Keluar Zona Nyaman, Masuk Zona Merah

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh : Firda

Semester satu telah kulewati di tahun pertamaku berkuliah, enam bulan berakhir begitu saja dengan segala romansa yang terjadi, percintaan, pertemanan bahkan permusuhan. Semuanya bersatu menjadi sebuah banyolan yang bisa diceritakan kembali entah pada anak ataupun teman sejawat suatu saat nanti.

Memasuki tahun kedua berkuliah, dengan semangat membara-bara berharap perkulihan semester dua semenyenangkan semester sebelumnya, dengan mata kuliah baru dan kegiatan baru. Semua ekspekstasi sudah melayang-layang dipikiran.

Pagi-pagi buta aku bangun dengan notifikasi berita dari salah satu media online yang sudah kunyalakan notifikasinya agar mudah mendapat informasi terbaru. Sekilas aku membaca lead berita itu, di China khususnya daerah Wuhan telah terdeteksi sebuah virus yang mematikan. Tak kubaca hingga paragraf terakhir karena mata yang tidak ingin bekerja sama. Aku kembali terlelap hingga pukul delapan pagi. dengan semangat yang sama aku berjalan ke kampus.

Samar-samar aku mendengar Beberapa kumpulan orang yang kulewati bercerita.

“Katanya ada virus mematikan di china?”
“iya,deh itu virus bisa buat orang meninggal.”
“Apakah itu nama virusnya?”
“virus covid-19.”

Masih ada sedikit bualan yang kudengar namun tidak terlalu jelas karena jarakku dengan mereka sudah cukup jauh. Setelah melewati mereka aku terus mendengar cerita yang sama pada beberapa orang. Kutarik lengan baju kiriku perlahan dan melihat jamku.

“Ah, sepertinya aku sudah terlambat, mana dosennya agak sedikit tegas,” gerutuku dalam hati. Kutambah kecepatan berjalanku dan langkah kaki kuperbesar. Kunaiki anak tangga satu persatu dengan harapan dosen itu belum duduk manis dan mengabsen. Beberapa kali kenalanku menyapa, namun aku hanya berlalu pergi tanpa memberi respon. Mereka pasti tahu aku sedang terburu-buru.

Dan benar, dosen itu sudah duduk dengan pose yang cantik di meja kiri pintu, dengan memasang wajah lelah dan memelas, dosen itu mempersilahkanku duduk.

“Hari ini hari keburuntunganku bukan?” Ucapku pada sahabat karibku Dini.

“Iya, duduk sana, sepertinya kau akan dicecar pertanyaan mematikan karena terlambat dan dipersilahkan masuk begitu saja?”

“Oh iyah, ini tidak mungkin semudah itu,” ucapku dengan lesu.

Aku benar-benar diberikan beberapa pertanyaan mematikan, dan aku pasrah dengan semua itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.45 pagi, itu menandakan perkuliahan sudah selesai.

Seperti biasa aku dan sahabat-sahabatku, Dini, Wanlis dan Cahya sibuk mengatur tujuan selanjutnya. Seperti makan dimana, istirahat dan ngumpul di rumah siapa. Sangat tidak disangka ternyata hari itu adalah hari terakhir kami sibuk mengatur semua itu.

Berita Covid-19 di Wuhan yang kubaca tadi pagi,s udah masuk ke Indonesia. Segala kegiatan pendidikan, pusat perbelanjaan, dan kantor pun dipaksa untuk menghentikan kegiatannya hingga waktu yang tidak ditentukan.

Seluruh mahasiswa yang berada di dalam lingkungan kampus diarahkan untuk keluar, berdiam diri di rumah dan mematuhi protokol kesehatan. Terlalu banyak konspirasi yang beredar, hoaks dimana-mana, dan pemerintah yang terlalu lambat dan menganggap remeh virus ini.

Ketika singgah membeli makanan di sekitaran kampus saat ingin pulang,aku melihat berita di Tv. Menteri kesehatan sedang diwawancara.
“Tidak usah memakai masker jika tidak flu,yang pakai masker hanya yang flu saja,” tuturnya kepada wartawan dengan cekikikan. “Kita di Indonesia itu punya jamu dan rempah-rempah yang bisa menangkal virus,” lanjutnya.

Entah untuk menenangkan masyarakat atau memang virus ini dianggap remeh. Alhasil menteri kesehatan itu mengundurkan diri di tengah pandemi Covid-19 yang meningkat, ia menghilang dan tak pernah kembali.

Pandemi ini terus berlanjut hingga perjalanan darat, laut, dan udara di persulit. Daerah dengan zona merah di lockdown. Keluarga-keluarga terpisah karena sulitnya keluar masuk daerah. Semua kebijakan pemerintah realisasikan. Dibuatnya tim satgas Covid-19 dan tim khusus dari pejabat tinggi untuk mengendalikan virus yang awalnya dianggap remeh ini.

Tanpa basa-basi aku langsung meninggalkan Kota Makassar, berharap tidak dihadang di perbatasan. Aku sampai ke Pare-Pare dan tidak menunggu waktu lama langsung naik kapal laut ke Kalimantan khusunya Kabupaten Nunukan. Yang kupikirkan saat itu hanya cepat berkumpul dengan keluarga kecilku. Itu adalah salah satu keputusan yang kusyukuri hingga saat ini.

Jika saja aku menahan diri untuk kembali, mungkin aku tidak akan kembali hingga satu tahun kemudian. Tak kubayangkan sebesar apa rindu itu membengkak bagai bisul yang ingin pecah.

Aku berada di zona nyaman karena keputusan yang benar saat itu, berkumpul bersama keluarga di tengah pandemi yang membekukan segala aktivitas manusia. Selama beberapa bulan aku benar-benar hanya berada di dalam rumah. Istilah kuliah-pulang kuliah-pulang tergantikan dengan kuliah-tidur kuliah-tidur. Sangat nyaman memang, berbulan-bulan aku melakukan hal yang sama dan untuk orang yang suka berkegiatan sepertiku, itu benar-benar membosankan.

Pagi itu,aku berdiri di depan jendela persis menghadap ke arah Bapak yang sedang memberi makan ayam kampung peliharaannya dan Mama yang sedang duduk di sebuah kursi lusuh namun sangat nyaman di samping rumahku.

“Melihat pemandangan ini setiap pagi memang sangat menghangatkan hati, namun tidak mungkin aku terus berada di zona nyaman ini,” pikirku dalam lamunan.

“Apakah harus aku keluar dari zona nyaman dan kembali ke Makassar untuk berkegiatan kembali walaupun perkuliahan belum offline,” pikirku.
“Atau terus seperti ini, dan menurunkan citaku?”

Dilemaku terus menjadi-jadi, masukan dari teman dan orangtua tidak membantu. Kuulur terus-menerus waktu keberangkatanku dengan beribu alasan yang terus kukumandangkan. Akhirnya di awal bulan agustus aku sudah mempunyai keputusan yang bulat, keluar dari zona nyaman yang kujalani selama ini.

Sore itu, aku berangkat ke Makassar dengan niat agar aku bisa memaksimalkan waktuku untuk terus belajar. Aku menaiki kapal laut, transportasi andalan yang selalu kugunakan. Seperti biasa Bapak tidak mengantarku ke pelabuhan. Hanya Mama dan saudara laki-lakiku. Aku tahu bukan tak ingin mengantar anak gadis satu-satunya ini, Dia tidak mampu menahan sendu. Bukannya egois ingin meninggalkan mereka, tetapi kerja keras dan deritaku saat ini hanyalah untuk mereka, agar di masa tua, mereka bisa merasakan hasilnya.

Di saat membantu mengangkat koper ke mobil, Dia berusaha baik-baik saja. Sesekali memberi nasihat untuk tetap hati-hati, dan saat ingin pamit kepadanya, matanya sayup, memerah dan berkaca.

“Hati-hati di kota orang Nak, jangan percaya sembarang orang, hati-hati di sana,” suaranya parau menasihatiku.

Kuraih tangannya dan kucium sejadi-jadinya. Itu memang kalimat andalan yang selalu ia lontarkan ketika aku pergi meninggalkan rumah.

“Iyah pak,” suaraku lirih sambil mencium tangannya.

Aku naik di mobil,melambai dan melihat raut wajahnya. Ia juga membalas lambaianku dengan raut wajahnya yang berusaha menahan sendu.

Roda mobil berputar,  pertanda sopir sudah menarik tuas dan tancap gas mengantarku ke pelabuhan. Aku melayangkan pandang ke setiap sudut kota kecilku ini, sembari basa-basi dengan Mama.

Aku dan Mama adalah orang yang paling pintar menyembunyikan pilu. Sudah belasan kali aku berangkat kesana-kesini dan sampai saat ini kami tidak pernah meneteskan air mata di depan satu sama lain.

Aku ingat pada saat kelas enam SD, Aku sudah berani bepergian sendiri,dan diumurku yang masih 14 tahun aku sudah lihai menyembunyikan air mata. Aku benar-benar tidak meneteskan ait mata di depannya, tetapi di saat kapal sudah meninggalkan dermaga dan ia turun dari kapal. Aku menangis sejadi-jadinya.

Menurutku, bebannya saja sudah cukup berat karena keberangkatanku. Tak mungkin kutambah dengan air mata semu yang hanya keluar karena rasa pilu sementara.

Dan hari itu saat keberangkatanku, hal yang sama terjadi. Ia tidak menangis di hadapanku atau pun sedih. Kami berdua sama sama berakting seolah semua baik-baik saja. Padahal tidak ada yang baik-baik saja perihal tinggal meninggalkan. Orang lain pernah bertanya kepadanya, “Tidak sedihkah kau ditinggal anakmu pergi sekolah jauh?”

“Biasa saja,kan sekarang sudah ada video call jadi kaya ketemu biasa saja,” balasnya dengan nada yang percaya diri.

Sopir menarik pelatuk remnya, menandakan aku sudah sampai di tempat tujuan. Hiruk pikuk kesibukan pelabuhan, buruh sibuk mengangkat barang, satu keluarga yang mengantar satu orang keluarganya, dan pedagang asongan yang berusaha menggait pembeli. Suara dan keramaian mereka melebur menjadi sebuah kebisingan.

Aku berjalan menaiki tangga kapal dan sampai di tempatku akan tidur selama dua hari tiga malam.kasur lepek dengan panjang satu setengah meter di kali satu koma lima meter itu persis menyudut di samping pintu keluar. Tak heran, kepalaku sedikit pusing melihat penumpang dan pengantar berlalu lalang di depanku. Aku, Mama, dan saudara laki-lakiku bercengkrama dan sedikit melupakan kesedihan karena kepergianku sesaat lagi.

Suara klakson kapal sudah berbunyi dua kali,menandakan kapal akan bersiap meninggalkan dermaga.

“Kapal akan berangkat beberapa menit lagi, dimohon kepada seluruh pengantar dan pedagang asongan segera meninggalkan kapal,” suara terdengar dari speaker kapal. Hal itu berarti pengantarku juga tak terkecuali harus meninggalkan kapal, Aku keluar mengantar mereka, berdiri di teras kapal sambil melambai dan memperlihatkan wajah seolah berkata aku baik-baik saja, ini hanya masalah waktu. Kufoto senja di ufuk barat kota kecilku, memposting di instagram story dengan kalimat singkat di pojok kiri tengah, “Ada rindu yang harus dipendam demi cita yang harus dikejar.”

“Tut..tut…tuttt” klakson ketiga kapal berbunyi.

Tangga-tangga dilepaskan, tali tambang segera dilepaskan oleh para kadek. Mataku tak lepas dari pandangan melihat keluargaku. Kapal mulai bergeser meninggalkan dermaga secara perlahan, menandakan bahwa aku benar-benar akan pergi.

Persetan dengan zona merah yang ditetapkan pemerintah, aku hanya ingin keluar dari zona nyaman yang membuat citaku hampir pupus. Belajar online dengan dosen yang tidak mengerti tanggung jawab setiap hari. Kosong, jika hanya berharap kepada beberapa pendidik yang bermain culas.

Dua hari tiga malam telah berlalu, pagi itu aku sampai di Kota Pare-Pare. Kota lampu katanya, kecil tapi sangat terang.Aku bersiap-siap turun dari kapal, di dermaga ratusan buruh berbaju hijau kuning sudah siap menyerbu, berharap ada penumpang yang ingin diangkut barangnya.

Ketua dari buruh itu memimpin untuk naik ke atas kapal, “Satu..Dua…Tiga,” ucap pimpinanya menggunakan toa-semacam pengeras suara. “Serbu…naik,” sambil menyebut nama penumpang yang sudah mereka miliki.

Gaduh dan sangat ramai.

Corona?

“Apa itu Corona? Bagi mereka yang menghidupi hidup hari demi hari, lebih baik mereka mati karena Corona daripada melihat anak istirinya kelaparan di hari itu,” gerutuku sambil berdiri melihat semangat mereka.

Aku sampai di rumah Tante, saudara perempuan dari Mamaku. Aku tertidur hingga sore hari, mabuk lautku masih sedikit terasa. Rumah masih seperti bergoyang. Beberapa hari kota madya ini, Aku langsung pergi ke Makassar menggunakan kendaraan roda empat milik Omku. Kuratapi kembali setiap kabupaten yang kulewati, mulai dari Barru, Pangkep, Maros dan Makassar. Tidak terasa sudah setahun aku tidak ke sini semenjak corona menyerang.

Setelah empat jam perjalanan, Aku sampai di wilayah dekat kampus, kawasan yang satu tahun lalu masih menjadi tempatku berlalu lalang pada saat menjadi mahasiswa baru. Tidak ada perbedaan yang signifikan, hanya ada satu hal yang membuatku sedih. Restoran andalanku ternyata sudah gulung tikar, tempat yang hampir setiap hari kutempati mengisi perutku hilang bersama bangunannya. Tempatnya benar-benar kosong, seolah tidak pernah ada bangunan disana. Sisa ilalang yang menjulang tinggi menandakan resotoran itu dibongkar sudah sangat lama. Selebihnya, kawasan itu masih sama saja. Macet, berdebu, dan jalanan tanpa selokan, lucu bukan.

Kumulai semua kegiatan yang dapat kuhabiskan dengan waktuku, agar tak sia-sia kutinggalkan keluargaku. Mengikuti beberapa organisasi yang pas dengan passion-ku. terlepas dari organisasi, Aku hanya rebahan di rumah. Oleh karena itu aku berusaha mencari pekerjaan, dan moment-nya pas. Aku dipinjamkan kendaraan, tanpa basa-basi aku langsung coba mencari pekerjaan untuk mengisi waktuku. Mencoba terus keluar dari zona nyamanku selama ini. Melawan arus deras yang baru terjang. Benar-benar tidak nyaman dan mematikan tapi kutahu harus kulewati untuk mencapai tujuan.

Aku bekerja di sebuah restoran yang masih ada hubungan keluarga sebenarnya. Bertemu orang baru dengan sifat-sifat baru di lingkungan itu. Tukang masak yang cerewet dan tukang iri. Bos yang arogan dan angkuh. Aku berada di tengah pusaran kehidupan baru,dimana harus mendengarkan bos tanpa harus membantah, diam ketika disalahkan walaupun tidak salah, membisu ketika dipojokkan.

Sudah beberapa hari kulewati bekerja di restoran itu,dengan segala peristiwa dan tindakan yang masih asing bagiku. Beberapa peristiwa yang membuat kepalaku menggeleng beberapa kali pernah terjadi. Restoran tempatku bekerja bisa dikatakan tempatnya orang menengah ke atas, hanya beberapa pelanggan yang bermotor setiap makan siang dan malam disini. Selain itu, mereka adalah orang kantoran bermobil atau pun bos-bos yang disupiri.

Beberapa kali aku mendapati dan melihat bagaimana strata sosial sangat jelas terlihat. Bagaimana si kaya diperlakukan bagai sultan dan si miskin dibiarkan makan sendirian tanpa pelayanan.

Para penjilat mendekati si kaya, pura-pura tertawa ketika ia mengeluarkan lawakan. Padahal menurutku biasa saja. Lehernya sedikit menunduk ketika berbicara, ruang VIP dikosongkan untuknya.

“Kenapa nyata sekali ketimpangan sosial disini? Timpalku pada diri sendiri
Aku disuruh tersenyum lebar ketika pembelinya adalah orang yang berada. padahal semua orang sama saja kuperlakukan.

“Mau kaya, mau miskin toh mereka kesini hanya untuk makan.bukan hanya karena uangnya bertumpuk harus dilakukan seperti anak emas,” lanjutku.

Si kaya membayar makanan yang dimakan semua penjilat disitu, sang penjilat berlomba ingin membantu membayar. Dan akhirnya ya mereka mengambil lebihnya. Aku dimarahi oleh bosku, mengapa memberi harga pas kepada si kaya. Kejadian yang sungguh tak biasa menurutku.

“Bagaimana bisa, Aku memberikan harga lebih kepada seseorang yang sudah pas kuberikan harga!”

“Kalau orang kaya begitu, kasih lebih-lebih saja, karena banyak uangnya. tidak peduli dia tentang uang segitu,” ucap Bosku.

Ya, itulah realita kehidupan yang sedang kuhadapi sekarang. Dipaksa keras oleh keadaan yang baru kuhadapi dalam hidupku.

Bukan hanya peristiwa itu, lagi berhadapan dengan orang yang beruang. Katanya dia adalah anggota dewan, seorang pejabat. Setiap makan di restoran ia akan memandangiku ketika berjalan. Jelas itu sangat tidak nyaman. Dengan kasus yang sama, Aku dipaksa untuk bersikap ramah kepada pelanggan seperti itu. Padahal bosku juga adalah seorang perempuan, bukannya saling melindungi tapi dia malah menganggap hal biasa saja.

Pelanggan itu hanya ingin membayar jika saya yang memberikan bill, melihat dengan tatapan yang membuatku tidak nyaman, dan mengeluarkan kata-kata yang menurutku sudah tidak pantas dikeluarkan oleh lelaki tua, berumur, dan sudah beristri.

Ironis memang, bagaimana bisa ini terjadi kepada pelayan perempuan. Aku berbicara dan mengeluh kepada partner kerjaku di restoran itu.

“Kenapa perempuan harus menjadi objek pria seperti itu, pakaianku tertutup, riasanku tidak mencolok, lantas apa?”

“Kenapa wanita tidak pernah aman bekerja bebas di luar sana?”

“Apakah sulit menahan mulut untuk tidak sekedar melecehkan wanita secara verbal, ini jelas bentuk kekerasan?”

“Tidak bisakah perempuan bekerja dengan aman dan nyaman layaknya laki-laki?”

Mulutku terus mengomel sembari sesekali membasuh muka dengan air agar air mata tidak terlihat. Patnerku hanya terdiam dan ikut menenangkanku. Aku tahu dia tidak mampu berkata apa-apa. Kejadian hari itu benar-benar membuatku memilih ramah kepada beberapa orang saja.

Aku sadar, aku benar-benar keluar terlalu jauh dari zona nyamanku sendiri, prinsip bahwa lebih baik sekarang aku keluar dari zona nyaman agar di usia tua aku sudah bisa menikmati kenyamanan. Daripada harus terus berada di zona nyaman dan di hari tua merasakan ketidaknyamanan.

Semoga kerja keras yang kulakukan saat ini bisa membawa kenyamanan di hari tuaku kelak. Karena aku paham bahwa apa yang kita tanam sekarang adalah apa yang kita tuai.

Semangat untuk kalian yang sedang bekerja keras menata kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Usaha benar tidak akan mengkhianati hasil. Semua hanya tentang waktu, tentang kita yang tidak menyerah, dan tentang keyakinan pada diri kalian sendiri.

*Penulis merupakan Mahasiswa semester lima Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami