Oleh: Soesilo Ridwan
Perkenalkan namaku Imen, Imen saja. Terlalu panjang akan membuat orang sulit untuk mengingat, toh juga akan kuceritakan diriku sendiri di sini.
Nomaden, sebuah istilah yang diartikan sebagai orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Aku menyebut diriku demikian. Bukan karena tidak memiliki bangunan yang terdiri dari fondasi, lantai, dinding dan atap seperti pada umumnya. Hanya saja, tukang yang membuat rumahku tidak mengikutsertakan unsur-unsur kenyamanan saat membangun rumah. Bukan salah tukangnya juga sebenarnya, kuharap kau paham maksudku.
Di awal kubilang Aku akan menceritakan tentang diriku, tapi sebenarnya ini bukan tentang Aku, tapi dia 7 tahun yang lalu.
Ada sihir yang mengendalikan tubuhku agar tak berhenti membiarkan ia lari dalam ruang-ruang dalam kepalaku. Aneh, apakah dia punya pelet atau semacamnya? tidak jarang pertanyaan semacam itu muncul dalam kepalaku, dan lebih anehnya lagi, ini menyenangkan.
***
Wushh, angin kencang mengembuskan debu tepat pada mukaku yang tidak terlalu tampan, juga tidak terlalu buruk rupa ini. Entah kenapa akhir-akhir ini di dekat kampus tiba-tiba saja polusi membengkak di Tasama, apalagi kalau siang, mungkin karena pembangunan jalan di Kecamatan Kehidupan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus, dan mungkin karena matahari sedang panas-panasnya, atau mungkin juga karena perusahaan pengelola batu kerikil yang berada sangat dekat dari kampus.
Dalam perjalanan yang dengan tujuan ke stan pendaftaran satu lembaga di kampus yang sangat ingin Aku ikut sertakan diriku untuk terlibat di dalamnya saat masih berstatus mahasiswa baru. Aku berjalan sambil bernyanyi dengan sedikit goyangan kepala tanpa sadar. Sedikit memalukan, tapi sudah menjadi prinsipku untuk tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain, selama itu tidak merugikan orang lain.
Dengan harapan itu, tanpa sadar ternyata Aku sudah berada di dekat stan itu. Sebelum kakiku sampai di meja dan kursi stan itu, mataku terlebih dahulu melihat ada sosok perempuan bercelana jeans reguler, kemeja flannel abu-abu dengan kaos hitam polos sebagai dalamannya, kemudian dia berdiri dari tempat duduk. Terlihat daun lepas dari pohonnya yang membutuhkan waktu sangat lama agar dapat mencium tanah, dunia seakan bergerak lebih lambat sesaat setelah bola mata kami berdua saling menangkap satu sama lain, dan seketika momen itu menjadi abadi.
Setelah itu ia langsung pergi, dan Aku terdiam dengan rasa penyesalan karena tidak mengajaknya berkenalan setelah momen slowmotion itu. Kemudian secepat kilat Aku berlari ke satu di antara dua tempat duduk yang ada di stan pendataran.
“Mendaftar dek?” tanya panitia
“Iya kak saya mau,” jawabku
“Okey, kalau begitu isi absen ini terlebih dahulu,” kata panitia.
Tak sia-sia, sekarang kudapati nama perempuan yang tanpa seizinku membuat waktu berhenti sesaat seperti seorang penyihir itu, dia bernama Luna.
Dengan senyum yang tak nampak tanda berhenti pada mukaku, kakak panitia terlihat kebingungan, mungkin pikirnya, ada apa dengan anak ini, apakah ada yang salah pada absen itu, atau mungkin ada yang salah dengan alisku? itu semua nampak pada mimik mukanya. Tapi kubiarkan saja, itu urusannya haha.
Dua pekan pun berlalu. Sudah lebih dari seminggu di setiap setelah kuliah, kusisihkan waktu untuk mencari si penyihir di setiap sudut kampus, tapi nihil kudapati. Setelah selesai praktikum, Aku keluar dari ruangan dan melanjutkan misi pencarian.
Hari ini titik pencarianku akan kulaksanakan di Perpustakaan utama kampus, Ya! tempat tinggal ribuan buku-buku yang berkumpul dan bersusun dalam rak mereka masing-masing.
Setelah sampai di lantai tiga perpustakaan, Aku langsung mengambil buku dan duduk di tempat yang paling strategis untuk membaca. Ya, karena lampu di lantai tiga sebagian sudah tidak menyala atau tidak berfungsi dengan baik, juga di sini sangat panas karena pendingin ruangannya sudah tidak berfungsi sebagian.
Sekitar satu jam Aku duduk dan membaca, ada segerombolan mahasiswa yang lagaknya seperti mahasiswa semester akhir, berlari dan saling menegur satu sama lain. Aku tidak mengerti tingkah manusia semacam itu, apakah mereka tidak mengerti kenapa gedung ini dinamakan perpustakaan. Bahkan suara hentakan sepatu saja bisa membuat roboh fokus orang lain saat membaca.
“Berisik! kau kira ini lapangan futsal?” teriak seorang perempuan.
Seluruh lantai tiga menjadi hening, berpuluh-puluh pasang mata fokus kepada segerombolan mahasiswa tengik itu, tanpa sepatah kata keluar dari mulut penghuni perpustakaan, masing-masing dari luntang-lantung melarikan diri akibat malu.
Karena penasaran, Aku langsung berdiri dan berusaha menengok tipis ke arah perempuan itu.
“Dia penyihir itu!” ucapku dalam hati.
Tak sia-sia, misi pencarian ini berbuah manis. Aku kembali duduk dan termangu beberapa menit. Yang benar saja, Aku lupa merencanakan kalau nanti setelah bertemu dengan Luna apa yang akan Aku lakukan. Segala teori yang Aku pelajari tentang mendekati wanita hilang dalam kepalaku.
Aku berdiri lagi, kembali menengok ke arah Luna tadi, dan sekali lagi Aku kehilangan kesempatan untuk menyapanya. Hidung mancung Luna sudah tak nampak lagi.
Setelah planga-plongo mencari, tidak mengubah keadaan bahwa Luna sudah tidak di gedung ini lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan itu artinya perpustakaan akan segera tutup. Aku pun langsung meninggalkan perpus yang panas dan lampunya yang seolah tidak ikhlas itu.
***
Itu adalah terakhir kalinya aku melihat si penyihir. Bahkan terakhir kali melihatnya dia masih marapalkan mantra-mantra untuk menciptakan keajaiban di sekelilingnya.
Tujuh tahun berlalu, Sekarang Aku sudah punya kekasih, dia memiliki sepasang mata yang cantik, dengan senyum apik yang membuat setiap hariku terasa jauh lebih baik. Namanya Hana, dia manusia, dan seseorang yang kusebut sebagai rumah.
Terkadang Aku masih berpikir di mana Luna sekarang? Apakah keluarganya baik-baik saja? Apakah tidurnya cukup? atau apakah dia sudah menikah sekarang?
Tak banyak bisa Aku perbuat, meskipun tak sempat memiliki kenangan bersama Luna, Aku masih menikmati setiap momen yang tercipta. Saat di mana Aku disihir olehnya, dan menjadikan Aku yang sekarang.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar