Oleh: A Zainal Ashar Ishak
Pendidikan merupakan hal penting dalam hidup, pendidikan harus diperjuangkan dengan penuh cinta dan pengorbanan. Pendidikan hadir sebagai instrumen yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat maupun individu. Selain itu, pendidikan juga sebagai sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan kepada negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang 1945.
Saya yakin sebagian besar mahasiswa datang jauh dari pelosok perkampungan menuju UIN Alauddin untuk meraih gelar sarjana, memenuhi ekspektasi orang-orang di desa untuk hidup yang lebih baik. Saya tidak bilang hidup orang di desa berada pada taraf yang buruk. Namun, saya merasa akses pendidikan adalah hak setiap orang. Sayangnya, hal tersebut belum sampai ke tempat tempat terpencil seperti di beberapa perkampungan.
Nyatanya, pendidikan di kelas terkadang gagal mencukupi kebutuhan ilmu pengetahuan. Di dalam kelas, kadangkala hanya berbicara tentang teori dan terkadang ceramah-ceramah membosankan tentang nilai, moral, dan sebagainya. Padahal, pendidikan dan ilmu pengetahuan harusnya lebih luas daripada itu.
Jika berkaca pada Teori Kesadaran Paulo Friere, (baca: Pendidikan Kaum Tertindas) pola pendidikan didasari 3 tingkat kesadaran yakni kesadaran mistis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Kesadaran mistis adalah kesadaran manusia tidak mampu melihat satu faktor dengan faktor lainnya, kesadaran naif adalah suatu kesadaran bahwa sistem sosial memengaruhi dunia namun tidak berusaha apapun. Sementara kesadaran kritis adalah pemahaman analisis hubungan satu sama lain di mana manusia menemukan diri mereka berada dalam situasi.
Sampai sekarang, pola pendidikan kampus masih mengamini kesadaran naif bahkan kesadaran mistis. Mereka hanya membuat mitos-mitos palsu yang mengandung ketakutan terhadap moral dan lain sebagainya hingga gagal mencapai kesadaran kritis. Padahal seharusnya untuk menghasilkan pendidikan yang humanis, pendidikan yang mampu memanusiakan manusia, kita harus berdialog dan berdiskusi.
Untuk mencapai kesadaran kritis diperlukan sebuah instrumen pendidikan alternatif di luar ruang perkuliahan, dimana (seharusnya) mahasiswa mampu menerjemahkan teori dalam bentuk aksi. Organisasi mahasiswa adalah salah satu solusinya, organisasi mahasiswa berbasis pengetahuan ilmiah yang berasal dari diskursus setiap anggotanya merupakan pengalaman ideal dalam pendidikan dan pengetahuan. Organisasi mahasiswa punya tanggung jawab lebih terhadap dinamika pendidikan dan pengetahuan di Indonesia.
Sebagai instrumen pendidikan yang hadir di luar pendidikan formal, organisasi mampu menjadi media untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Menjadi wadah pengembangan soft skill mahasiswa. Sehingga mampu menyalurkan empati yang melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak hanya ongkang kaki melihat penderitaan masyarakat dan keterpurukan bangsa, akan tetapi ikut terlibat dalam gerakan-gerakan perubahan dan menjadi pelaku dari sejarah bukan hanya pengikut sejarah.
Perjuangan perubahan tersebut tidaklah lahir oleh satu dua orang saja, namun lahir dari aksi yang mengedepankan nilai kolektifitas dan solidaritas yang kuat dengan organisasi sebagai wadahnya. Hal ini seirama dengan definisi dasar dari organisasi yaitu komitmen sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang sama.
Gerakan mahasiswa harus hidup sepanjang masa untuk menjaminkan pendidikan yang lebih baik.
*Penulis merupakan Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar