Coffee Is My Love

Facebook
Twitter
WhatsApp
Oleh | Nurfadhilah Bahar/Mag
Setiap hari aku sering melihatnya pada jam sebelas malam dan pulang ketika Café ini akan ditutup. Ia duduk di tempat yang sama, memesan minuman yang sama akan tetapi menyukai berbagai macam rasa yang berbeda.
“Mbak, pesan kopi rasa vanilla,” panggilnya sambil melambaikan tangan kearahku. Aku segera membuatkan kopi untuknya. Malam ini, ia memesan kopi rasa vanilla, kemarin ia memesan rasa blackcurrent. Besok, entahlah ia memesan apalagi.
Perlahan ia menyeruput kopi sedikit demi sedikit. Hawa panas kopi yang digenggamnya beterbangan menerpa wajahnya yang lumayan tampan. Namun, ketampanannya sedikit memudar karena raut wajahnya terlihat masam tanpa senyum. Dari sorot matanya terlihat bahwa ia telah mengalami penderitaan yang cukup pahit. Ia mengkhayal cukup lama sehingga tak merasakan kehadiranku di sampingnya.
“Maaf, Mas. Ingin tambah lagi?” tanyaku ketika ku tahu bahwa kopi yang diaduknya ternyata sudah habis.
“Iya nih!” katanya kaget seakan aku merasa telah membuyarkan lamunannya. Tak lama kemudian, aku datang lagi ke meja pojok dimana pria itu duduk. Aku menahan nampan di lengan kiriku dan meletakkan kopi di tangan kananku dengan hati-hati,“Silahkan, Mas.”
“Makasih,” ucapnya angkuh lalu kembali menyeruput kopi vanilanya.
“Maaf, Mas. Apakah aku mengganggu?” tanyaku sedikit canggung.
“Tidak,” jawabnya singkat. Aku rasa, pria ini sangat dingin terhadap orang lain. Pendiam, ataukah memang tak suka berbicara.
“Bolehkah aku duduk?”tanyaku lagi sambil tersenyum.
“Boleh, silahkan.” Ia kemudian melirik jam tangan dipergelangannya. “Masih setengah dua belas. Belum ditutupkan?”
Aku menggeleng dan tersenyum.
“Apakah Mas baik-baik saja?” Aku berusaha mengawali percakapanku dengannya disaat aku mulai duduk. Aku merasa penasaran dengan pria ini. Mungkin saja aku bisa membantunya untuk menghilangkan masalahnya, atau paling tidak meringankan bebannya.
“Aku tidak apa-apa. Memangnya kenapa, Mbak?” Aku senang sekali, akhirnya pria itu mau bertanya. Perlahan suasana kaku pun mulai mencair.
“Tidak! Maaf, kalau aku lancang. Aku hanya ingin berkenalan dengan Mas. Boleh kan?”
Aku lama berbincang-bincang dengannya. Sekali-kali aku berhasil mengundang tawanya yang yang khas, senyumnya yang manis, dan suaranya yang cool. Aku tidak menyangka bisa berkenalan dengan pria ini. Dia sangat asyik untuk diajak berbicara. Mengenai apa pun itu. Tentang sahabat, adik, oh aku melupakan sesuatu, tentang nama. Aku akhirnya bisa menyebut namanya, Ronald.
“Baiklah, Ronald. Kurasa perbincangan kita malam hari ini cukup disini saja. Café akan tutup dua menit lagi,”
“Yah, kurasa begitu. Senang bisa berkenalan denganmu malam ini, Keyla.”
“Aku juga. Sampai ketemu besok!” sahutku sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan padaku lalu berbalik dan menancap gas sepeda motornya hingga ia berlalu pergi. Tak dapat ku lukiskan rasa bahagiaku malam ini.
“Ehem! Ada yang lagi berbunga-bunga nih!” ejek Dodit rekan kerja ku.
“Apaan sih! Aku hanya merasa penasaran dengan lelaki itu. Tampangnya misterius banget. Tapi, ternyata dia ramah, terus tampan lagi,” kataku seraya kembali menikmati wajah tampannya tadi.
“Oh, si Ronald itu,” celetuknya.
“Lho! Kok kamu tau namanya?”
“Ya jelas tahulah. Toh dia kan langganan tetap disini. Kamu liat sendiri kan? Tiap hari datang, duduk di tempat yang sama, dan memesan pesanan yang sama, tapi cuma rasanya yang beda,”
“Iya sih. Aneh,”
“Dulu, dia itu tidak sendirian. Dia sering pergi berdua, mungkin dengan kekasihnya,” jelas Dodit membuatku semakin penasaran.
Aku memang pelayan baru di Café ini. Sehingga tak banyak yang kuketahui dengan pria itu. Mungkin pelayan disini sudah banyak yang tahu, tapi aku akan cari tahu sendiri sebelum mereka memberi tahuku.
                                                                               ***
Malam ini, Café tidak cukup ramai. Aku masih menunggu kehadiran Ronald yang akan datang sebentar lagi. Tak lama kemudian, seorang pria yang kutunggu-tunggu telah datang. Turun dari sepeda motornya dengan scraft yang masih terpasang diwajahnya hingga yang terlihat hanya mata indahnya saja. Ia mulai duduk ditempat biasa, melepaskan scraft dan menyalakan sebatang rokok yang kemudian dihisapnya. Asap mengepul-ngepul diwajahnya. Seketika itu, ia mulai memanggilku.
“Mbak, kopi rasa blueberry!” serunya sambil mengisap rokoknya kembali. Aku datang membawakan pesanannya.
“Silahkan, Mas,” ujarku ramah.
“Mau duduk?” tawarnya. Aku pun duduk. Mulai menatap wajahnya yang lebih segar malam ini.
“Kau tahu, bagaimana hidup ini tanpa cinta?” tanyanya. Kurasa pertanyaan yang bagus untuk memulai percakapan ini. Tapi, mungkin bukan pertanyaan asal-asalan atau hanya sekedar pertanyaan.
“Ya, hidup ini akan terasa hambar. Layaknya sayur tanpa garam,” jawabku tersenyum. “Mengapa kau bertanya seperti itu?” lanjutku.
“Aku merasa sebaliknya. Hidupku selalu merasakan pahit jika ada rasa cinta yang timbul dalam diriku.” Kami terdiam cukup lama. Desiran ombak pantai yang terdengar dari balik kaca jendela Café ini memecah kesunyian. Ku tatap dalam-dalam bulatan matanya yang menyipit. Aku yakin dia sedang mengalami depresi berat karena cinta. Kemudian, Ronald melanjutkan. “Kamu suka kopi?”
“Aku suka. Oh ya, aku heran. Kok kamu sering nongkrong disini sih tiap malam?”
“Aku hanya suka dengan suara ombak itu. Aku merasa berada dipinggiran air dan mendengar deruan ombak,” ujarnya. Ya, aku memang mengakui Café ini lumayan menyejukkan. Café yang indah, eksotis, hingga menyenangkan dan mengesankan. Cocok buat para pemuda nongkrong di sini jika lagi patah hati. Apalagi jarak antara Café dan pantai tidak begitu jauh hingga suara ombak dapat mendamaikan suasana.”
“Tapi, kenapa kamu hanya memesan kopi saja setiap kali berkunjung ke Café ini? Masih banyak makanan yang mampu atau minuman lain yang mampu menyegarkanmu malam hari ini.”
“Aku hanya menyukai kopi. Semenjak aku mengenalnya,” jawabnya.
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Dulu, aku tidak sendirian. Aku sering bersama kekasihku di Café ini. Duduk di tempat yang sama, memesan kopi dan rasa yang sama dengannya. Kami telah mencoba semua rasa kopi di Café ini. Tiap hari dengan rasa yang berbeda. Ia sangat menyukai kopi. Hmm…Kekasih yang sangat aku cintai. Tapi, itu dulu,” jelasnya. Aku melihat raut wajahnya yang tadi ceria, kembali muram.
“Maaf, kalau itu membuatmu tidak senang dengan pertanyaanku tadi. Lupakan saja!”
“Tidak. Tidak apa-apa. Itu wajar,” katanya sambil tertawa. Tepatnya tertawa masam. Aku tak lagi berani menanyakan kemana kekasihnya sekarang. Aku tak ingin melihat kesedihan diwajahnya. Lagi pula itu tidak penting untuk ku ketahui.
“Hidup ini benar-benar pahit, Keyla. Kau harus tahu itu. Hati-hati jika kau menemukan cintamu,” ujarnya mencoba menggodaku. Ronald, aku telah menemukan cintaku. Tapi, mustahil bagiku untuk mendapatkannya. Karena, ia tak lagi ingin mengenal cinta yang sesungguhnya, batinku.
“Ya, Ronald. Hidup itu seperti kopi, terasa pahit jika kita tidak tahu cara menikmatinya.” Ronald menatapku dalam setelah kata-kata itu keluar dari mulutku. Mungkin dia tersentuh mendengarnya. Aku tersenyum. “Mungkin kau berpikir bahwa cinta itu sangat menyakitkan. Itu karena kau tidak tau caranya memelihara cinta dan menikmati cinta. Tapi, aku yakin cinta akan selalu indah pada akhirnya.”
“Apakah kau sudah pernah merasakannya?” tanyanya, ia berhenti menatapku dan mulai kembali menghabiskan kopinya.
Aku menggeleng. “Belum!” jawabku spontan. “Tapi, aku yakin. Karena aku telah menemukan cintaku,” ucapku dengan lancang.
“Oh, ya? Pasti dia bijaksana sepertimu,” Aku tersenyum. 
Kami bertatapan cukup lama. Hingga waktu yang memisahkan kita pada larut malam ini. Selalu terdengar deru ombak di keheningan yang mulai tiba. Selalu saja ada kebisuan diantara kami. Saling menatap sambil mendengar suara ombak yang berdelawai.
Aku tak tahu, apakah malam itu adalah malam terakhir kita berjumpa. Dua hari berturut-turut kau tak juga datang. Padahal, aku telah menunggumu tepat jam 11 malam. Walaupun disaat itu pula semua orang sudah terlelap dalam tidurnya. Hanya ada aku di Café itu. Sepi. Hanya nyanyian merdu yang menemaniku saat itu. Nyanyian apa lagi kalau bukan ombak.
“Key, kita pulang bareng saja. Pelanggan sudah habis,” ujar Dodit mengajakku pulang.
“Tidak, Dit. Sebentar lagi pelanggan pasti datang. Pulanglah saja dulu. Tepat jam dua belas, aku juga akan pulang.”
“Ya iyalah! Masa kamu mau nginap di sini,” katanya sedikit bercanda. “Ngomong-ngomong, kamu menunggu pria itu lagi?” tanyanya. Aku terdiam. “Cinta… Cinta… benar-benar butuh pengorbanan,” runtuknya menyinggungku. “Kalau sudah cinta, tak ada cara apa pun yang bisa memaksanya untuk pulang,” lanjutnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Siapa bilang aku cinta!” bentakku marah. Aku memang tak pernah mengakui tentang perasaanku kepada Ronald.
“Hei, Keyla yang manis, walaupun sekuat apa pun kau menutupi wajahmu yang bertabur cahaya-cahaya cinta yang merona, tapi kau tak akan bisa menutupi hatimu yang selalu berbicara dan tak pernah berbohong!” jelas Dodit yang tertawa lantang. Aku bingung, apakah selama ini ia selalu mendengar suara hatiku? Entahlah, tapi itu mustahil. Tak ada yang tahu apa isi hati kita kecuali diri kita sendiri dan juga sang pencipta yang mengetahuinya. Ia segera meraih tas kecilnya yang tergantung di samping lemari lalu keluar dari Café ini.
“Bye..” teriaknya sambil melambaikan tangan kearahku. Ia akhirnya meninggalkanku sendiri di Café ini. Menyeruput kopi rasa vanilla yang saat ini mulai kurasakan kelezatannya. Menunggu seseorang yang pasti kuyakini akan datang. Namun, tepat jam dua belas, ia tak juga muncul.
                                                                                     ***
Pagi yang cerah, namun tak secerah hatiku. Aku berjalan gontai memasuki Café dan berusaha bangkit memulai pekerjaan. Bulan sabit kecil hitam terlukis di masing-masing bawah mataku. Memang, malam tadi aku tak bisa tidur. Hingga aku begadang sampai azan subuh berkumandang.
Semua mata pelayan tertuju padaku yang loyo pagi itu.
“Kamu kenapa, Keyla? Tidak seperti biasanya kamu seperti ini,” tanya Veronica yang mulai khawatir denganku.

“Tidak apa-apa, Ver,” jawabku lalu mengangkat nampan itu menuju pelanggan. Dodit datang menghampiriku dan menyentuh dahiku dengan telapak tangannya. “Kamu baik-baik saja kan, Key?” Aku mengangguk dan tersenyum tipis.
“Lebih baik, kamu pulang saja, dulu. Istirahat di rumah, ya?”
“Tidak, Dodit. Aku baik-baik saja, kok!”
“Kalau begitu, biar aku saja yang mengangkat nampan ini. Kamu boleh mengerjakan yang lain,” katanya lalu mengambil nampan yang berisi makanan itu dari tanganku. Dodit memang sahabatku yang paling pengertian.
Aku kemudian mengambil lap dan membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Ketika aku mulai menyemprotkan semacam cairan kimia pada permukaan meja, tiba-tiba aku menemukan sebuah koran yang tergeletak dan berisi foto yang tak asing dimataku.
Aku meraih koran itu dan membaca judulnya : SEORANG BURONAN MENYERAHKAN DIRI KE POLISI. Aku memperbaiki posisi tatapan mataku ketika melihat foto yang ada pada media cetak itu. Tak mungkin aku salah lihat. Dia adalah Ronald. Seseorang yang berinisial R telah menyerahkan diri pada polisi selama setahun tak ditemukan. Ia telah membunuh mantan kekasihnya yang diduga telah berselingkuh dengan pria lain. Aku merasa shock berat. Napasku tertahan memabaca kembali koran itu. Buronan? Membunuh? Apakah aku tidak salah lihat?
Aku terduduk dan mulai berpikir. Mengapa Ronald menyerahkan dirinya begitu saja kepada polisi? Apa sebabnya? Aku kembali membaca berita yang tak terduga itu. Ia mengaku merasa bersalah sehingga tak ada cara lain untuk menebus kesalahannya kecuali menyerahkan dirinya pada polisi. “Benar-benar malang nasibnya,” gumamku.
Sebuah kertas jatuh ke lantai dari lipatan koran yang ku buka. Sebuah surat? Surat apa ini? Dibalik surat itu terdapat nama pengirim dan orang yang dikiriminya.
To: Pelayan Café (Keyla), From : R. Aku membuka surat itu.
“Keyla, kau pasti tak percaya apa yang kau lihat pada koran yang telah kau baca pagi itu. Aku memang seorang buronan yang telah membunuh kekasihku yang sering ku ajak minum kopi di café mu. Saat itu, aku sangat depresi dan strees. Satu-satunya cara menghilangkan depresiku adalah dengan Café itu. Tapi, setelah aku menemukanmu, semuanya tampak berubah. Kau yang membuatku sadar hingga aku merasa sangat bersalah atas perbuatanku. Jadi, aku putuskan untuk menyerahkan diri pada polisi. Aku berharap dapat kembali bertemu denganmu dan membuatkanku sebuah kopi hingga kita berbincang bersama. Hmm..jika aku tak di vonis hukuman mati!”
Aliran darah di tanganku terasa berhenti. Kaku. Surat itu melayang-layang jatuh ke bawah. Dodit menghampiriku yang terlihat sedih. Menanyakan apa yang terjadi dan mengambil surat yang terjatuh ke lantai.
“Lebih baik kamu pulang dan beristirahat.” Aku tak bisa lagi menahan kakiku yang membeku. Tak dapat bergerak karena berita itu. Dodit pun memapahku pulang.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami