu siapa yang meneleponnya hari itu. Orang itu mengaku sebagai seniornya di FDK, yang bermaksud akan meluluskan Naim dengan syarat mendapatkan komisi KIP Kuliah sebesar Rp2,5 juta di tiap semester. Menurut Naim, kesepakatan itu terlalu menguntugkan sang calo, sedang dirinya hanya mendapatkan ampas. Dengan tegas, Naim menolak tawaran itu.
Pada November 2022, pengumuman penerima KIP-Kuliah pun datang. Harapan Naim harus pupus, tak ada nama M Nur Fathun Naim Syaiful di sana.
Sumber lain yang ditemui Washilah, Abraham (bukan nama sebenarnya) mengungkap calo tersebut merupakan seorang pejabat kampus. Namun ia enggan membeberkan siapa yang dimaksud.
“Keluargaku ji, dari orang tua ji juga ku tahu ini kalau ada calo,” bebernya, Senin (18/9/2023).
Secara ekonomi, keluarga Abraham terbilang mapan dan berada. Namun, kesempatan mendapatkan Beasiswa KIP Kuliah melalui jalur keluarga tetap ia libas.
“Karena itu orang dalam dia punya porsi tersendiri, misalnya satu calo itu pegang 10 orang,” ungkapnya.
Saat dikonfirmasi pada Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Prof Muhammad Halifah Mustamin terkait adanya calo di program KIP Kuliah, ia mengaku tak tahu apa-apa. Ia beralasan baru saja dilantik pada bulan Agustus 2023 lalu.
Lebih lanjut, Washilah meminta penjelasan bagaimana sistem KIP Kuliah selama ini kepada Prof Halifah, namun tanggapan yang kami terima tetap sama, Ia menyarankan untuk menanyakan hal itu kepada Baharuddin, selaku Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan.
“Saya belum detil mengetahuinya, saya juga tidak tahu mekanismenya seperti apa,” pungkas Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi (FST) itu, Selasa (19/9/2023).
Saat ditemui di ruangannya, Baharuddin membantah terkait adanya permainan calo KIP Kuliah. Ia mengatakan, UIN Alauddin Makassar sebagai Perguruan Tinggi Penyelenggara (PTP) Program KIP Kuliah, telah melakukan proses seleksi sesuai petunjuk teknis yang telah diatur.
“Kita tidak boleh keluar dari petunjuk teknis itu, dan kita memang skala prioritasnya memang yang punya KIP dan berprestasi,” jelasnya, Rabu (20/9/2023).
Baharuddin menjelaskan, dalam proses seleksi, pihaknya memprioritaskan calon penerima yang tidak mampu secara ekonomi dan memiliki salah satu dari KIP/KKS/KJP. Apabila kuota belum terpenuhi, maka kuota dapat diambil dari mahasiswa baru yang tidak memiliki KIP/KKS/KJP dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi yang dibuktikan dengan surat keterangan yang sah. Pertimbangan seleksi calon penerima yang dilakukan juga memperhatikan potensi akademik dan capaian prestasi non akademik calon penerima.
Melalui mekanisme seleksi yang ia jelaskan, Baharuddin dengan tegas membantah adanya calo dalam proses seleksi calon penerima KIP Kuliah.
“Kalau itu yang dikatakan (calo), itu sudah tidak benar, kalaupun ada seperti itu, saya pribadi umpamanya yang punya keluarga dan mau urus KIP, dan dia sesuai standar dan kriteria, itu kita akan bantu,” ungkapnya.
“Yang seperti itu kan layak untuk dibantu, dan menurut saya itu logis,” lanjutnya.
Senada dengan itu, mantan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Prof Darussalam juga membantah terkait dugaan adanya permainan calo dalam penentuan penerima KIP Kuliah. Menurutnya, kabar itu sukar untuk disebut ada, sebab dalam prosedur pelaksanaan, pihaknya telah melakukannya sesuai pedoman dan dengan pengawalan yang ketat.
“Saya katakan, unsur yang dikatakan terkait KIP calo itu susah untuk disebutkan ada, karena sudah melalui prosedur, di mana calo itu akan ada?” ujarnya kepada Washilah, Senin (28/8/2023).
Pelaksanaan KIP Kuliah Perlu Dievaluasi
KIP Kuliah sejatinya untuk memberi akses luas tiap warga negara mengakses pendidikan tinggi. Tujuannya sebagaimana UUD 1945 alinea keempat, “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Namun dalam prakteknya, usaha negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tak jarang dimutilasi oleh oknum tertentu untuk meraup keuntungan. Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana menyadari, dalam pelaksanaannya KIP Kuliah banyak penyalahgunaan atau pungutan liar yang bertentangan dan jauh dari prinsip dasar pelaksanaan KIP Kuliah.
“Mulai dari joki KIP-K, kemudian kuota dari KIP-K untuk parpol dan pungutan-pungutan liar yang cenderung menuju praktek koruptif,” ucapnya lewat pesan suara Whatsapp, Minggu (24/9/2023).
Menurutnya, perguruan tinggi mesti mengembalikan prinsip atau mekanisme pengelolaan KIP-Kuliah secara transparan dan akuntabel. Benar-benar diperuntukkan kepada mahasiswa atau calon mahasiswa yang tidak mampu.
“Sehingga hak-hak dari mahasiswa di UIN Alauddin, secara dasar itu lebih baik ke depan,” tegasnya.
Tulisan ini telah terbit pada Tabloid Edisi 122.
Penulis: Rahmat Rizki/Sriwahyuni
Editor: Irham Syahril