Oleh: Rahmat Rizki
Kata orang-orang, usia hanyalah angka, betapapun banyaknya. Benarkah? Lalu mengapa ada yang berang dikatai bocah. Seolah harga dirinya jatuh ke tanah dan menjadi hina….
Sebulan yang lalu, sepupu saya berkuliah sebagai mahasiswa baru, fakultas teknik, di salah satu kampus swasta di Makassar. Saya senang mendengarnya, bahwa salah satu dari keluarga ibu saya akan mengenyam pendidikan tingkat sarjana.
Sebab selama ini, dunia perkuliahan menjadi pilihan nomor belakang untuk orang-orang dari keluarga ibu saya. Alasannya karena ongkos untuk berkuliah terlalu kurang ajar. Memang, kampus sudah teramat tamak. Semua-muanya dikomersialkan.
Syahdan, kabar bahagia tentang perkuliahannya seketika menjadi nahas. Setelah hampir dua bulan berkuliah, ia memilih berhenti. Awalnya ia beralasan karena tak sanggup dengan pembelajaran di kelas. Sulit dan membingungkan, katanya.
Namun fakta baru datang dari kakaknya, ternyata, alasan yang enggan ia beberkan adalah bahwa dirinya telah menjadi korban perpeloncoan oleh seniornya. Hanya karena ia dianggap tak sopan. Tak mendewakan seniornya.
Sekalipun ia tak mendapatkan kekerasan fisik, seperti pukul dan tendang, sepupu saya tetap mengakhiri kuliahnya sebelum semester pertamanya memasuki pertengahan jalan.
Dia kecewa. Sebab kampus yang ia kira hanya diisi oleh orang-orang pintar yang gemar berdiskusi, ternyata juga diisi oleh monyet tak berotak. Orang-orang yang mengkultuskan penghormatan. Dan yang enggan meyakininya, segera menjadi korban penindasan.
Mendengar kenyataan itu, saya naik darah. Betapa keji perilaku seperti itu. Mirip dengan banyak kasus-kasus di institusi pendidikan negara kita. Saat seseorang senior di sekolah atau mahasiswa senior yang disahuti oleh adik tingkatnya tanpa embel-embel “senior,” atau “kakak.”
Hal yang pasti setelahnya, adalah senior tersebut seketika berubah angkara murka. Didakwalah juniornya karena berlaku tak sopan kepadanya. Paling parah, perpeloncoan—pemukulan, pencelaan dan semacamnya. Hanya karena dinilai tak sopan.
Dengan angkuh, orang-orang itu berkata, “saya lebih dulu lahir. Saya lebih banyak melalui rintangan, kesusahan dan tekanan dari pada anda.” Seakan yang muda haruslah tunduk pada kuasa yang tua.
Sejak kapan kualitas ditentukan berdasarkan angka yang berderet-deret, puluhan hingga ratusan—yang sayangnya, umur manusia hanya sampai seratusan tahun saja, itupun sangat jarang ditemui.
Bukankah umur hanya angka? Bukankah yang tua harusnya lebih berlaku bijak dan tak lagi angkuh. Angka harusnya menjadi akumulasi dari banyaknya perjalanan yang merubah angkuh menjadi patuh pada kebijaksanaan.
Perjalanan hidup yang panjang dengan angka berjubel hanya akan menjadi angka selama seseorang itu masih mendambakan kekuasaan, penghormatan, penyembahan dalam hidupnya.
Ketamakan, haus pujian, kekuasaan dan semuanya yang menjelma pagar pembatas yang membuat orang-orang terkurung dan terpenjara, seharusnya dihilangkan. Dimusnahkan bukan hanya pada perbuatan, namun juga sejak dalam pikiran. Seperti yang disebutkan Pram dalam bukunya, Bumi Manusia (1975), “seseorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”
Hanya satu kata, “adil.” Jika satu kata ini teramat sulit untuk dimengerti, meski oleh seseorang senior di himpunan atau organisasi mahasiswa, yang telah membaca karya-karya Pram sampai tandas, serta berbagai macam literatur tentang penindasan, kebebasan dan kemerdekaan, namun tetap berlaku bajingan kepada juniornya, maka kata “adil” memang sulit dimengerti oleh orang-orang kita.
Padahal, perilaku menentang kekuasaan, acap kali kita saksikan di jalanan oleh para senior-senior itu. Mereka melolong, memekikkan suara di antara keramaian, memaki penguasa yang tak adil kepada rakyat. Namun setelahnya, mereka menjelma penguasa terhadap juniornya. Seolah hak dan kebebasan orang lain ada di tangannya.
Lalu, apa bedanya para penguasa yang korup di negeri ini dengan mahasiswa sok punya kuasa itu?
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Alauddin Makassar