Oleh: Hulwana Ahsyani
Langit sore telah menampakkan keindahannya, memancarkan auranya membuat mata betah untuk terus memandangnya. Langit yang tadinya mendung kini telah berganti dengan fenomena senja yang begitu memanjakan. Walaupun masih ada bekas dari sisa hujan tadi, tapi keindahan langit sore itu benar-benar tidak dapat membuat perhatian beralih darinya. Begitulah yang dirasakan seorang anak laki-laki yang sedang duduk di atas sebuah batu, di bahunya terdapat setumpuk ubi.
Merasa senja sudah hampir selesai, anak itu segera bangkit lalu memperbaiki posisi ubi yang sedang ia bawa di bahunya. Segera ia berjalan menuju rumahnya, untuk bertemu Ibu dan Adiknya.
“Assalamualaikum,” salam anak itu setelah menaruh ubi di depan rumah.
“Waalaikumsalam nak, sudah pulang?” sambut Ibunya dari arah dapur.
“Kakak! yey Kakak sudah datang!” riang Adiknya yang selalu menyambut kedatangannya dengan gembira.
“Iya, Kakak sudah datang,” jawab anak itu dengan senyuman, lalu segera masuk ke dalam rumah. Setelah mengacak rambut Adiknya, anak itu segera ke dapur bertemu Ibunya.
“Ibu, hari ini aku nggak dapat banyak ubi karena tadi sempat hujan,” ucap anak itu memberitahu, lalu Ibunya tersenyum lalu mengusap tangan anak itu pelan.
“Andi, kamu tidak perlu sebenarnya mengerjakan hal ini. Uang yang Ibu dapatkan dari jualan tempe masih cukup untuk kamu dan Adikmu,” ucap Ibunya.
Ini bukan pertama kali Ibunya mengucapkan hal ini kepada Andi, mengingat Andi baru berada di bangku kelas 4 SD. Ibunya merasa sedih jika Andi sudah harus melakukan pekerjaan seberat ini di usianya.
“Nggak apa-apa Bu, aku suka kok kerja begini. Aku bisa dapat uang terus kasih ke Ibu dan Adik,” ucap Andi dengan senyuman yang riang. Ibunya hanya mengangguk lalu ikut tersenyum.
“Ya sudah kalau begitu, kamu istirahat ya. Oh iya besok ada orang yang mau datang ke sini, katanya sih mau bicara sama kamu,” ucap Ibunya memberitahu.
Tadi pagi saat Andi telah berangkat, Pak RT pergi ke rumah mereka untuk memberitahu bahwa besok akan ada orang yang datang untuk bertemu dengan Andi.
“Orangnya siapa Bu?” tanya Andi sembari menuangkan air di gelas.
“Ibu juga kurang tahu. Intinya besok kamu siap-siap aja ya,” jawab Ibunya, lalu segera beranjak dari dapur. Andi yang mendengar itu hanya terdiam.
***
“Yang mana rumahnya pak?” tanya seorang gadis.
Di tangannya terdapat sebuah buku dan pulpen. Di belakang gadis itu terdapat dua orang laki-laki, salah satu dari mereka membawa sebuah kamera.
“Di sebelah sini dek” ucap lelaki yang sedang memandu ketiga anak muda tersebut.
Tak lama setelah berjalan hampir 20 menit, mereka sampai di depan sebuah rumah. Rumah dengan bangunan yang tak begitu kokoh, bahkan dapat dikatakan bangunan tak layak huni.
“Assalamualaikum, permisi Bu Dayu” salam dari lelaki yang memandu di depan.
“Waalaikumsalam,” jawab wanita dari dalam rumah tersebut. Lalu tak lama keluar seorang wanita dengan sarung yang melilit di pinggangnya.
“Bu Dayu, ini anak-anak yang Pak RT bilang kemarin. Mereka yang ingin bertemu dengan Andi,” jelas lelaki paruh baya tersebut.
“Permisi bu, perkenalkan saya Lita dan ini teman saya Andri dan Lukman. Kami mahasiswa Universitas Cendana, kami sedang melakukan sebuah penelitian Bu. Kalau Ibu berkenan saya akan melakukan sebuah wawancara singkat kepada Andi. Izin dari Ibu akan sangat membantu penelitian kami Bu,” jelas Lita kepada Bu Dayu.
“Oh iya dek, bisa. Kalian mau ngobrol sama Andi kan? Tapi Andinya barusan berangkat pergi mengambil ubi” jawab Bu Dayu.
“Andi sudah pergi ya Bu? Kalau boleh tahu dia biasanya ambil ubi di mana Bu?” Tanya Lita.
“Duh jauh dek. Kalau kalian mau, bisa tunggu Andi di bukit sebelah sana (sambil menunjuk ke arah bukit yang jaraknya sekitar dua kilo dari rumahnya), biasanya Andi singgah di sana kalau sudah mau balik ke rumah”.
“Baik Bu, kami tunggu di sana saja. Sebelumnya terima kasih banyak Bu atas bantuannya,” ucap Lita, tersenyum.
“Iya dek sama-sama. Kalian ke sana hati-hati kemarin habis hujan, jalanan licin,” ucap Bu Dayu, mereka tersenyum lalu mengangguk sebagai jawaban.
“Pak terima kasih ya, kami ke sana sendiri aja. Bapak bisa balik,” ucap Lita kepada lelaki yang menjadi pununjuk jalan tadi.
“Baik dek, hati-hati ya. Bapak pamit dulu”. Setelah itu bapak tadi beranjak dari sana. Mereka bertiga segera berjalan menuju bukit yang dimaksud Bu Dayu.
***
Benar saja, saat waktu telah menunjukkan pukul 4 sore, Andi datang ke bukit tersebut dengan ubi yang ia bawa di bahunya.
“Halo dek, pasti kamu yang namanya Andi kan?” sapa Lita. Lalu Andri segera membantu Andi membawa ubi tersebut.
“Kakak siapa?” Anak itu masih berdiri. Menatap bingung kepada para anak muda tersebut.
“Oh iya, Andi duduk di sini dulu. Kakak mau ngobrol banyak sama Andi” ucap Lita menepuk batu yang tak jauh dari tempatnya. Andi segera duduk di tempat yang Lita tunjukkan.
“Kenalin Andi, Kakak namanya Lita, kalau yang pakai kacamata itu Kak Lukman, kalau yang pegang kamera itu Kak Andri,” ucap Lita menunjuk Lukman dan Andri bergantian. Andi mendengar itu hanya tersenyum ia teringat perkataan Ibunya kemarin, bahwa ada orang yang ingin bertemu dengannya.
“Andi, Kakak boleh kan ngobrol sama Andi?” tanya Lita. Andi mengangguk sebagai jawaban. Melihat itu Lita tersenyum, begitu juga Andri dan Lukman.
“Andi kelas berapa?” Lita mulai membuka sesi obrolan mereka.
“Kelas 4 SD kak” jawab Andi. Lita mendengar itu tersenyum lagi.
“Terus kenapa nggak sekolah?”
“Hari ini izin, karena Ibu lagi sakit” Lita mengangguk, mendengarkan. “Ibu sakit pinggang, sakitnya udah lama sih. Kadang Ibu sampai nggak bisa berdiri karena nahan sakit”.
“Oh gitu ya Andi, semangat ya. Kakak doain semoga Ibu cepat sembuh. Tapi Andi hebat ya, kelas segini udah ada penghasilan sendiri. Keren!” Andi hanya tersenyum mendengar ucapan Lita. “Oh iya Andi, Andi nggak capek ya, kalau kerja begini?”
“Capek kak, tapi kalau nggak kerja, susah buat makan” jawab Andi.
“Kadang ke sekolah nggak bawa jajan juga, walaupun kadang mau jajan”.
“Terus kalau waktu sekolah, kerjanya gimana?”
“Kalau waktu sekolah, biasanya pas pulang dari sekolah kak, tapi kadang udah lambat jadi udah nggak dapat ubi lagi,” Andi menjawab, tatapan anak itu menatap ke arah langit yang mulai berwarna orange.
“Andi nggak malu sama teman teman kerja begini?”
“Nggak kak. Semuanya kemauan Aku, Aku kerja buat bantu Ibu dan Aku ikhlas kak,” Lita tersenyum kagum mendengar Andi.
“Biasanya sehari dapat berapa Andi?”
“Biasa Rp 20 ribu kak, atau Rp 15 ribu”
“Terus uangnya kamu simpan?”
“Nggak, Aku langsung kasih ke Ibu. Aku kasihan lihat Ibu, Ayah udah lama pergi ninggalin Ibu,” jawab Andi.
“Ayah pergi dari Aku SD kelas 2, nggak tau juga kemana. Aku nggak nanya karena ngiranya Ayah pergi cuman sebentar ternyata nggak balik-balik”.
Lita tahu dari sorot mata Andi terdapat sebuah kesedihan mendalam yang ia pendam. Anak dengan usia di mana ia seharusnya sedang merasakan kasih sayang orang tua, bermain dengan teman sebayanya malah harus merasakan bagaimana kerasnya dunia.
“Andi rindu sama Ayah?” setelah mendengar pertanyaan Lita, tak lama Andi menitikkan air mata.
“Rindu kak. Kadang berfikir Ayah dimana ya? lagi apa? nggak rindu sama Aku, Adik dan Ibu?” jawab Andi. “Pernah juga bertanya kenapa Ayah pergi ya? Aku salah apa?”
Lita mendengar itu ikut menangis, gadis itu segera mengambil tisu yang ia bawa. Lalu memberikannya kepada Andi. Anak itu tersenyum lalu menerima tisu tersebut.
“Andi punya harapan?” tanya Lita.
“Punya kak” Andi kembali menatap langit, dari sorot mata anak itu memancarkan sebuh harapan. “Aku harap Ibu dan Adik bisa bahagia terus,” Andi berucap dengan senyuman di bibirnya.
Di sore itu, Andi sedang mengajarkan Lita sebuah arti dari bersyukur. Tak hanya Lita tapi untuk kita semua yang membaca ini. Bagaimana kita yang merasa masih kurang dengan apa yang kita punya, namun tidak melihat bagaimana kehidupan orang yang berada di bawah kita. Dalam hidup ketika kita selalu melihat ke atas, maka rasa syukur tak akan kita miliki sekali pun dunia dan seisinya ada di genggaman kita.
*Penulis merupakan Mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar