Tana Luwu dan Harapan

Facebook
Twitter
WhatsApp

“Hati-hati di kampung orang, jaga sikap, jangan lupa makan,” kata Ibu saya dalam sebuah percakapan singkat melalui telepon seluler sore itu. Dengan katup mata yang masih menghitam, sebab jam tidur yang berantakan, saya pun bergegas melakukan persiapan menuju perjalanan 364 Kilometer ke Kota Palopo yang terletak di bagian utara Sulawesi Selatan.

Sekitar pukul 19.04 pada 13 Februari 2022, Sebelum Keberangkatan, salah satu kawan pers saya, Selvy mempertanyakan keberadaan saya melalui pesan WhatsApp dengan bahasa jokes yang sering kami lakukan. “Lo dimana lo? Udah di Kampus? Maumi berangkat?” Tulisnya.

“Udah,” balasku singkat kala itu.

Selang beberapa menit kemudian, selvy datang beserta rombongannya. Salah satu kawan kami, Tio sapaan akrabnya memanggilku dengan sumringah, “Tiaaaaa,” teriaknya di tengah perkumpulan. Jawabku dengan kegirangan melambaikan tangan tak beraturan. Yah, sebuah upaya merawat kultur di Washilah. Layaknya sebuah keluarga kami saling merangkul dan memberi kehangatan.

Obrolan santai nan singkat yang kami lakukan pun terpotong , dipicu panitia yang mengarahkan saya untuk segera menaiki bus keberangkatan. Sedih dan senang sulit saya bedakan, sedih karena tak dapat membantu kepadatan agenda di Washilah, senang sebab rasa penasaran terhadap Kota Palopo yang menghantui pikiran akan tuntas terbayarkan.

Bus yang saya naiki itu penuh dengan kawan seangkatan. Hanya beberapa orang yang saya kenali. Tak ingin duduk sendirian, saya pun menyapa seorang kawan yang sedang duduk diam pada kursi kanan urutan keenam bus itu, kuajak dia duduk bersama sembari berkeluh kesah tentang ngaretnya jam keberangkatan. “Ira,” katanya saat memperkenalkan diri.

Tepat pukul 21.24 malam, setel nyanyian lagu “Dulu” oleh Danar Widianto menjadi penanda keberangkatan, meninggalkan sejenak hiruk pikuk kebisingan Metropolitan Samata dan segala polemiknya.

Asing

“Kita adalah teman, kita semua Saudara,” ucap Pak Febri, Dosen Pembimbing Kuliah Kerja Lapangan (KKL) setelah pembacaan Doa bersama sebelum keberangkan. Enam Kata tersebut nyatanya masih asing bagiku, bagaimana tidak, enam bulan dua Minggu tak cukup bagi kami untuk mengilhami kata Saudara Sebagai julukan ternyaman, Kami diperintah oleh keadaan untuk tetap diam di satu sisi. Covid 19 menjadi penghalang bagi kami untuk saling berbagi emosi, tawa dan duka atau bahkan hal kecil lainnya seperti mempertanyakan bagaimana bentuk jilbab seusai kuliah di lantai empat Kampus peradaban itu.

Pada 7 Februari Silam, saat pembekalan KKL di Leacture Theater Fakultas, Salah satu dosen pembimbing kami, Ibu Eky mengatakan KKL ini merupakan pertemuan angkatan terakhir sebelum kelulusan, dan kami diarahkan untuk memanfaatkan momen sebaik-baiknya.

Sepakat dengan pernyataan tersebut, ini memang sebuah pertemuan terakhir. Namun bagiku tidak berkesan untuk kami yang selayaknya saudara, kami sering berkumpul, hanya dalam perkumpulan kelas, untuk berswafoto, makan bersama, bercanda bersama, dan seketika lupa bahwa kita adalah satu, Imperium. Tanpa disadari pun untuk mengusulkan foto bersama angkatan tak terlintas di benak. Sekte-sekte antar golongan pun terlihat jelas dan tak bisa dihindari. Bukan terlambat tapi kita belum mencoba untuk hal baru yang sangat ragu.

Sepercik Harapan dan Manusia Aneh

Seperti deretan Rumah adat Luwu, Sesuatu bisa berdiri karena mereka saling menopang satu sama lain. Kita saling berjajar untuk kesatuan yang sama, saling bahu membahu dan memberikan pemanis untuk sebuah tempat yang pantas disebut rumah dan keluarga. Untuk segala polemik yang kerap terjadi, biarlah lepas bersama angin yang terhempas bersama bus kala itu. Masih ada harapan kata Irham, kawan seperjuangan.

Pada sudut bus itu, saya melihat manusia aneh, sikapnya selalu menimbulkan gelak tawa, sapaan sok akrabnya ke kawan lain selalu menimbulkan pertanyaan. “Sudah berapa orang yang kau sapa?” Tanyaku keheranan. “Alif, Bima, Ira, Rahim, Rahmat, Irwin, laja semua orang yang baruku kenal,” balasnya dengan semangat. Atau mungkin sapaan khasnya kepada setiap kerumunan manusia “Hai gays, say hello gays,” Seolah tak peduli dengan komentar orang lain, manusia itu selalu memberi kesan yang hangat, seperti pada tingkahnya di Taman Bermain Lapangan Pancasila, manusia itu mengikuti kawan lain yang bermain seluncuran anak karena bosan menunggu waktu pulang ke Samata katanya. Pun tak lama saya berfikir, mungkin sikap aneh itu yang kami butuhkan untuk dapat kembali merangkul kita agar akur.

Duka

Pada 10 jam 34 menit perjalanan menuju Kota Palopo, sebuah notifikasi muncul di HP saya, sebuah pesan singkat dari kawan Iksal mengejutkan seluruh penghuni bus pagi itu, saya membacanya dengan cermat. “…Telah berpulang ke rahmatullah, ibunda daripada sdri. Annisa’a Berlian Jamila…”, salah satu kawan bertanya khawatir, “Jadi bagaimana mi Berli? Pulang ki? Di bus mana mi sekarang? Deh padahal satu jam mami sampai mi,” balasku diam kebingungan.

Kembali mengingat kenangan, sedikit dekat dengan Berli secara kebetulan pada kegiatan setahun silam yang mengharuskan saya untuk tinggal dan bermalam di rumahnya, makan mie goreng aceh masakan Ibunya, dan sarapan kacang hijau yang juga buatan Ibunya. Sampai Hotel pun sulit bagi saya untuk menemui dan menyemangatinya, takut merasa sedih fikirku. Segera setelah kepulangan Berli saya mengirim beberapa pesan singkat bertuliskan “Harusko kuat, karena memang yang benar-benar bisa dimiliki itu hanya dirita sendiri,” ungkapku menguatkan. “Iya harus kuat, adek-adekku juga, semangat-semangat,” balasnya.

Tak berfikir banyak, saya mengira kejadian itu adalah akhir dari duka selama KKL kali ini. Namun, takdir tetaplah berjalan pada porosnya. Ayah dari salah satu kawan kami Nisa pun menyusul kepergian Ibunda Berli pada hari ketiga kegiatan ini.

“Semua peserta mohon membacakan Al fathihah…,” ucap pak febri yang tergabung pada grup WhatsApp berbalut “KKL 2019”.

Ikhlas untuk kedamaian yang kekal dan abadi.

Bencana Alam

Pada hari pertama kunjungan, saya bertemu dengan kawan lama yang cukup akrab, Luppi. Dengan gaya rambut yang berbeda, saya memperhatikan dengan seksama, fikirku dalam hati Luppi botak dan malu menampakkan rambutnya, sehingga menggunakan wig sebagai penutup kepala, tanpa ragu saya menegurnya “Ihhh pakai wig ko? Botak ko nah Luppi?” Tanyaku membenarkan. “Tidak, gondrong ka,” timpalnya mengejutkan. Jawabannya pun membeberkan gelak tawa bagiku sebab rambut yang dia gunakan sangat aneh dan tidak pas menurutku.

Salah satu kawan kami, Gilang menawarkan untuk singgah di rumahnya, memperkenalkan keluarganya dan sekaligus mencicipi makanan khas Palopo, Kapurung. “Tante, enak sekali Kapurung ta,” ucap Lia kepada Ibu Gilang setelah memasak banyak Kapurung dan makanan pelengkap lainnya. Sehangat rumah, kami pun bertukar pikiran dan candaan, salah satu kawan nyeletuk kepada Ibunya Gilang “Tante, adami pacarnya Gilang di Makassar,” kami pun terdiam dan sesekali melepas tawa.

Dalam perjalanan pulang ke Hotel, putaran bait “…Barangkali di sana ada Jawabnya, mengapa di tanahku terjadi bencana…” pada lagu “Berita kepada kawan” sontak membuatku terbangun. Tak ingin ketinggalan momen, saya pun melihat ke sisi sebelah kanan jendela. Nampak jelas deretan rumah bekas banjir yang terjadi pada 13 Juli 2020 silam itu tak berpenghuni. Lenyap, Senyap dan Kelam.

Rumah

Pada Instastory whatsApp salah satu kawan saya, Aldi tepat Pukul 15.08, Latar Warna Peach Salem Bertuliskan “Rindu Palopo” menjadi titik awal bagi kami meninggalkan rumah. Saya menyebutnya rumah, sebab perkataan Opu Matoa Cenda saat menghadiri acara sebagai narasumber dalam Seminar Rangkaian kegiatan KKL menyebutkan “Barangsiapa yang tinggal selama tiga hari di tanah Luwu, makan makanan orang Luwu, memikirkan kebaikan orang Luwu, maka orang Luwu lah dia.” Penghargaan yang besar bagi kami lantaran tak perlu bersusah payah untuk berperang agar diakui. Cukup diam, makan dan berfikir. Maka kami ada.

Penulis: Tritia Kurniati

Editor: Jushuatul Amriadi

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami