Oleh: Nur Afni Arifin (Magang)
Siang itu ditemani hujan mengguyur bumi. Aku sampai di kos. Kos yang akan menjadi saksi bisu bagaimana Aku. Manusia pribumi dari desa berjuang menghadapi kerasnya kehidupan kota.
Yah , tahun ini Aku resmi menjadi Mahasiswa baru di salah satu Universitas Negeri dengan label Peradaban. Rasa bangga , bahagia bahkan haru selalu menyelimuti. Namun tetap saja ada rasa sedih yang mencekal, karena harus merantau kekota, untuk meraih toga kebanggaan keluarga. Ini bahkan kali pertama aku ke Makassar dan berpisah dengan bapak, emak dan adik ku.
“Jaga dirimu Nak,” ucap emak sendu saat aku pamit untuk pergi. Ia tersenyum meski dengan mata berbinar .
Lupakan kesedihan itu, aku memaksakan diri untuk membersihkan kamar kos yang berantakan sebelum memilih rebahan.
“Penghuni baru?,” Suara dari arah belakang sontak membuat jantungku nyaris berhenti berdetak, setelah kutoleh kudapati perempuan manis dengan rambut terurai sebahu, yang berdiri diambang pintu menatapku dengan tatapan bersahabat. Aku bertaruh dia lebih tua dariku.
“Iya kak,” aku menjawab dengan menyuguhkan senyuman.
Dia mengulurkan tangan putihnya seraya memperkenalkan diri. Yah, namanya Andin dia juga salah satu mahasiswa di kampus ku. Tentu aku bahagia menyadari akhirnya aku punya teman di kota.
Lambat laun kami semakin akrab. Andin selalu membawakanku makanan bahkan sering mengajakku jalan jalan. Dia baik dan humble pada semua orang.
Namun, suatu malam aku mendapatinya tengah terisak pilu. Karena kebetulan kamar kami memang sebelahan, suara isaknya benar benar menyusup digendang telingaku dan membuatku terbangun.
Dengan langkah yang masih oleng. Aku mengetuk pintu kamar Andin dengan perasaan cemas karena isakannya belum reda.
Tak lama menunggu ia membuka pintu dengan kepala tertunduk, mata sembab ia benar benar terlihat berantakan.
Aku masuk ke kamarnya dan memeluknya berusaha menenangkan. Meski beberapa pertanyaan meneror kepalaku. Apa yang membuatnya menangis? Apakah ia patah hati? Siapa laki laki yang berani menyakiti perasaan perempuan sebaik dan secantik Andin.
Aku berusaha menahan rasa penasaranku, dan memilih memeluknya untuk menenangkan dirinya, mengungkapkan semuanya baik baik saja meski masalahnya belum aku ketahui.
Namun, setelah berjibaku dalam keheningan dan rasa penasaran apa yang ia katakan setelahnya benar benar membuatku terpatung dengan hati remuk.
“Aku hamil Sya,” lirihnya memegang perutnya.
Rasanya tenggorokanku kering, lidahku keluh, aku benar benar tak tau harus mengatakan apa. Aku kembali memeluknya berharap ia tenang.
Setelah air matanya kering. Ia menceritakan alasan ia hamil, dan itu membuatku kecewa terhadapnya.
“Hah ia pelacur,” batinku tersulut emosi, sepersekian detik setelah mendengar ceritanya yang bergelimang dosa, aku meninggalkannya sendiri dan menuju kamarku disaat keadaan terburuknya. Bersama suara petir mengaum dari alam semesta seolah turut menghardik.
Setelah kejadian itu, aku bertekad untuk menjauh darinya. Menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang pelacur dan sialnya kujadikan teman benar benar membuatku depresi. Wah dia benar benar perempuan jahannam berhati iblis. Sudah berapa banyak pria yang ia tiduri hanya untuk segepok uang haram.
——————————
Meski Andin selalu menyapa saat kami berpapasan di koridor kos dengan senyuman hangatnya, bahkan selalu mengirim pesan singkat di WhatsApp menanyakan kabar. Aku tetap berpegang teguh terhadap keyakinan ku untuk menjauhinya. Aku bahkan selalu memandanginya dengan sorot mata tajam seolah memusuhi dan tetap menjaga jarak.
“Kamu membenciku karena aku pelacur,” lantangnya memecah belah keramaian di kos saat itu, aku hanya mendengus kesal dan melewatinya.
Aku tak percaya dengan apa yang ia katakan, banggakah ia menyandang status pelacur dan harus diumumkan didepan semua orang.
Selama ini aku tertipu dengan topeng lugu dan sok baiknya. Aku memang tak tahu menahu mengenai kehidupan pribadinya. Kukira hal itu tak akan menjadi masalah. Namun lihatlah, kini ia menjadi perempuan murahan dan aku merasa ditipu.
Jika ditanya mengapa aku membencinya, yah tentu saja karena dia pelacur. Dia bahkan menjual dirinya. Dia pantas dirajam dan dilempar ke Neraka.
——————————
Sudah seminggu berlalu, aku bahkan tak lagi melihat sosok Andin bergentayangan disekitaran kos. Begitupun pintu kamarnya yang selalu tertutup rapat. Sontak hal itu membuat kepalaku berkalut memikirkan dirinya. Perasaan cemas selalu menghantui, apalagi sebelumnya aku selalu melihat Andin berwajah kusam bahkan murung.
“Sya, kamu kenapa? dari tadi ngelamun,” suara diseberang sana berhasil membuyar lamunanku, kudapati seorang pria dengan perwatakan tinggi dengan peci di kepala nya. Yah dia Sholeh, pria tersaleh di kelas ku.
Aku menggeleng dengan mulut bungkam menandakan aku tak mau diganggu. Namun tetap saja ia mendesak menanyakan aku kenapa. Dengan berat hati aku menceritakan padanya sedetail mungkin , tak ada puzzle cerita yang ku potong antara aku dan Andin termasuk saat aku meninggalkannya.
Kupikir Sholeh akan mendukung keputusanku, namun
“Kamu Bukan TUHAN Sya,” ucapnya menatapku.
“Dosa hanya Tuhan yang tau loh sya,” lanjutnya.
Aku tersulut emosi dan dengan lantang kukatakan,
“Bukankah pelacur itu perbuatan dosa, kau pikir berzina bukan dosa besar? hah, kupikir kamu tau membedakan mana yang baik dan buruk, ternyata aku keliru,” ucapku dengan penuh pembelaan bahwa keputusanku meninggalkan Andin adalah tepat.
“Neraka manusia, hanya Tuhan yang tau Sya, siapa sih kita yang bisa menentukan dosa manusia, kamu bukan malaikat Sya, baik kita, kamu bahkan Andin sama-sama manusia, memang kamu yakin gitu kalau nggak punya dosa,” terangnya yang membuatku tersentak.
Seolah langit runtuh menghantam tubuhku Sholeh benar. Tak ada manusia yang suci, surga ku saja belum ku jamin. Malah semena mena menghardik bahkan menghakimi Andin pendosa.
Tanpa berpikir panjang aku segera meninggalkan kelas menuju kos. Bermaksud menemui Andin untuk meminta maaf.
————————–
Sesampainya di kos segera kuketuk pintu kamar Andin dengan linangan air mata mewakili rasa kecewa terhadap diriku sendiri. Di kepala ku hanya ada satu kalimat terpatri dalam sanubari
“Maafkan Aku Andin”
Hampir setengah jam aku mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam kamar Andin. dengan memasang jurus kuda kuda aku menendang pintu kamarnya.
Seketika Alaku terperangah mendapati Andin tergeletak kaku dengan berlumuran darah tak bernyawa .
Ia meninggal sebelum kata maaf kusampaikan padanya.
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP), semester V.