Senyum Mayang

Facebook
Twitter
WhatsApp

   Oleh: Warich Ajja 

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya aku sedikit tergesa. Dengan langkah lebar-lebar dan sedikit berlari aku menyusuri tempat kerjaku yang baru.   Memang tak jauh berbeda. Hanya saja ini dua kali lebih besar dari tempat kerjaku yang lama.Aku pun harus menyusuri koridor-koridor panjang di sini. Melongok pada ruangan-ruangan yang berjajar-jajar rapi. Mencium aroma khas yang sebenarnya aku muak.Memakai seragam yang warnanya membuat aku sedikit jengah,membuat aku selalu memakai dan menanggalkannya di ruang kerjaku, dan tak pernah membawanya pulang.  

Puluhan koridor dengan panjang yang sama, ratusan ruangan dengan luas dan warna dinding yang juga sama, dan aku baru kemarin di sini. Itu membuat aku harus menghabiskan beberapa menit lagi untuk sampai pada ruang kerjaku karena aku harus menghafal sekian banyak tikungan. Dari tempat parkir mobil, satu belokan kanan, dua tikungan kiri,dan dua lagi ke kanan.Aku tergelak.. *** 

Gadis itu lagi.Sejak aku tiba di sini, dia sudah menempati ruangan itu. Dia sendirian, masih seperti beberapa hari yang lalu.Aku mengetuk pintu, masuk dan memeriksa beberapa hal di ruangannya. Diamdiam aku mengamatinya. Dia tidak terlalu tinggi, dan cenderung kurus. Rambutnya yang lurus sebahu lebih sering terikat ke belakang. Usianya sekitar delapan belasan. Kilatan matanya tak menunjukkan semangat, juga tak ada banyak harapan tergambar dari tatapannya.  Wajahnya sedikit pasi, dan tubuhnya kering.Keletihan, perasaan jenuh,dan mungkin sedikit rasa muak tergambar di wajahnya.Namun,semua itu tertutup oleh senyumnya. “Selamat pagi..,”sapaku. “Selamat pagi, Dok!” dia menjawab, dan menghadiahkan sebaris senyum untuk aku, manis. *** 

Baru lima hari ini aku bertemu dengannya,dan selanjutnya mungkin aku akan banyak berinteraksi dengan dia. Kulihat banyak yang mengenalnya di sini.Hampir semua yang bertemu dia,menyapanya,menanyakan keadaannya hari itu. Akhirnya dari mereka kutahu, gadis itu bernama Mayang. Gadis ini ramah.Senyum manisnya selalu menghiasi wajahnya yang sedikit tirus.  Dia akrab dengan semua orang di tempat ini, dia akrab dengan sebagian suster, dia akrab dengan sejumlah dokter, dia akrab dengan seluruh ruangan di rumah sakit ini,tak terkecuali.Sedikit canda terkadang mencuat dari bibirnya, dan kami tertawa menyambut gurauannya. 

Sebuah keakraban yang jarang kutemui di rumah sakit mana pun. Kuamati hampir semua kegiatannya.  Bukan karena iseng, atau karena gadis itu cantik. Bukan karena aku laki-laki dan dia perempuan,tapiitulahtugasku. Dan tak dapat kupungkiri bahwa Mayang memang gadis yang cukup menarik. Pagi hari dia selalu terlihat segar setelah mandi.Pucat yang biasanya menghiasi wajahnya sedikit bias seusai dia mandi.  Sapuan bedak menyamarkan pasi wajahnya. Seorang suster membantunya menyisir pelanpelan rambut lurusnya, dan mengikatnya sehingga leher jenjang itu terlihat,indah.

Setiap pagi juga,sekuntum mawar putih datang padanya. Seseorang dari sebuah florist mengantarkan bunga itu tiap pagi.Dan Mayang menyambutnya dengan senyum paling indah. Meletakkan mawar segar itu dalam vas bunga di meja kamarnya.  Membuang satu atau dua bunga yang tampak kering. Sesekali juga dia mengganti air dalam vas bunganya.Dan ini dia lakukan sendiri setiap pagi, tanpa bantuan suster jaga. Senandung lagu-lagu lirih berdesis dari bibirnya yang tipis saat dia melakukan itu semua. Hmm, Mayang masih bisa bernyanyi kecil di tengah deritanya. ***  

Aku meraih jas putih yang kusandarkan di kursi dan mengenakannya. Tanganku menyambar stetoskop di meja. Aku memang sedikit terlambat pagi ini. Sedangkan Rina, asistenku, sudah siap dari entah jam berapa.Aku bergegas menyusuri koridor rumah sakit. Mayang pasien pertamaku hari ini. Beberapa hal yang perlu kusiapkan sebelum proses pencucian darahnya. “Pagi, May… cerah sekali hari ini,” sapa Rina yang dengan cekatan merapikan tempat tidur Mayang. Merapikan seprei dan bantalnya.  Memungut buku-buku di sofa dan menyusunnya dalam sebuah tumpukan kecil.Buku-buku itu yang rupanya membantu Mayang membunuh waktunya. “Pagi Suster.Mayang boleh keluar jalan-jalan ga pagi ini. Sepertinya cerah di luar?”ujar Mayang memelas. Suaranya merdu,tapi sedikit gemetar. ”Lagi bosan dikamar ya May… Nanti sore aja jalan-jalannya.” “Iya. Lihat ini, kakinya sudah bengkak lagi. Hari ini jadwal rutin kamu kan?” sergah Rina.  Kuperhatikan kedua kaki Mayang memang sedikit bengkak. Dan itu disebabkan cairan yang membanjiri aliran darahnya dan membuat dia kesulitan bernafas. “Ugh!”Mayang mendengus, kesal. Dihempaskan tubuhnya di sofa, dan tangannya meraih sebuah buku, membolak-balik sebentar kemudian melemparkannya di ujung meja. 

     Nafasnya terlihat berat. Selama satu minggu secara intens mengamatinya, baru sekali ini kudengar dia mengeluh.  Wajahnya tiba-tiba berubah keruh dan masam.Hmm, seperti seorang anak kecil yang pulang dari bermain dan kesal karena baju bonekanya robek oleh teman. “Besok May.. janji deh!” kata Rina menghibur sembari menyodorkan kursi roda pada Mayang, dan gadis cantik itu tersenyum lega.Wajah masam itu seakan diterpa angin musim semi.Cerah.Cantik. *** 

   Itu Mayang. Melambaikan tangannya pada seorang perawat. Sudah jam sembilan pagi, dan bunga mawarnya belum datang.Pagi-pagi sebelumnya, buket bunga mawar putih itu diantar florist sekitar pukul delapan. Dan sudah satu jam Mayangmenunggu,ternyatatak satu pun pengantar bunga yang datang.  Mayang pasti bertanyatanya, demikian juga aku. Jika mawar putih itu tak datang sampaisiangini,kupastikanaku tak bisa menikmati senyum paling manisnya hari ini. “Suster, tak ada mawar untuk Mayang,hari ini?”tanyaku pada Anisa,suster yang hari ini menggantikan Rina merawat Mayang. “Entah Dok,sudah dua hari ini.” Hmm… kasihan Mayang. Buket bunga mawar itu yang memberinya semangat tiap hari. Sumber energinya untuk bisa tersenyum dan ceria, meski kadang kulihat senyumnya sedikit dipaksakan. ***  

Pengantar bunga datang pagi ini.Bunga yang sama,jumlah yang sama juga, sekuntum mawar putih.Hanya pengirimnya yang berbeda,dan Mayang tak tahu itu.Tak apa.Aku tak peduli dengan apa yang kulakukan. Aku hanya tak ingin melihatnya muram. Karena aku hanya ingin mengembalikan segaris tarikan bibirnya.Karena aku ingin melihat lecutan energi yang tersirat dari kilatan matanya.  Dan akhirnya senyum terindah Mayang dapat kunikmati lagi pagi ini, setelah satu minggu tak kulihat. Semangatnya, senyumnya, cerianya, itulah yang sedikit membuatnya lebih bertahan. Meskipun tanpa dukungan dari keluarganya, Mayang mampu menghadapi penyakit yang menurutku tak semua orang bisa melakukan seperti halnya gadis ini.Padahal menurut diagnosa, Mayang tak mungkin bisa bertahan lebih lama. ***  

“Mayang seneng Dok, hari ini mawar putihnya datang lagi. Seminggu kemarin…” Yah, seminggu kemarin mawar itu tak kunjung datang, dan seminggu itu juga Mayang jadi sangat pendiam,tak seperti biasa. Dan sekarang ini kulihat lagi… binar dan kilauan cahaya di matanya. “Siapa yang mengirim, May? Pacar ya…” Aku bertanya menyelidik.Tak bisa kupungkiri, aku berharap Mayang tak mengiyakan pertanyaanku kali ini.  Entah, aku tak ingin Mayang menjawab, kalau bunga itu dikirim pacarnya. Ah! Konyol! Tapi saat ini aku mungkin telah jatuh cinta pada seorang gadis penderita gagal ginjal stadium tiga ini. Dia tersenyum.Ah,senyum itu! “Dari saudara kembar Mayang, Dok.Namanya Radit. Dia kakak saya.” Hah! Leganya… Aku seperti baru saja meneguk segelas air es. “Aku tak pernah melihat dia,May?” Rasa ingin tahu memenuhi ruang pikirku.Aku memang baru dua bulan ditempatkan di rumah sakit ini.

  Dan selama itu juga tak sekalipun aku bertemu Radit, pengirim mawar putih itu.Yang kulihat, hanya sesekali seorang ibu cantik mengunjunginya. Bukan tidak mungkin juga Mayang berbohong mengenai keberadaan kakak kembarnya itu. Bukan tidak mungkin Mayang menyembunyikan sesuatu tentang pengirim mawar putih itu.  “Dia jarang ke sini,Dok.Dia sibuk.” Gamang.Darinadasuaranya kutahu Mayang sedang galau, dan itu pasti karena kakak kembarnya yang absen mengirimnya mawar putih seminggu kemarin.Hanya aku yang tahu bahwa memang Radit sudah tidak mengirim bunga lagi. “Ga apalah. Yang penting dia tetap memperhatikan kamu kan May. Buktinya mawar putih itu datang lagi pagi ini.” Mayang tersenyum.Getir. *** 

Setelah prosesi memisahkan cairan dari darah Mayang pagi ini,aku membawa dia berkeliling halaman belakang rumah sakit.Kondisi Mayang tak memungkinkan dia berjalan kaki.Aku membawakan kursi roda untuknya.Aku berharap udara segar dan sinar matahari bisa sedikit membuatnya senang. Sinar matahari menerpa wajahnya,membuat matanya mengerjap. Kuantar Mayang kembali ke kamarnya.  Dan kutinggalkan pulpen dan notes kosong di pangkuannya. “Saat kamu ingin menangis, kamu harus menangis May.Air mata tak harus selalu disembunyikan. Kalau kamu tak bisa membaginya dengan orang lain, mungkin kertas ini bisa menjadi teman kamu.” *** 

Hampir tengah malam aku baru bisa menghempaskan tubuh. Cukup penat dan melelahkan. Tapi ketika teringat sebuah kotak mungil yang diberikan Mayang tadi pagi, seakan letihku lenyap dan keinginanku membuka dan membongkar isi kotak itu.Beberapa lembar kertas telah berisi tulisan tangan Mayang.  Kunikmati lembar demi lembar,menjelajahi kata demi kata, dan aku tak ingin berhenti. Kisah kehidupan Mayang yang tumpah ruah di tiap lembarnya membuat aku ingin melalap habis semua. Hatiku bergidik.Jantungku berdegup kencang membaca huruf per huruf yang berbaris rapi memenuhi tiap-tiap lembarnya.  Kutelanjangi tiap kisahnya,tentang dirinya yang harus bersabar menghadapi rasa sesak yang rutin menghampiri dadanya, tentang rasa sakit yang merampok keceriaannya, tentang kakak kembar laki-lakinya yang dengan setia mengirim buket mawar putih untuknya tiap pagi meskipun Radit sendiri juga harus berjuang melawan rasa sakit yang tak kalah hebatnya dengan penderitaan Mayang, juga cerita tentang orang tuanya… dan untuk yang terakhir ini Mayang sepertinya sangat enggan bercerita.  

Ya Tuhan… tak ada satu pun senyum Mayang tergambar di sini. Dia menulis dengan air mata. Benar-benar menangis. Aku tak memahami mengapa dia enggan bercerita tentang kehidupannya. Apakah menurut Mayang, hidupnya tak cukup pantas untuk diceritakan. Dia menutupi semua penderitaannya dengan senyum, meski sebenar- benarnya Mayang sangat sulit untuk tersenyum.  Lembar Pertama Namaku Mayang. Dan aku penderita gagal ginjal stadium akhir. Kedua ginjalku sama sekali sudah tak berfungsi. Kugantungkan hidupku pada obat dan mesin pencuci darah. Entah sampai berapa lama aku mampu bertahan seperti ini. Bergumul dengan sesak, kencan dengan mesin, bercinta dengan obat, bermesraan dengan jarum dan pipa-pipa kecil. Dan aku seperti kehilangan energi tanpa mereka.

  Hidupku tak ayalnya seperti robot. Robot bisa berjalan, menggerakkan bagian-bagian tubuhnya karena baterai yang terpasang di punggungnya.Tanpa itu, robot hanyalah sekumpulan logam yang entah apa ada manfaatnya. Seperti itu juga aku.Tanpa obat dan mesin cuci darah, aku hanyalah seonggok daging yang ditopang tulang.Hh!  Lembar Kedua Demi apa pun di dunia ini,tak seorang pun yang ingin menjalani kehidupan seperti yang aku hadapi. Berbulan tinggal di gedung yang dipenuhi warna putih.Cat dindingnya,penghuninya. Sesungguhnya muak aku dengan butir-butir obat yang harus kutelan tiap hari.Sebenarbenarnya aku tak sanggup menahan sakit tiap kali melihat darahku keluar masuk sebuah mesin. Aku sudah lelah dengan jarum-jarum yang menembus kulitku.

Sejujurnya aku ngeri melihat berliter cairan yang harus dikeluarkan dari tubuhku. Siapa bilang Tuhan adil?  Keadilan yang seperti apa yang sedang kudapatkan? Aku tak pernah meminta jalan hidup yang seperti ini. Andaikan ini pilihan hidup dan aku diberi kesempatan untuk memilih,aku tak ragu untuk menolak jalan hidup seperti ini. Aku masih ingin berlari kencang, aku masih ingin tertawa lebar. 

Aku menguap. Kantuk menyerangku, tapi aku masih belum ingin berhenti.Tulisan Mayang menyeretku ke dapur untuk menuang secangkir kopi lagi,dan ini sudah cangkir yang kedua.  Lembar Ketiga Aku ingin lari, aku ingin pulang.Tapi ke mana? Apakah bangunan berpagar tinggi yang hanya berisi seorang Bi Atih dan seorang Pak Danang itu layak kusebut rumah? Kepada siapa aku harus pulang. Aku tak sanggup menatap keletihan batin ibu, derita ibu melihat aku dan Radit terkapar tak berdaya seperti ini.Aku tahu senyum ibu itu kebohongan. Aku tahu ketika dia mengatakan semua baik-baik saja, dan itu sama sekali tidak baik.Aku tahu seluruh darahnya adalah air mata.   

Aku tahu beratnya menanggung beban ini tanpa ayah. Ayah yang sama sekali tak kusesali kepergiannya, dan bahkan mungkin aku harus mensyukuri kehidupanku tanpa dia. Seseorang yang mencampakkan seorang istri dan kedua anaknya. Ini lembar terakhir. Lembar keempat Mawar Radit tidak datang, dan aku tahu itu artinya apa.  Aku tahu dia tidak sedang lupa untuk mengirimnya. Memang ada mawar lain yang datang tiap pagi. Tapi itu bukan dari dia. Karena Radit sudah pergi. Aku dan dia tahu bahwa ujung dari perjuangan kami adalah kematian. Aku dan Radit sama-sama sulit. Sama-sama menderita, sama-sama tercampakkan. ***  

Akhirnya, aku benar-benar kehilangan Mayang,kehilangan senyum Mayang. Karena mesin itu sudah tak mampu lagi menolongnya. Dokter juga bukan tukang sulap yang mampu membuatnya berlarilari dalam sehari setelah dua tahun bagai lumpuh. Suster hanya bisa terisak kecil menangisi sirnanya sedikit keakraban dan keceriaan yang menghiasi rumah sakit ini. Mawar putih yang kukirimkan tiap pagi juga tak berarti banyak, tak mampu mengembalikan senyum Mayang padaku.  Perjuangannya melawan rasa sesak karena cairan yang membanjiri pembuluh darahnya atau rutinitasnya setiap tiga hari sekali menikmati pemandangan berliter darahnya mengalir keluar masuk mesin pencuci darah berakhir pada air mata seisi rumah sakit.Mayang akhirnya pergi menyusul kakak kembarnya yang menderita leukemia akut. Mesin, selang, dan jarum itu tersudut di sana, tempat Mayang biasa menekuni rutinitasnya. 

Selamat jalan,May.Semua orang pasti punya akhir yang sama dengan kamu, hanya jalannya yang berbeda. Dan kamu lulus dengan sempurna melalui jalan yang dihadapkan padamu,meskipun itu teramat terjal, mendaki dan melelahkan buat kamu. ●  

(Sesungguhnya,cerita ini kupersembahkan untuk satu-satunya kakak laki-lakiku,mantan penderita gagal ginjal.Semoga ketabahannya mendapat hadiah surga dari Tuhan)  Biodata : WARICH AJJA, tulisannya dimuat di berbagai media massa.
 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/439965/

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami