Agama “Ancam” Budaya?

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh: Zulyah*

Ini bukan imajinasi, bukan parodi. Ini kenyataan! Murni suatu fakta. Kita tertelan oleh budaya asing. Mengapa orang di kekinian lebih mencintai uang daripada yang lain? Jawabannya adalah uang lebih cantik dari cinta. Apa saja dapat dibeli dengan uang. Lewat esainya, Asdar Muis RMS nampak gelisah terhadap penghargaan nilai-nilai kebudayaan di tanah putusnya tali pusarnya.
Suatu waktu, Asdar sedang mengefakuasi Bissu Saidi dari RS Wahidin menuju RS Laubuangbaji karena tidak mampu lagi menutupi biaya-biaya rumah sakit, dan ia terpaksa membohongi Saidi bahwa ia mendapat bantuan sekian puluh juta. Padahal, uang istrinya dicopot. Ketika sedang mengefakuasi Saidi, ia menerima sms dari tanah kelahirannya, Pangkep. Yang isinya, Bagaimana kita bisa menjaga kebudayaan? jika para anggota dewan ketika kami bertanya dan mengajukan bagaiman nasib Bissu di Pangkep? Musrik…
Ketika anggota dewan tidak lagi menghargai kebudayaannya sendiri dan menuding musrik…musrik.., Bissu itu musrik, La Galaigo itu musrik, La Galigo tai! Ada apa ini? Bissu yang memelihara kebudayaan masa silamnya diabaikan oleh wakil rakyat. Parahnya lagi, La Galigo diacuhkan. Padahal UNESCO, baru saja mengakui bahwa naskah terpanjang di dunia adalah La Galigo. Kemana Asdar mengalamatkan rasa protesnya?
Keberadaan Bissu dalam masyarakat Bugis telah muncul sejak lama sebagaimana diceritakan dalam sure‘ I La Galigo. Menurut situs http://lagaligo.net, ketika Batara Guru turun dari Kerajaan Langit (Botting Langi‘) ke bumi, kemudian bertemu dengan We Nyili Timo, calon permaisurinya yang berasal dari Kerajaan Bawah Air (Buri‘ Liu), maka ketika itu pula Bissu yang pertama turun ke bumi. Hubungan Batara Guru dengan We Nyili Timo termasuk dewa-dewa dan roh-roh lain, dapat dilakukan melalui para Bissu. Bissu pertama ini bernama Lae-lae yang bertugas membantu Batara Guru menyelenggarakan kehidupan di tanah Bugis, melaksanakan adat istiadat Bugis, serta menjadi penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis. Karena termasuk “manusia pertama”, maka keberadaan Bissu dipercaya sebagai titisan dewata, sehingga memiliki dualisme sifat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, yaitu lelaki sekaligus perempuan, serta memiliki sifat sebagai keturunan dewata dan sekaligus manusia. Kelebihan inilah yang kemudian membuat Bissu dianggap memiliki kemampuan untuk ‘memberkati‘, menjadi penghubung antara dunia manusia dan dunia roh, serta memimpin berbagai ritual adat (Sharyn Graham, 2002).
Asdar kembali megisahkan, bahwa bukan hanya Flores yang telah kehilangan jati diri, kehilangan budaya. Misionaris telah mematikan kebudayaan di Flores, sama halnya yang terjadi di Pangkep. Ketika anggota dewan sudah tidak memerhatikan Bissu yang masih memelihara budaya, menuding Bissu itu musrik. Apa ini faktor agama? Apakah islamisasi mengacam budaya di Pangkep? Entalah!
Kita sama percaya bahwa tradisi Bissu pelan-pelan memudar. Kokohnya peningkatan dari cita-cita modern, juga pertambahan keinsyafan dalam masalah agama Islam secara mendasar dalam masyarakat (terutama anggota dewan yang menuding Bissu itu musrik). Lalu bagaimana komunitas Bissu beradaptasi dengan jaman yang penuh perubahan, regenerasi kepemimpinan serta keanggotaan baru? Sebagai manusia yang berbudaya, Asdar Muis RMS terus berjuang dan berupaya memertahankan kebudayaannya. Bagaimana dengan saya, Anda, dan kita semua? Apakah kita juga menganggap seluruh kegiatan Bissu tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni?

*Penulis adalah mahasiswa jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi Semester VI UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami