Oleh: Blkhet
Hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-78, banyak pernak-pernik terpampang, seruan serta semarak kemerdekaan banyak di selenggarakan sebagai wujud kebahagiaan atas kemerdekaan Indonesia, di atas kemenangan para penjajah melawan kolonialisme bukanlah sesuatu yang mudah, membutuhkan waktu yang lama dan perjuangan yang tak kenal pudar dan kejam. Tak terasa sudah, Indonesia hampir berusia satu abad, bukan perjalanan yang singkat untuk menuju dan menata segala apa yang telah menjadi bekas penundukan dari negara-negara kolonial.
Mengutip kata dari Pramoedya Ananta Toer “Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Di mana pun ada malaikat dan iblis. Di mana pun ada iblis bermuka malaikat, dan malaikat bermuka iblis dan satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis”. Bagaimana kolonial itu menerapkan sistem yang tak adil dan beradab, merampas segala hak sebagai pribumi, memperlakukan pribumi sebagai budak-budak yang tak kenal lelah. Tak ada yang baik yang dilakukan para penjajah di masa lalu, semua hanya meninggalkan isak tangis yang haru.
Melihat rekam jejak di atas apa yang telah terjadi di tanah nusantara sepanjang masa penjajahan, bagaimana para petuah dan pahlawan bergema melakukan perlawanan, membela hak primordial sebagai pribumi yang menaungi tanah tua nusantara Indonesia. Sekiranya kita semua membenci segala bentuk tindakan yang sifatnya dikriminatif dan tak manusiawi, bukan hal kecil untuk menyuarakan kebenaran, melakukan perlawanan di tengah-tengah penyiksaan yang dilakukan para penjajah sediakala. Dan dewasa ini 78 tahun sudah merah putih berkibar, dengan bebasnya iya memperlihatkan kemenangan atas apa yang telah terjadi sebelum masa kemerdekaan.
Tapi melihat usia Indonesia yang hampir satu abad dengan menyandingkannya kepada kemajuan serta kesejahteraan, apakah itu selaras dengan usianya saat ini? Melihat simbol negara yang mulia, yakni Pancasila dengan kandungan nilai-nilainya yang humanis dan penuh toleransi sepertinya menjelaskan tentang kondisi dan perilaku rakyat yang ada di tanah nusantara Indonesia ini. Tapi apa, masalah-masalah klasik (lama) masih senantiasa terjadi, ibaratnya kita memiliki kepentingan yang berbeda dalam berkehidupan bernegara dewasa ini. Mulai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme masih marak terjadi, bukan lagi kasus penggerusan yang bertebaran di mana-mana di wilayah nusantara Indonesia, dan hal ini menandakan ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan problem-problem yang sifatnya sangat klasik. Hal ini kita patut pertanyakan, 78 tahun sudah Indonesia merayakan hari kemerdekaan namun problem untuk kebahagiaan bagi rakyat belum terselesaikan sampai dewasa ini.
Di dalam kehidupan bernegara, utamanya di negara demokrasi, di mana rakyat sepenuhnya memiliki peran penting untuk mengetahui, mengawasi segala kinerja pemerintah, karena pada dasarnya tentang apa dilakukan oleh pemerintah hakikatnya untuk kepentingan rakyat, seperti itulah corak orientasi dari praktik pemerintahan di negara demokrasi. Namun apa, apa yang telah negara perbuat untuk kemaslahatan rakyat sejauh ini? Sejalan dengan usia yang makin besar dan tinggi untuk Indonesia maka seharusnya semakin maju pula kebahagiaan di atas kebingungan-kebingungan yang dilakukan para pejabat.
Di sisi lain, kemerdekaan ini adalah kebahagiaan di atas lepasnya dari penjajah kolonial, tapi ditengah-tengah kehidupan bernegara, kita harus mengingatnya bahwa kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Bentuk perhatian yang sifatnya kritik tidak dapat dihilangkan, selalu menjadi senjata bagi orang-orang yang berakal, semata-mata untuk kebahagiaan dan kecintaan terhadap kondisi negara. Kita melihat, Indonesia masih terkatung-katung dalam masalah internal negaranya sendiri, banyaknya konflik dan masalah-masalah kerakyatan marak terjadi. Memang sebagai rakyat tentunya harus peduli untuk melihat kelangsungan hidup bernegara ini.
Untuk para pemangku kebijakan yang ada, profesional lah dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab untuk memelihara kebahagiaan rakyat, jangan ada lagi praktik manipulatif yang membodohi rakyat, kita memiliki warna dan darah yang sama, sejarah yang sama dan buyut asal yang sama, sepenuhnya keadilan itu harus berdiri tegak tak kenal golongan maupun ras yang ada, keadilan merupakan jelmaan dari sifat sang mulia Tuhan yang esa. 78 tahun sudah kita terkungkung dalam problem-problem yang klasik, dan ini perlu reformasi secara blak-blakan.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadist Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar semester X