Cerpen “Jalan Baper” Oleh Eka Reski Rahmiati

Facebook
Twitter
WhatsApp
crayzeebaybiey.blogspot.com

Namaku Kayla, bulan depan usiaku genap 19 tahun. Saat ini aku sedang fokus menyelesaikan studi di bidang kesehatan salah satu universitas jebolan ibu kota. Meski kuliah di jurusan kesehatan, tapi rupanya minat dan bakatku ada pada dunia jurnalistik. Tidak sedikit orang-orang yang menanyakan tentang itu saat melihat namaku terpampang disebuah media pers mahasiswa karena telah berhasil membuat sebuah berita ataupun karya sastra lainnya.
Hari ini adalah kuliah perdana di semester 4. Seperti kuliahku pada semester-semester lalu, aku tak pernah pusing mempersiapkan apapun sebelum ke kampus. Aku memang terkenal sebagai orang yang sedikit cuek terhadap penampilan dan tak punya sahabat ataupun teman akrab dikampus. Bukan karena aku orangnya susah bersahabat dengan orang lain, hanya saja aku memang sulit mempercayai seseorang untuk terus berbagi cerita denganku. Bagiku sahabat itu adalah hal yang mustahil ada, tak semua orang akan benar-benar ada saat kau butuh dan tak semua orang akan siap menjadi pendengarmu saat kau memang butuh tempat untuk bercerita. Begitupun dengan cinta, bagiku cinta itu hanyalah omong kosong yang hanya membuang waktumu dan mengekangmu dari kata kebebasan.


Seperti mahasiswa lain, aku terkadang bosan dengan dunia kampus. Jika hal ini terjadi, urusan absen di kelas akan kuserahkan sepenuhnya kepada takdir. Jika pada saat itu aku beruntung, maka seorang teman akan membantu mengisi absenku tanpa ketahuan oleh dosen. Begitupun sebaliknya, jika hari itu aku kurang beruntung maka aku akan memohon kepada Tuhan agar saat pemberian nilai oleh dosen nanti aku bisa beruntung.


Aku berhasil menyelesaikan materi perkuliahan hari ini tanpa ada bolos satupun. Sepulang dari kelas aku bergegas menuju redaksi. Sebuah tempat yang memberiku ruang untuk berproses. Tempat yang memberiku ilmu tentang dunia kejurnalistikan yang tak akan pernah ku dapatkan di ruang kelasku yang merupakan jurusan kesehatan. Kebetulan sedang ada rapat untuk persiapan kegiatan rutin agenda organisasi pers mahasiswa.

“Untuk membantu panitia mencukupkan kekurangan dana pada kegiatan ini, mungkin ada baiknya kita akan mengadakan kegiatan penggalangan dana,” ujar ketua panitia.

Dan seluruh peserta rapat yang hadir mengiyakan kata-kata ketua tadi. Malam itu, kami segera menuju ke lokasi penggalangan dana sesuai dengan kesepakatan rapat tadi sore, dan tempat itu adalah lampu merah perbatasan kota yang memang terkenal cukup ramai.


Kami menjajakan minuman kepada seluruh pengendara yang melintas di jalan. Setelah 2 jam dijalan aku mulai merasa lelah dan memilih untuk beristirahat sebentar.


“Kamu capek yah? Minum dulu deh, mungkin dengan tambahan cairan sedikit capeknya bisa hilang,” seseorang menawarkan minuman kepadaku. Tapi entah siapa orang ini. Apakah dia juga anggota pers mahasiswa? Atau hanya pengguna jalan yang baik hati menawarkan minuman karena melihat tampangku yang kecapean. Entahlah, karena aku haus ku terima saja tawarannya dan mulai meneguk minumannya hingga habis.


“Makasih,“ ujarku sambil berdiri dan membuang sampah bekas minuman tadi.


Saat aku berbalik untuk kembali mengambil minuman yang akan ku jajakan kepada pengguna jalan, rupanya semua barangku sudah aman dalam jinjingan pria tadi.

“Aku bantu yah, kamu gak keberatan kan?“

Oh my God, siapa orang ini? Mungkin dia adalah malaikat yang dititipkan Tuhan malam ini. Aku hanya mengangguk pertanda setuju dan menerima bantuan pria tadi.

“Aku lihat daritadi kamu sendirian terus menjajakan minuman ini. Apa gak kesepian tuh? Haha,“ pria tadi membuka pembicaraan sambil menunggu pergantian warna pada traffic light tempat kami berdiri.

“Jadi daritadi kamu memperhatikan aku?,“ aku mulai penasaran dengan pria ini, dan iya hanya mengangguk tanda telah menjawab pertanyaanku. Aku sedikit risih dengan pria ini, tapi karena memang tak punya pilihan akhirnya aku mau saja dibantunya. Daripada aku capek kan? Lumayanlah ada yang mau berbagi denganku.


Tak butuh waktu lama bagi kami untuk menjual minuman ini sampai habis dan ku akui ini adalah hasil usaha dari pria tadi karena aku hanya berdiri dan menerima uangnya, sementara dia sibuk berkeliling menjajakan minuman.
“Kamu sebernarnya siapa sih?“ rasanya ingin sekali menanyakan ini, tapi mulutku seakan terkunci dan tak bisa mengutarakannya. Akhirnya ku urungkan niatku. Ku lihat ia menyeberangi jalan dan bergabung dengan teman-teman anggota persma. Saat itu aku benar-benar yakin dia juga merupakan anggota persma, sama seperti aku dan yang lainnya. Tapi kenapa aku baru melihatnya? Ah, entahlah aku tak mau pusing bertanya pada diriku sendiri dan memilih untuk bertanya pada salah seorang teman. Akhirnya aku tahu kalau pria tadi bernama Kaafa.


Setelah kegiatan malam itu selesai, seluruh anggota persma bergegas untuk pulang dan beristirahat. Namun aku bingung, teman yang tadi bersamaku datang ke tempat ini telah pulang lebih dulu. Lalu aku pulang sama siapa?

“Pulangnya sama aku saja,“ tiba-tiba Kaafa datang dan menarikku menuju motornya. Aku masih diam seribu bahasa, aku yakin siapapun yang melihatku ditarik oleh kaafa pasti mengatakan bahwa Kaafa sedang menarik patung.

“Ayo naik, nanti keburu hujan,“ Kaafa mengingatkanku kalau sebentar lagi akan turun hujan

“Tapi,“ aku mulai berusaha menyadarkan diriku sepenuhnya

“Tapi apa??“


“Tapi kamu sebenarnya siapa sih? “ akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutku. Meskipun sudah tahu, tapi aku tetap butuh penjelasan dari Kaafa.


“ Aku Kaafa dan kamu pasti Kayla. Aku sudah lama memperhatikan kamu, tapi kamu terlalu cuek untuk melihat disekitar kamu kalau ada aku yang selalu mau peduli sama kamu. Kamu terlalu sibuk dengan duniamu seolah-olah kamu tidak butuh seorang pun untuk menjadi temanmu. Aku belajar untuk kenal kamu dengan caraku sendiri. Aku suka sama kamu dan aku sedang berusaha meyakinkan kamu kalau dalam hidup ini, akan ada satu orang yang akan selalu membuat kamu tersenyum, akan ada satu orang yang menjadi alasan kamu untuk selalu bahagia. Juga akan ada satu orang yang akan selalu ada saat kamu butuh dan siap mendengarkan apapun cerita tentang hidup kamu, dan orang itu adalah aku. “


Tak terasa air mataku menetes mendengar ucapan Kaafa. Ia mengucapkannya dengan tegas dan membuat aku sadar bahwa selama ini aku memang terlalu egois dengan kehidupanku. Aku menutup diri seolah-olah tak ada lagi tempat untuk berbagi cerita.


“ Maaf aku terlalu sempit dalam memandangi hidup, aku gak tahu kalau di dunia ini ada kamu yang begitu peduli dengan hidup aku.”


“ Aku cuma mau jadi alasan kamu selalu bahagia. “ Kaafa begitu tulus dalam mengungkapkan setiap kalimatnya.


Mulai saat ini, aku akan berjanji untuk merubah paradigma hidupku. Aku percaya bahwa kebahagiaan itu ada ketika kita telah menemukan alasan untuk itu. Semua dimulai dari ketulusan kita saat memberi dan tak berharap lebih. Kaafa telah membuat aku berani membuka hati. Membuatku sadar bahwa disekitar kita ada orang yang terus berdoa dan mengusahakan kebahagiaan untuk kita.

“ Ya udah, pulang yuk!! Jangan kelamaan baper di jalanan.”


“ Kenapa?”


“ Karena kita masih punya banyak kebahagiaan yang belum kita jemput.”


“ Tapi tunggu dulu “


“ Tunggu apa lagi? “


“ Kita beri dulu jalan ini nama”


“ Apa? “

“ Jalan baper “

“ Kenapa harus jalan baper? “

“ Supaya kalau aku lewat disini lagi aku jadi ingat kamu “

“ Terserah kamu saja deh. Yang penting kamu senang La, aku juga ikut senang. “

Kaafa kemudian melajukan motornya meninggalkan jalan baper yang mulai diguyur hujan malam itu.


*Penulis adalah salah satu mahasiswa semester tiga jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami