Pola Kehidupan Agraris Masyarakat Bugis

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi kondisi agraris l Foto: Pinterest-Oud Indie New.

Oleh: Muh Zulkifly

Keperluan pokok manusia yakni, sandang, pangan dan papan merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi, dan supaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dapat tercapai maka manusia mengupayakan untuk mendapatkan hal tersebut untuk bertahan hidup, seperti melakukan aktivitas pertanian.

Bertani merupakan aktivitas yang telah lama dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Bertani awalnya hanya untuk dikonsumsi sendiri oleh petani dan keluarganya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya dilakukan kegiatan barter, seperti menukar beras atau padi dengan ikan ataupun daging. Setelah manusia menciptakan uang yang dijadikan alat tukar yang sah, maka beras memiliki harga berdasarkan mata uang yang berlaku, sehingga aktivitas pertanian menjadi salah satu mata pencaharian bagi manusia.

Manusia Bugis dalam bertani memiliki panduan yang termaktub dalam lontara pallaongnruma atau allaongnrumangeng yang merupakan khazanah pengetahuan dari nenek moyang, dan yang paling vital dalam bertani ialah menentukan hari dalam memulai aktivitas pertanian. Hal ini muncul dikarenakan manusia Bugis memandang padi itu bukan hanya sekedar tanaman belaka, tetapi juga memiliki jiwa, padi bagi masyarakat Bugis merupakan perwujudan dari Sangiang Serri (Dewi Padi) yang merupakan salah satu anak dari Batara Guru dari Epik Mitologis (Epos) La Galigo, yang perlu perhatian khusus dalam menanamnya. Seperti yang tertulis dalam lontara :

Rékko maéloko maéga asému karawa asemu pappadai anaq loloé. Taranakengna wisésaé pada téa risalai.

terjemahan :

Apabila engkau ingin banyak (hasil) padi mu, sentuh padi mu seperti (menyentuh) bayi. Pengasuhan tanaman bagaikan (anak) yang tidak ingin ditinggalkan.

Setelah melihat hari baik (mita esso) dalam memulai pertanian, diadakan lah ritual khusus, baik perorangan ataupun kelompok yang dipimpin oleh matoa paggalung (pemimpin komunitas pertanian). Setelah rampung ritual tersebut dimulailah memperbaiki pematang sawah dan menutup pintu air untuk menjamin ketersediaan air ketika membajak sawah. Setelah sawah terasa cukup jumlah airnya, pembajakan pun dimulai dengan menggunakan kerbau ataupun sapi, tetapi pada dewasa ini diganti oleh traktor mesin.

Setelah sawah siap untuk ditanami (riamporeng), maka dimulailah perendaman bibit padi, pada proses ini terdapat ritual maddoja bine (bergadang untuk menjaga bibit), dengan membaca naskah meong palo karellaé yang merupakan salah satu episode dari epos La Galigo, tradisi ini masih hidup di beberapa daerah seperti di Kabupaten Barru.

Setelah merendam bibit padi tadi, maka padi akan ditanam di sawah. Proses penanam padi telah selesai biasanya akan ada ritual massalama paggalung (keselamatan petani) sebagai bentuk rasa syukur, karena petani tersebut berhasil dengan selamat tanpa terkena musibah dalam proses penanaman padinya.

Setelah itu, padi akan dirawat hingga tiba masa panennya. Kemudian tibalah masa panen, yang dimulai dengan ritual panen pertama (mappamula). Setelah itu panen pun dilakukan. Biasanya padi yang selesai dipanen dibawa ke rumah untuk dikeringkan dan dijadikan cadangan makanan. Jika jumlah penen padi lebih, biasanya padi akan dijual.

Setelah panen rampung, diadakan pesta panen yang disebut mappadendang. Dalam upacara adat ini, kesyukuran atas apa yang telah dicapai dan harapan pada masa depan, kadang juga dirangkaikan dengan ritual tolak bala atau mappasili.

Jika kondisi ekonomi tidak stabil, biasanya individu Bugis akan merantau (sompé) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan biasanya akan menetap di wilayah rantauannya.

Suku Bugis dikenal juga sebagai suku pengembara laut melalui aktivitas merantau yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, walaupun motif dari perantauannya berbeda-beda tiap individu atau masyarakat. Kegiatan merantau pada umumnya dilakukan ketika musim kemarau atau setelah panen padi telah selesai, agar persediaan dalam mengarungi samudera yang luas terpenuhi.

*Penulis merupakan Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar Semester VI

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami