Oleh: Fuad Jauhary
“Beri Aku kuda paling cepat” kata lelaki jujur itu. “Aku baru saja menyampaikan kebenaran kepada raja”. –Veritas Odium Parit.
Seperti halnya kebanyakan orang, mereka setidaknya punya satu, dua orang penulis yang membuatnya berpikir bahwa mereka perlu menulis. Hal yang sama terjadi padaku setelah membaca cerpen-cerpen Borges dan Denevi, serta penulis cerpen sangat pendek lainnya yang kebanyakan dari Buenos Aires, Monterrey dan Barichara.
Jauh sebelum orang-orang sekarang merasa tidak punya waktu untuk hal-hal remeh, mereka seakan sudah tahu jika kelak orang-orang akan tidak punya waktu untuk hal-hal remeh, seperti membaca cerpen. Dunia butuh hiburan yang tidak menyita uang dan waktu. Karena dunia dipenuhi orang-orang yang mengakui kecepatan sebagai kemenangan, kesibukan adalah kebahagiaan, dan kelimpahan adalah keberhasilan. Walau penilaian ini sepenuhnya subjektif, setidaknya itu hal yang bisa Aku yakini agar selalu mengingat kenapa Aku harus selalu memperhatikan hal-hal remeh.
Jika bukan Ronny Agustinus, Aku tidak akan tahu jika Veritas Odium Parit adalah cerpen. Jika bukan Veritas Odium Parit Aku tidak akan tahu cerpen semacam itu. Cerpen yang sangat pendek itu, mirip dengan kutipan yang memiliki formula sangat jujur dan sederhana. Walau begitu, apa yang disampaikannya sangatlah kompleks, namun penuh kesangsian yang mengantar pembacanya pada sesuatu yang lebih kompleks lagi.
Aku, secara tidak sadar tumbuh dengan cerpen yang sangat pendek semacam itu. Dulu, karena keterbatasan mengakses hiburan dan informasi, cerpen sangat pendek yang sedikit banyak didapat dari mencuri dengar dari percakapan Bapak-Bapak di pos kamling menjadi informasi sekaligus hiburan bagi anak-anak yang mainnya di sekolah dan mentok-mentok di ujung lorong, seperti Aku.
Salah satunya seperti ini. Pada malam hari saat semua pekerjaan tertidur, ada satu pekerjaan yang tetap terjaga. Penjaga karcis tol. Konon, di remang cahaya lampu jalan panjang yang lengang, di balik bilik karcis tol itu penjaganya tidak menggunakan BH. Bapak yang baru kutahu bahwa ia adalah sopir daerah karena beberapa bulan setelah kudengar ia menceritakan jika mobilnya ditumpangi Ibuku berangkat keluar kampung tertawa puas. Aku ingat, setelah menceritakan itu kepada teman-teman bermain kelerengku, Aku bilang saat besar nanti Aku akan lewat tol setiap malam. Sejak berkuliah di kota dan berinteraksi dengan orang-orangnya, ada sekali atau dua kali waktu mereka membawaku melintasi tol. Walau sekarang karcis tol tidak perlu dijaga manusia, Aku diberi tahu, bahwa dulu sampai terakhir digunakan, pada dini hari yang berjaga di bilik karcis tol adalah laki-laki.
Setelah orang-orang kampung seperti Aku mengenal sosial media seperti Facebook, Aku kembali menemukan cerpen sangat pendek serupa yang lain. Ceritanya begini, ada seorang Ayah yang sangat kejam menyiksa anaknya yang menutup aurat dengan jilbab. Ia disiksa habis-habisan padahal ini hanyalah jilbab, bukan kerudung panjang besar yang berlapis-lapis, sekadar memakai jilbab agar rambutnya tidak dilihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Hingga suatu waktu akhirnya ia berani bersuara. Kesabaran yang selama ini ia pegang sebagai jalan takwa akhirnya meledak. “Memangnya kenapa kalau Sari memakai jilbab, Ayah?” Dengan suara tersengal yang sesekali diiringi isakan tangis ia berkata pada ayahnya “Apa salahnya jika Aku menutup auratku, Ayah?” tanyanya. Dengan suara penuh amarah Ayahnya menjawab “Buka jilbabmu itu, Sarifuddin”.
Aku ingat persis ide ceritanya itu, walau telah banyak mengalami modifikasi dan improvisasi dari setiap berpindah mulut ke telinga satu ke mulut ke telinga lainnya. Pola-pola cerita semacam itu sangat mudah tertebak, namun tetap saja menyenangkan untuk dibaca. Cerpen sangat pendek memang benar-benar bisa dikonsumsi oleh siapa saja karena sangat ringkas dan mudah dipahami. Dan yang terpenting bagi orang-orang yang tidak punya waktu, ia tidak perlu menghamburkan uangnya dengan berlama-lama membaca.
Semua orang tahu bahwa selalu ada pesan-pesan yang berusaha disampaikan penulis lewat tulisannya, namun terkadang pesan-pesan itu tidak ditulis secara gamblang dan diperlukan pembacaan secara anarkis, begitu menurut Eka Kurniawan, agar dapat mengungkap pesan atau isu yang lebih besar dari setiap tulisan. Aku suka hal-hal semacam itu, menggugah mata. Itu satu atau dua alasan kenapa Aku senang membaca tulisan fiksi belakangan ini, apalagi jika itu cerpen, terlebih jika itu cerpen sangat pendek. Tulisan yang terbilang ringkas itu dapat menavigasi pembacanya pada kesadaran baru. Seperti saat Aku tertampar membaca Minimus 3, cerpen sangat pendeknya Jose Lira Sosa. Begini ceritanya, segalanya bergerak, tak ada yang diam karena itu bertentangan dengan hakikat alam semesta, kata sang filsuf sambil meringkuk nyaman di sofa favoritnya.
Sesaat setelah membaca Dinosaurus, cerpen sangat pendeknya Augusto Monteresso yang ceritanya begini, ketika ia terbangun, dinosaurus itu masih di sana. Aku dengan penuh kesoktahuanku, membuat hal serupa dengan harapan bisa menjadi medium untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengambang di kepala sekaligus menjadi media mengekalkan ide.
Cerpen sangat pendekku ini Aku bungkus dengan judul Cinta. Begini ceritanya, agar selamat dari eskapisme, Aku berpura-pura belajar bahasa Inggris, mencintai bahasa Inggris, yang membuat orang-orang Amerika mencintaiku dan mengajakku bergabung ke sebuah organisasi rahasia yang mengerjakan penelitian tentang masa depan dunia. Namun karena kecintaanku pada negaraku, Aku merekrut teman-temanku di kampung dan teman-teman yang meratapi ijazah yang didapatnya dari hasil belajar kurang lebih tiga tahun di kampus dengan berpura-pura mengaku bahwa mereka juga mencintai bahasa Inggris. Namun karena kecintaan orang-orang Amerika pada bahasa Inggris mengakibatkanku harus dihukum mati karena ketahuan berpura-pura belajar dan mencintai bahasa Inggris setelah tertangkap basah memakan Coto Makassar. Bahkan setelah berulang kali mengatakan Aku cinta bahasa Inggris, mereka tetap tidak percaya. Mungkin karena Aku mengatakannya dengan bahasa Konjo (dialek Suku Kajang-Sulawesi Selatan).
Setelah berkali-kali menghabiskan buku Matinya Burung-Burung, Aku paham kenapa Eka Kurniawan dan Aan Mansyur ingin membesarkan dirinya sebagai pembaca.
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Akademi Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar