Pengaruh Kapitalisme dalam Kehidupan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Pinterest.com

Oleh: Hulwana Ahsyani

Seorang perempuan terbangun dengan mata yang masih setengah terpejam, bahkan hampir terpejam. Tangan perempuan tersebut mengambil ponsel yang berada di meja samping ranjang miliknya. Layar ponsel yang silau menyipitkan matanya untuk berusaha menatap apa yang ada di dalam layar ponsel. Seketika matanya terbuka sempurna, kesadaran yang masih melayang-layang tadi berkumpul menjadi satu. Hal itu terjadi karena jam yang telah menunjukkan pukul 06:50 pada layar ponsel miliknya. Dengan tergesa-gesa perempuan tersebut turun dari ranjangnnya dan berlari ke arah kamar mandi. Dia telat salat subuh.

Sebelumnya mari berkenalan dengan perempuan yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Perempuan tersebut kerap dipanggil dengan Lizzy atau lebih akrabnya lagi Lizz. Lizzy, seorang wanita yang pada tahun ini akan berusia 23 tahun. Oh iya, mari kita ucapkan selamat pada Lizzy karena baru saja melaksanakan wisuda pada dua pekan lalu.

Lizzy duduk di atas ranjang miliknya dengan mukena yang belum dia lepaskan usai salat subuh tadi. Tangannya menggulir layar ponsel untuk melihat apa agenda yang telah ia catat untuk hari ini.

“Astaga, Aku baru ingat, hari ini ada janji dengan Wiya!” Lizzy segera melepas mukena miliknya, lalu turun dari ranjang.

Ia melangkah mendekati jendela kamar. Tangannya menggeser kain gorden yang menutupi pemandangan di luar jendela tersebut. Seketika silau matahari masuk dan menyinari kamar yang tadinya gelap gulita. Mata Lizzy memandang ke arah langit yang barawan. Sangat cerah. Lizzy tersenyum, lalu segera berbalik dan bergegas untuk mandi. Ia harus segera bersiap, hari ini akan menjadi hari yang panjang bagi Lizzy.

***

“Wiya!” seru Lizzy. Perempuan yang sedang membaca buku di tangannya segera menoleh ke arah pintu. Wiya menatap Lizzy yang baru saja datang dengan membawa totebag di lengan kanannya.

Lizzy lalu melangkah masuk dan ikut bergabung bersama Wiya duduk di atas karpet pink berbulu. Segera ia mengeluarkan kantong plastik putih yang berisi sekotak makanan dengan bau yang menggiurkan.

“Coba tebak apa yang Aku bawa?” Lizzy tersenyum jail menatap Wiya yang terlihat mulai sumringah.

“Aku sudah hafal bau dari makanan ini, pasti kebab kan?” Wiya menjawab dengan ekspresi sombong, seolah sudah tahu betul apa isi kotak itu.

Lizzy mengulum senyum kecil, segera membuka isi kotak tersebut. Benar saja senyuman Wiya semakin merekah melihat isi kotak itu. Empat tahun berteman, sangat mustahil jika Wiya tidak hafal dengan bau kebab langganan mereka.

“Nahh, benar kan jawaban Aku tadi, kamu sih kalo kasih pertanyaan harusnya lebih rumit dong,” Wiya segera mengambil kebab dan menyantapnya lahap.

“Iya ya, kenapa pertanyaan seperti itu yang Aku berikan,” Lizzy ikut mengambil kebab dan menyantapnya bersama.

“Oh iya, Kamu ingin membahas apa hari ini?” tanya Lizzy.

Mendengar itu, Wiya segera mengunyah kebabnya dengan cepat. Lizzy tertawa, takut tersedak segera ia berikan air pada Wiya.

“Pelan-pelan Wiya nanti bisa tersedak, waktu kita masih panjang,” ucap Lizzy mengingatkan.

“Sebenarnya Aku memiliki tugas untuk wawancara dan temanya berkaitan dengan pandangan tentang kapitalisme. Aku mau Kamu jadi narasumber untuk tugasku,” Wiya mulai menjelaskan.

“Oh iya, Aku tidak semerta-merta memilih Kamu loh. Karena Aku tahu kamu punya pandangan mendalam tentang kapitalisme itu,” Lizzy mengangguk mengerti.

“Oke, Aku sih bersedia saja diwawancara, tapi harus ada imbalannya ya,” Lizzy mengangkat alisnya jail.

Wiya menimpali Lizzy. “Iya iya, terserah yang penting Kamu harus membantu untuk menyelesaikan tugasku,” Wiya mulai mengeluarkan alat perang yang akan ia gunakan untuk mewawancari Lizzy.

Lizzy tersenyum senang mendengar jawaban Wiya. Ia mulai membayangkan hal apa saja yang akan ia minta nanti.

“Baiklah Lizz, persiapan wawancara sudah siap. Apakah sudah bisa kita mulai?” Lizzy mulai memperbaiki posisi duduknya, mencari tempat ternyaman.

“Iya bisa dimulai” ucap Lizzy. Wiya mengangguk dan mulai menyalakan rekaman ponselnya. Tangannya juga sudah memegang alat tulis bersiap menulis poin-poin penting pada sesi wawancara nantinya.

“Baik selamat siang Lizzy, perkenalkan saya Aswiyah meminta izin untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pandangan anda sebagai sarjana ekonomi tentang pengaruh kapitalisme pada kehidupan manusia,” Wiya mulai berbicara.

“Iya selamat siang juga Wiya, berkaitan dengan pertanyaan itu boleh-boleh saja, silakan ajukan pertanyaan yang memang ingin diajukan,” Wiya mengangguk mendengar jawaban Lizzy.

“Baik terima kasih sebelumnya, jadi untuk pertanyaan pertama dari saya, apakah kapitalisme itu baik menurut pandangan anda?” Lizzy tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu.

“Untuk pertanyaan itu Aku akan menjawab singkat saja, tidak,” katanya.

“Kalau boleh tahu mengapa anda mengatakan demikian?”

“Karena kapitalisme adalah salah satu sebab dari terjadinya kesenjangan sosial dan ketidakadilan bagi kalangan bawah yang rendah dalam segi material dan tidak memiliki kekuasaan,” Wiya mengangguk mengerti.

“Oh jadi seperti itu, lalu bagaimana pandangan anda tentang pengaruh kapitalisme dengan kehidupan pribadi anda?” Lizzy terdiam sejenak.

“Mungkin jawaban yang akan saya berikan cukup panjang, tidak mengapa?” Wiya tertawa pelan.

“Sangat diperbolehkan, tidak masalah panjang atau pendek jawaban itu,” Lizzy mengangguk.

“Jujur saya dulu adalah orang yang memiliki nilai konsumsi yang tinggi. Saya suka membeli barang-barang mewah, branded atau yang sedang tren pada saat itu. Intinya setiap saya memiliki keinginan terhadap sesuatu maka saya akan berusaha untuk memenuhi keinginan itu, tidak peduli apakah hal itu memang saya perlukan atau hanya sekadar mencapai kepuasan saja. Terkadang juga faktor yang mendorong saya untuk membeli suatu barang dari strategi pemasaran misalnya diskon yang diberikan di suatu toko. Kapitalisme sangat memberikan pengaruh besar dari segi konsumsi dalam kehidupan pribadi saya. Jika mengingat kembali pada masa itu saya…,” ucapan Lizzy terhenti. Seketika mengheningkan ruangan.

“Maaf, anda baik-baik saja? Jika tidak dapat dilanjutkan kita bisa melangkah ke pertanyaan selanjutnya,” ucap Wiya bingung.

“Hufftt, tidak, saya bisa melanjutkan jawaban saya,” Lizzy mengembuskan nafas pelan.

“Baiklah, anda dapat manjawab dengan rileks dan santai,” Lizzy tersenyum, lalu mengangguk.

“Saya terdiam tadi karena mengingat betapa banyaknya yang terkena dampak buruk dari hal yang saya lakukan, terutama orangtua saya. Karena ketika saya menginginkan sesuatu, saya memaksa orangtua untuk memenuhinya. Tentu saja degan pengorbanan material yaitu uang. Tak peduli berapa harga dari barang yang saya inginkan, yang jelas saya akan terus menuntut mereka sampai permintaan saya dikabulkan. Orangtua saya juga tidak pernah mengeluh atau mungkin saya yang menutup mata dan telinga dengan keadaan mereka,” Wiya mengangguk paham.

“Kalau saya tidak salah, anda menyebutkan banyak yang terkena dampak buruk dari kebiasaan anda. Kalau saya boleh tahu siapa saja yang anda maksud?” Wiyah kembali menghujani Lizzy pertanyaan.

“Selain dari orangtua saya, ada orang lain yang juga merasakan dampak buruk dari kebiasaan konsumtif yang saya miliki. Orang-orang di sini yang saya maksud ialah para buruh atau pekerja. Karena secara tidak langsung saya telah mendukung sistem kapitalisme itu. Ketika saya berbelanja secara berlebihan di luar kebutuhan yang seharusnya, maka saya telah mewujudkan apa yang diinginkan oleh para kaum kapitalis. Buruh atau pekerja merupakan orang-orang yang ditekan dalam sistem kapitalisme ini,” ucap Lizzy geram.

“Baiklah, jadi buruh salah satu orang yang dirugikan dalam sistem kapitalis ini?” Lizzy mengangguk setuju.

“Buruh atau kaum pekerja merupakan orang-orang yang terikat sistem kontrak. Jika kita lihat para kapitalis ini selalu berusaha untuk mempertahankan sistem tersebut karena menguntungkan pihaknya. Sedangkan buruh akan semakin terpuruk dan di keadaan seperti ini mau tidak mau, suka atau tidak para buruh akan tetap masuk dalam sistem kapitalisme yang telah kuat di masyarakat,” ujarnya.

“Iya, lalu adakah tempat yang tidak terpengaruhi oleh kapitalisme?” tanya Wiya penasaran.

“Ada, contohnya di salah satu daerah yang ada di Indonesia,” jawab Lizzy.

“Baiklah, pertanyaan terkahir. Kapan sistem kapitalisme ini dapat berakhir?” tanyanya lagi.

“Kalau untuk pertanyaan ini saya ragu untuk menjawab, tapi saya akan memberikan pesan bahwa di masa ini kapitalisme adalah hal yang sulit untuk kita hindari. Namun saya tidak memberi saran untuk kita menutup diri dan meninggalkan kapitalisme, tetapi cobalah untuk tidak berlebihan dalam mengonsumsi sesuatu. Penuhilah kebutuhan bukan keinginan, karena keinginan tak ada batasnya dan tidak pernah bisa selesai,” Wiya lagi-lagi sepakat.

“Baiklah saya ucapkan terima kasih karena anda mau meluangkan waktu untuk wawancara hari ini, sebelum saya tutup saya ingin mengatakan wawancara tadi merupakan pembahasan yang sangat menarik,” Lizzy senang bukan kepalang, karena ia tahu bahwa perkataan itu serius bukan sekadar pujian.

“Iyaa, saya juga berterima kasih kembali,” ucap Lizzy. Wiya segera mematikan rekamannya.

“Wow, sangat menarik, Aku benar-benar harus banyak belajar lagi. Ternyata pengaruh kapitalisme lebih dari apa yang Aku duga,” Wiya berseru heboh. Tangannya sibuk merapikan alat yang tadi ia gunakan saat wawancara.

“Kapitalisme memang pembahasan yang menarik dan penting. Jadi sangat disayangkan jika anak muda zaman sekarang mulai menutup mata tentang kapitalisme, karena kenikmatan yang mereka rasakan dari produksi kapitalisme tersebut,” ucap Lizzy dengan tangan yang sibuk membuka botol minuman. Barangkali ia haus.

“Aku harap kita dapat berbincang lebih banyak lagi tentang ini,” ucap Wiya sekali lagi.

Lizzy menimpali Wiya “Tentu saja, kapan pun Kamu bisa mengajak Aku lagi untuk mengobrol,”

“Sepertinya Aku harus bergegeas pulang, Ibu sudah menelepon,” ucap Lizzy menatap layar ponselnya yang sedari tadi bergetar.

“Iya, hati-hati di jalan Lizz. Semoga kita bisa berbincang lagi dalam waktu dekat,” Lizzy mengangguk dan segera membereskan barangnya untuk pulang.

*Penulis merupakan Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami