 |
Gambar Ilustrasi |
Oleh : Nurul Suciana Adam
Suara bantingan piring-piring dapur menjadi musik instrument Delia di pagi yang masih buta itu. Setiap pagi, Delia harus menyiapkan secangkir kopi di balai-balai depan rumahnya yang hampir serupa dengan gubuk itu. Delia kini hidup sebagai anak piatu. Ibunya meninggal dunia ketika ia masih berusia 6 tahun. Satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini ialah sang ayah. Ayahnya seorang pengangguran setelah dikenai Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) oleh salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Diusianya sekarang ini yang masih tergolong belia tak sepantasnya memiliki kehidupan yang keras. Dimana ia harus menerima kewajibannya untuk belajar dengan layak dan berhak menikmati usianya yang penuh warna-warni.
“Delia!!!”
Sahutan sang ayah yang sedari tadi menunggu kopi dari Delia.
Bergegas Delia menuju teras dan menyuguhkan secangkir kopi untuk ayahnya. Sikap sang ayah pada Delia sangat keras. Terkadang ada luka lebam di lengannya, di kakinya, maupun di punggungnya. Tapi satu hal yang Delia syukuri bahwa ia masih diizinkan untuk ikut belajar di rumah belajar Home Care. Tempat itu merupakan tempat belajar Delia dan teman-temannya, anak jalanan maupun penghuni pinggiran rel kereta yang kurang mendapat sorotan dari pemerintah. Ia juga bersyukur masih ada orang yang mampu meluangkan waktunya demi mengajar mereka tanpa balasan apapun.
Di rumah Home Care di kelola oleh para mahasiswa-mahasiswa yang peduli akan pendidikan untuk anak jalanan sekaligus mereka mengadakan sebuah penelitian tentang kehidupan keras anak belia penghuni rel. Walaupun kondisi rumah itu sudah sangat lapuk.
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui cela-cela dinding kayu bekas gigitan rayap. Sepatu reok dengan jahitan dimana-mana ia pakai menuju Home Care. Sepatu yang ia dapat dari tempat mulungnya. Pakaian kusamnya menjadi saksi bisu akan semangat Delia untuk meraih apa yang ia cita-citakan.
Delia pamit kepada ayahnya.
“Mm…pulang jangan sore.” Gerutu sang ayah yang sedari tadi hanya duduk santai di atas balai-balai sambil menikmati kopi dan isapan rokok batang demi batang hingga habislah dalam bungkusan terlihat dari tubuhnya yang kurus akibat rokok.
Delia membuka buku catatannya. Kali ini rumah Home Care terlihat sepi dari biasanya. Hanya ada sekitar 20 anak-anak yang hadir dan 4 orang mahasiswa sebagai pengajar relawan. Di tengah-tengah suasana belajar mereka, ayah Delia datang dan memaksanya untuk pulang. Delia meronta tak ingin pulang. Pengajar yang ada di ruangan itu hanya menatapnya karena mengira bahwa ayah Delia sedang mabuk. Putra sebagai perwakilan mencoba berbicara tetapi pada ayah Delia tetapi Putra di balas dengan dorongan hingga tangannya terluka. Delia akhirnya pulang. Putra memandangi kepergian gadis belia tersebut.
“Her…gue punya bisnis ama loe. Loe mau nggak jadiin anak loe pembantu di rumah gue. Gue liat-liat anak loe disiplin dan rajin.” Kata Rosma di depan Herman ayah Delia. Rosma didampingi oleh dua orang lelaki bengis, hitam dan berkumis lebat yang setia setiap saat. Delia ketakutan melihatnya namun tak berani memandang mereka.
“Loe..mau gaji anak gue berapa, Ros?” Herman mulai terbujuk akan tawaran Rosma. Tanpa pikir panjang Rosma menjawab langsung pertanyaan Herman. Rosma juga sudah tahu siasat Herman bila anaknya itu ladang emas sehingga ia ingin mematok harga tinggi.
“Gue mau dia kerja ama gue 22 jam. Gue gaji dia 2 juta per bulan.” Balas Rosma. Mendengar perkataan itu, Herman setuju tapa melakukan negoisasi.
Delia terkejut mendengarnya. Ia tak ingin berpisah dengan ayahnya meskipun tiap kali ia mendapat perlakuan tidak baik pada ayahnya tapi dia sangat sayang padanya. Delia teringat pada kata-kata ibunya ketika mereka masih hidup serba berkecukupan. Delia pada saat itu bertanya pada ibunya mengapa ayah begitu tegas padanya.
Ayah memang orangnya keras dan tegas tetapi maksud dari itu, ia tak ingin melihat seseorang didekatnya tampak lemah dan lembek. Ingatlah Delia! Seekor harimau buas tak akan pernah memakan anaknya sendiri meskipun perutnya sudah perih ingin menyantap daging.
Delia berpikir positif akan realita yang ia perankan saat ini. Dia tak akan pernah mengeluh pada Dzat yang telah menciptakannya karena ia yakin bahwa disetiap tangis dan sedih akan ada sinar-binar bahagia yang mengikutinya. Orang-orang akan berpikir bahwa Delia itu lemah karena masih belia, tetapi karena pikiran dan situasi lingkungan yang membuatnya seperti itu maka pikirannya sudah sama seperti pikiran orang dewasa.
Delia naik ke atas mobil Rosma didampingi oleh kedua pria bertampan bengis itu. Di balik jendela mobil ia menangis melihat ayahnya. Ia tidak bersedih karena takut, tetapi ia sedih karena meninggalkan ayahnya seorang diri. Tak ada yang akan membuatkannya kopi setiap pagi. Herman keasyikan menghitung lembar demi lembar uang lima puluh ribuan. Di sisi lain, Putra menyaksikan hal itu. Ia simpatik pada Delia ketika ia melihat gadis manis nan malang itu diseret paksa oleh ayahnya.
Di rumah Rosma, Delia mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Sesekali Delia bertanya kapan mulai bekerja tetapi pertanyaan-pertanyaannya melayang ke udara tanpa jawaban. Herman menikmati hasil gaji Delia beberapa bulan. Bukannya memperbaiki rumah ataupun merawat dirinya atau menabung untuk sekolah Delia, ia menghabiskan uang itu untuk mabuk, rokok, judi. Ayahnya bukan ayah yang dia kenal dulu.
Malam hening di kamar Putra. Tak tahu kenapa pikiran Putra terus tertuju pada Delia.
“Sepertinya Delia bisa aku jadikan tokoh dalam hasil penelitianku. Aku nggak tahu sosok anak itu sangat mendukung tugas akhirku. Aku yakin. Tapi, apa yang terjadi pada anak itu, padahal ia di bawa pergi oleh seorang wanita tanpa isak tangis. Pasrah ajja.” Pikir Putra yang sedari tadi membolak-balikkan badannya di atas ranjangnya. Selang beberapa waktu matanya mulai terpejam dan hanyut dalam untaian lelap malam itu.
“Deliaa….!!!” teriak Putra. Sontak ia terbangun dan merekam kembali mimpi itu.
Secarik kertas putih ia terima dari Delia. Delia bersama seorang wanita tersenyum indah kepada Putra. Putra bertanya akan sosok mereka tetapi mereka hanya tersenyum dan pergi. Dalam kertas itu tetulis : Esok hari apakah aku masih ada untukmu? Takdirmu yang akan mengubah takdirku. Keluarkan aku atas izin Allah.
Kata-kata itu teringat jelas dalam pikiran Putra. Segera ia menulis penelitiannya. Merumuskan masalah, membuat objeknya, dan sebagainya. Mimpi itu memaksa Putra untuk tidak tidur.
Delia mulai tidak sanggup tinggal di rumah Rosma. Bukan karena ia mendapatkan perlakuan tidak baik tetapi ia terbayang terus akan ayahnya. Telah tiga bulan ia tak pernah menemui ayahnya. Hingga suatu hari Delia mendapat kabar bahwa ayahnya terkena tuberkulosis atau TBC. Tiap malam ayahnya muntah darah dan berkeringat dingin. Ia meminta kepada Rosma untuk menjenguk Herman meski hanya sedetik. Permintaannya dipenuhi dengan syarat kedua pria bengis itu harus mendampinginya.
“Boss….gue punya stok baru nih. Masih belia, cantik dan sangat menawan. Gue pasang harga 200 juta. Kalau boss setuju, gue urus dia untuk jadi TKW di Taiwan.” Rosma melanggar perjanjiannya pada Herman. Tetapi Delia segera tahu akan hal itu.
Delia pulang ke rumahnya menemui ayahnya. Dan menceritakan apa yang telah ia dengar. Putra menyusup di balik semak-semak rumah Delia. Delia menangisi kondisi ayahnya. Dulu saat mendapat perlakuan kasar dari ayahnya, dia tak akan menangis ataupun melawan tetapi saat ini segala emosi dalam dirinya ia keluarkan dalam tangisannya. Ayah Delia mengusap air mata anak satu-satunya itu. Ayahnya menyesal telah berbuat demikian pada Delia. Ia telah mendzalimi dirinya dan anugrah dari Allah. Kini ia tak mampu berbuat apa-apa untuk Delia selain terbaring lemas tak berdaya. Tetapi semangat untuk menyelamatkan Delia masih ada dalam jiwa sang Ayah.
Tak ada yang mampu mengubah masa lalu, Herman. Tetapi kamu dapat merusak masa depannya dengan menangisi masa lalu dan merisaukan masa depan. Batinnya tiba-tiba menggerutu. Ia tidak akan menangis di depan Delia.
Delia kembali pergi bersama kedua pria bengis itu. Putra mengikuti dari belakang untuk memastikan tempat tinggal Delia. Putra kewalahan mengejar mobil yang membawa Delia hingga tibalah ia di suatu tempat yang sangat sulit di jangkau. Delia mengira bahwa ia akan kembali ke rumah Rosma sehingga rencana yang ia susun dalam pikirannya tak berjalan. Bahkan kakinya baru saja menapaki tempat sangat asing itu. Delia diguyuri rasa ketakutan yang tinggi. Aku masih kecil, aku masih belia, aku tak tahu apa-apa.
Delia menatap bintang-bintang, menghitung dan mengenang ibunya. Ia sangat takut, sesekali air matanya menetes. Entah ia masih bertahan dalam realita yang ia perankan dari skenario pencipta-Nya. Ia mengambil sebuah kertas dan menulis : Esok hari apakah aku masih ada untukmu? Takdirmu yang akan mengubah takdirku. Keluarkan aku atas izin Allah. Delia… Ia kemudian melipat kertas itu membentuk pesawat kertas lalu ia tiup di ujungnya dan menyebut Asma Allah berharap akan ada yang dapat membantunya. Hembusan angin malam mengantarkan surat Delia kemana saja. Tersangkut di atas pohon dan terhempas dan terhempas dan terhempas lagi hingga tiba di balkon kamar Putra. Putra terbesit mendengar ketukan lemah kertas itu. Membuka jendela. Menatap ke segala arah hingga matanya tertuju pada pesawat kertas Delia.
Putra kembali ke rumah Delia. Putra terkejut melihat ayah Delia tersungkur. Segera ia membawa ayah Delia ke rumah sakit agar segera mendapatkan pengobatan. Setelah mendapat pengobatan, ayah Delia didiagnosa terjangkit kanker paru-paru. Paru-paru kirinya sudah tak berfungsi dengan baik. Putra terkejut akan hal itu.
“Bagaimana aku bisa merencanakan untuk menyelamatkan Delia sedangkan ayahnya terbaring lemah disini. Dan akupun membutuhkan tenaga ayahnya.” Putra membatin.
Sesaat lagi Delia akan dikirim ke Taiwan menjadi TKW tetapi berstatus illegal mengingat Delia masih berumur 12 tahun. Pikiran Delia berputar untuk tidak dikirim menjadi TKW. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ada 10 pria bertampan bengis yang berjaga-jaga disetiap sudut ruangan. Putra menyamar sebagai penjemput Delisa untuk dibawa ke Taiwan. Alhamdulillah…rencana berjalan lancar. Tetapi sebelum mereka pergi, siasat Putra tercium oleh salah satu pria bengis itu. Adu balap pun terjadi disepanjang jalan. Untuk Putra mantan seorang pembalap liar demi meraih uang untuk membayar SPP dulu.
“Kakak ini siapa? Kalau kakak berniat untuk membawaku ke Taiwan bawalah aku yang terpenting sebelum aku ke sana izinkan aku melihat ayahku.” Pinta Delia.
Putra membawa Delia ke rumah sakit. Delia bertanya-tanya mengapa Putra membawanya ke tempat yang dihuni oleh kebanyakan orang-orang kesehatannya bermasalah.
“Kakak belum menjawab pertanyaanku. Bukankah aku harus ke bandara lalu ke Taiwan untuk jadi TKW. Aku memilih pergi ke Taiwan demi ayah Delia, karena mungkin disanalah takdir Delia untuk membuat kehidupan Delia dan Ayah membaik dan Ayah kembali sehat seperti dulu.” Kata Delia.
Putra menatap pandangan polos Delia. Duduk didepan Delia yang tengah berdiri memandang kagum bangunan mewah yang ada di depannya. Dengan memegang lembut kedua tangan Delia, Putra berkata :
“Jadi TKW itu memang baik, tetapi umurmu belum cukup adik manis. Taiwan itu negara yang jauh belum bisa dibiarkan pergi sendiri tanpa seorang ayah. Bukankan kamu yang inginkan untuk bertemu dengan ayahmu sebelum berangkat?”
Keduanya masuk ke rumah sakit menuju kamar ayah Delia dirawat. Delia sudah tidak sabar lagi melihat ayahnya. Ia membayangkan bahwa ayahnya sudah sangat sehat karena berada dirumah sakit mewah. Tetapi kenyataan yang ia melihat sosok manusia ditutupi kain kafan. (*)
*Penulis Adalah Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris semester II
Pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Alauddin