Cerpen: Wush

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok. pribadi Soesilo Ridwan

Oleh: Soesilo Ridwan

Perpaduan antar cahaya matahari sore yang diaduk oleh angin sepoi-sepoi dari gazebo selatan di belakang rumah nenek. Jaraknya pun yang tidak terlalu jauh dari pemukiman warga kota, dua jam memakai sepada motor tampaknya cukup untuk sampai ke desa ini.

Hanya sesekali aku berkunjung sejak pindah ke kota karena kuliah, kadang hanya pada saat kurasa sangat suntuk tetap tinggal di kota dengan isi kepala yang mulai bertarung, ditemani dengan suara klakson manusia tidak sabaran yang akan berbelok di perempatan samping kontrakan tempat aku tinggal.

Tidak memakan waktu yang lama untuk mengakrabkan diri dan berkawan dengan kawanan ayam, bebek, ubi, beserta pohon kelor dan kawan-kawannya.

“Kau tahu Nak? Pohon itu sudah ada jauh sebelum kau lahir, dia sudah terlebih dahulu berdiri di dunia ini,” sambil menunjuk pohon kelor.”

Celana saja, aku bahkan berani bertaruh, bahkan dengan bantuan lengan orang dewasa tak akan mampu membuat jari mereka saling bertemu saat memeluk pohon kelor itu. Tinggi besar dan kokoh.

“Kau tahu Nak? Tak termasuk hujan lebat termasuk angin yang ia temui saat usianya masih seumuran biji jagung. Namun, ia memilih untuk tetap berada di sana, tumbuh dan menjadi pohon kelor yang jauh lebih tangguh. Pada akhirnya hujan lebat yang ia jumpai di masa lalu yang menggugurkan daun dan mematahkan beberapa lengan itu sekarang menjadi nutrisi baginya. Kini ia tumbuh dengan tangkai yang lebih kokoh dengan jutaan daun yang jauh lebih ranum. ”

Setelah melontarkan kata-kata yang pelik itu, nenek pergi kembali menaiki rumah panggungnya menemui dapur menyiapkan isi tudung saji untuk malam nanti.

Tak lama, kemudian muncul suara kucing dari balik pohon yang punya batang lebar itu, menjadi suatu tanda tannya besar dari mana datangnya kucing itu, aku bahkan tak melihat kucing itu berjalan dengan keempat kakinya menuju pohon itu.

“Pohon itu berada di tengah-tengah pematang sawah!, bagaimana mungkin tiba-tiba muncul kucing di balik pohon itu??,” gumamku.

Kucing itu perlahan muncul dari balik pohon, cara berjalannya pun tak seperti kucing pada umumnya, penuh percaya diri, dengan punggung yang lebar, seolah-olah mengingatkan kehadiranya saat berjalan. Dan anehnya lagi, ia hanya menggunakan dua kakinya saat berjalan menuju gazebo tempatku duduk.

“Hei nak, beri aku ikan,” perintahnya.

Kami saling bertatap mata, saya mencoba menghilangkan keanehan itu pada pikiranku, dan mencoba menjawab pertanyaan si tuan kucing.

“Aku tak punya ikan tuan kucing, mungkin nenekku punya,” jawabku

“Ah aku bertanya padamu, bukan pada nenekmu. Lalu apa yang kau punya nak?,” tanyanya dengan mata yang meremehkan.

“Aku hanya punya setengah bungkus rokok kretek di saku celanaku tuan kucing,” jawabku lagi.

“Baiklah, beri aku sebatang. bakar dan berikan padaku nak,” ujarnya lagi.

Kuambilkan sebatang, ku bakar lalu kuberikan pada si tuan kucing.

“Kau mungkin merasa bingung dari mana kemana aku tiba-tiba mucul di balik pohon kelor itu, namun meski kujelaskan kau tak akan mampu mengerti. Manusia tak akan mampu mencapai penjelasan yang diluar batasannya nak,” katanya

Masih dengan perasaan bingung, namun aku merasa ingin menceritakan segalanya pada si tuan kucing. Seolah jika menceritakan semuanya padanya, aku merasa si tuan kucing akan mengerti dan akan memahami.

*Habis dua batang rokok dari genggamannya, ku ceritakan semua buah pikiran muram ku padanya.

“Hmmm… terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan tak berdasar di dalam ubun-ubun mu nak. Barangkali akan cukup lama, namun beberapa pertanyaan dalam hidup itu harus kau jawab sendiri, juga beberapa pertanyaan yang kau usahakan akan tetap tidak jawabannya nak . Tak mudah, namun akan lebih sulit bila kau tak ingin menerimanya”

Setelah percakapan yang menyenangkan itu, Kemudian matahari seolah menari dengan cahayanya yang dibantu oleh awan. Ia senang, akhirnya bisa beristirahat setelah memberikan nutrisi pada kawanan ayam dan tanaman-tanaman nenekku.

Setelah teralihkan oleh senja, aku kembali berpaling ke tempat si tuan kucing duduk tadi. Ia tiba-tiba berada di sisi kiri pohon kelor tanpa sepengetahuanku.

“Berbiasalah nak, dunia tak selalu menawarkan jawaban iya padamu,” tutupnya

Kemudian si tuan kucing berjalan ke balik pohon kelor yang kokoh itu, dan menghilang seiring senja yang di telan pepohonan kelapa di ujung pematang sawah.

“Nak sudah maghrib,” teriak nenek menginginkan aku segera naik ke rumah.

Mengimani permintaan nenek, aku langsung menaiki tangga ke rumah menjumpai dapur nenek, ku ceritakan keanehan itu pada nenek, dan ia malah bilang aku gila dan malah tidak percaya. Ya memang akan sangat sulit untuk diterima nalar manusia, namun ini betul-betul terjadi nek!.

Aku masih tak percaya, terasa seperti mimpi keanehan yang terjadi tadi. Namun aku percaya tak ada yang kebetulan. Segalanya mungkin memiliki alasan, namun aku percaya semesta akan bahu-membahu memberikan jawaban yang aku butuhkan, bukan yang aku inginkan.

 

*Penulis Merupakan Mahasiswa Semester IV Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami