Pesan Via WhatsApp

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber: daily.oktagon.co.id

Oleh: Muhammad Junaedi

Sore sepi, hanya berteman dengan segelas teh hangat. Duduk di teras rumah, memainkan gawai. Tembok-tembok rumah memantulkan cahaya jingga, pertanda sore akan terganti oleh malam gelap.

Tiba-tiba pesan via WhatsApp masuk, saya buka pesan itu, ternyata dari teman. Berikut ini petikan pesannya.

“Bagaimana pandangan kamu, kebijakan kampus tentang pelarangan beraktivitas malam, bro?”

Saya balas pesannya dengan sederhana, sesederhana mungkin, supaya cepat kembali menikmati jingga-jingga di cakrawala yang akan hilang diganti dengan gelap.

“Yaaa, tidak setuju. Kalau kamu, bro?”

Pesan terkirim, dan terbaca. Dia mulai mengetik. Lama, dan lama mengetik, panjang gagasan yang mau dia sampaikan, sehingga lama mengetik. Saya kembali menikmati jingga-jingga di cakrawala, dan memutar lagu float “Tiap senja.”

Pesannya masuk.

“Saya sangat tidak setuju dengan kebijakan kampus bro. Karena menurut saya, kampus adalah tempat yang digunakan mahasiswa untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi. Kampus merupakan sebuah lembaga yang di dalamnya terdapat orang-orang yang memiliki pola pikir yang bermacam-macam, yang kemudian disatukan baik itu mahasiswa maupun juga dosen yang tujuannya adalah membentuk sebuah karakter seseorang dari tidak tahu menjadi tahu.”

“Dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Di sinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai individu untuk menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat. Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tersebut tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.”

Saya mulai serius, balas pesannya. Pesan yang saya kirim tidak sesederhana pesan pertama. Obrolan memang kadang serius, dan kadang harus bercanda dan romantis.

“Iyaaa, bro. Tapi, saya punya dugaan. Mungkin, pihak kampus mempermasalahkan adanya mahasiswa yang didapati meminum-minuman alkohol.”

Pesan saya terkirim, dan dibaca. Dia mulai mengetik, dan saya tunggu pesan balasannya, lama dan lama lagi mengetik. Pesannya pun masuk.

“Terjadinya gejolak atau permasalahan di dalam kampus seperti permasalahan adanya mahasiswa didapati minum minuman beralkohol, serta berjudi bahkan mengisap sabu-sabu. Inilah yang kemudian melandasi pihak perguruan tinggi bersikap keras mengeluarkan keputusannya untuk melarang mahasiswa melakukan aktivitas malam. Namun, keluarnya kebijakan dari pimpinan kampus ternyata ada yang gagal mereka pahami, karena sejatinya dalam mengambil landasan, mereka mengeneralkan data-data yang ada. Padahal ketika ditelisik lebih mendalam ternyata yang melakukan permasalahan pada aktivitas malam di kampus hanyalah kurang lebih 20℅.”

“Berkenaan dengan hal ini sangatlah keliru mengambil langkah kebijakan seperti ini, karena demikian sangat bertentangan dengan salah satu tujuan negara yang terdapat pada pembukaan UUD NRI 1945 pada alinie ke-4 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.”

“Bagaimana mungkin kemudian dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, ketika kebijakan tidak memihak kepada kepentingan mahasiswa untuk melakukan kreativitas.”

“Dan juga dijelaskan dalam UUD NRI 1945 pasal 28 bahwa; kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam undang-undang.”

“Inilah yang keliru dipahami oleh pimpinan kampus. Benar keadaannya bahwa betul dibuatkan undang-undang atau peraturan seperti yang dikeluarkan pimpinan kampus yaitu peraturan tentang kode etik mahasiswa. Namun ini hanya memenuhi sebagian saja dari pasal 28 UUD NRI 1945, padahal sepatutnya ketika ingin membaca undang-undang haruslah sistematis.”

“Ketika dipahami secara sistematis, maka dalam pembetukan undang-undang atau peraturan harus presentatif secara totalitas dari pasal 28 UUD NRI 1945. Inilah yang mengindikasikan bahwa peraturan harus berlaku secara hierarki, tidak boleh saling tumpan tindih.”

Lebih baik aku tidak meneruskan baca pesan ini karena selanjutnya ia bicara masalah hukum dan salah-salah bisa berbahaya, bukan? Tentu aku membacanya semua karena itu memang penting, tapi biarlah aku sendiri yang mengetahuinya. Tidak semua hal harus diketahui semua orang. Itulah salah satu kearifan yang ku dapat setelah bertahun-tahun jadi anggota Persma.

Kuteruskan saja dengan balas pesannya.

“Terus?”

Kali ini dia membahas tujuan hukum

“Berdasarkan teori azas tujuan hukum bahwa tujuan hukum ada tiga yaitu; kepastian, keadilan dan kemanfaatan.”

“Azas kemanfaatan sama sekali tidak terealisasikan dengan baik melihat keputusan rektor jauh dari kepentingan mahasiswa karena banyak berpihak kepada kepentingan pembuat kebijakan, maka dari itu azas kemanfaatan dari salah-satu tujuan hukum telah gugur.”

“Berdasarkan azas keadilan, keadilan menurut Ali bin Abi Thalib adalah memberikan sesuai dengan porsinya (proporsional), melihat keputusan rektor sama sekali tidak mewujudkan keadilan karena menghambat aktivitas mahasiswa dalam berkreasi yang sepantasnya mahasiswa dapatkan, maka dari itu azas keadilan disalah satu tujuan hukum telah gugur.”

“Azas kemanfaatan dan keadilan telah gugur, maka hal ini tidak dapat lagi dikatakan sebagai keputusan yang rasional.”

Aku menyeduh teh yang mulai dingin. Sudah bertahun-tahun aku ngobrol via WhatsApp dengan temanku ini, tapi baru kali ini aku merasa sangat terpengaruh. Memang banyak berita seru tentang kebijakan kampus tidak berpihak ke mahasiswa, tetapi membaca atau mendengar pesan yang sudah dikemas dengan api membara karena hak telah dirampas lebih seru.

Aku melanjutkan percakapan kami. Aku mulai tercerahkan. Aku mengirim pesan ke dia.

“Jadi, menurut kamu, keputusan yang diambil kampusbadalah keputusan tidak rasional?”

“Iya, tidak rasional, bro. Tidak ada alasan yang rasional melarang mahasiswa beraktivitas di malam hari.”

“Berbagai alasan yang muncul semuanya tidak memenuhi dewasa berpikir dari alasan-alasan yang ada. Ketika menganggap bahwa beraktivitas di siang hari sudah cukup, sama sekali tidak cukup karena tuntutan perkuliahan di siang hari sangatlah banyak dan cukup menyita waktu banyak.”

“Ketika beralasan bahwa aktivitas malam dapat menimbulkan tingkah laku yang buruk seperti main judi dan minum minuman alkohol. Ini sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang aktivitas malam bagi mahasiswa, karena hanya kurang lebih 20℅ mahasiswa yang melakukan demikian. Artinya ketika ini dijadikan alasan sama halnya mengeneralkan data-data yang speaifik, ketika mengeneralkan data-data yang spesifik maka sangatlah fatal karena mengopinikan realitas atau fakta-fakta yang terjadi.”

“Ketika jam malam tidak dibatasi dan yang kemudian akan menjadi keraguan pimpinan universitas adalah perbuatan buruk mahasiswa, maka tidak relevan kebijakan yang dikeluarkannya adalah kebijakan larangan aktivitas malam. Melihat hanya ada sekitar 20℅ yang berbuat onar maka kebijakan yang sepatutnya pimpinan universitas adalah kebijakan meningkatkan keamanan dan Komdis (Komisi Disiplin) untuk memproses lebih lanjut mahasiswa yang melanggar atau berbuat onar dalam kampus, hal ini akan dijelaskan secara intens dibagian solusi.”

“Larangan aktivitas malam memicu mahasiswa untuk apatis. Dengan adanya larangan aktivitas malam berakibat pada sulitnya mahasiswa menemukan ruang untuk beraktivitas. Sehingga dengan keadaan seperti ini menyebabkan mahasiswa sulit untuk menyalurkan aktivitasnya.”

“Kampus yang dianggap sebagai  tempat berkumpulnya orang-orang yang mempunyai pola pemikiran yang kritis serta kaum intelektual tidak dapat lagi terealisasikan dengan baik karena adanya benteng dari kebijakan pimpinan.”

“Sehingga sebagian mahasiswa yang notabenenya dipengaruhi oleh lingkungan intelektual tidak lagi terealisasi, karena lingkungan dibatasi oleh kebijakan rektor. Kapabilitas mahasiswa menjadi menurun karena tempat untuk berkreasi dipersempit sehingga hal ini sangat berpotensi membuat mahasiswa untuk apatis.”

Sampai di sini obrolan berhenti. Telepon berdering.

“sayang…, kamu pasti lupa kalau malam ini kamu janji temani aku nonton?”

Nonton?Aku tersentak, seperti terlempar ke sebuah dunia lain. Tentu saja jadi. Kenapa tidak? Tapi, sempat ku lirik sekilas sambungan pesan dari dia itu.

“Larangan aktivitas malam di kampus sangat menciderai ruang gerak dan kreativitas mahasiswa. Tidak sepantasnya pimpinan universitas mengeluarkan kebijakan yang notabenenya mempersempit ruang gerak dan memperlamban kreativitas mahasiswa.”

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP).

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami