Oleh : Rahmat Achdar
Pernah ketika, di zaman Yunani Kuno terjadi sebuah percakapan oleh kedua Filsuf yang dikenal sangat berpengaruh dan mempunyai kontribusi besar dalam peradaban dunia, yakni Socrates dan Plato.
Meskipun hubungan mereka hanyalah sebatas guru dan murid, namun keduanya memiliki kedekatan emosional yang cukup baik hingga keduanya terlihat sebagai saudara sedarah. Socrates adalah guru dari Plato, dan tentu saja Plato adalah murid yang baik dari Socrates.
Dalam percakapan tersebut, Plato melangsungkan sebuah pertanyaan kepada gurunya “wahai guru, apa itu cinta?” Namun pada saat itu sang guru tidak memberikan jawaban apapun, melainkan ia hanya menginstruksikan kepada muridnya untuk melalukan perjalanan di sebuah perkebunan gandum yang cukup luas.
Socrates kemudian memberikan aba-aba kepada Plato, “wahai Plato, jika kau hendak mengetahui apa itu cinta, maka silahkan kau berjalan menyusuri perkebunan gandum itu, lalu kemudian kau cari dan ambil ranting yang menurutmu paling cantik dan indah menurutmu, namun dengan catatan jangan pernah berbalik arah.”
Sang murid pun menangkap baik apa yang diperintahkan oleh gurunya, ia kemudian berjalan menyusuri bahtera luasnya perkebunan gandum itu. Tepat di tengah perjalanan, Plato menemukan ranting yang menurutnya sangat cantik namun ia ragu dan tidak mengambil ranting tersebut. Karena di depan sana perkebunan gandum itu masih sangat luas, besar kemungkinan masih ada bahkan masih banyak lagi ranting yang lebih cantik dari ini. Namun yang membuatnya terdiam, gurunya menitip pesan bahwasanya “kau jangan pernah berbalik arah”, apa yang terjadi ketika disana tidak ada lagi ranting yang lebih indah dari ini?
Plato kemudian melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya perkebunan gandum itu ia tuntaskan dengan perjalanan dan pencarian, namun sayangnya tidak ada lagi ranting yang indah dan cantik yang ia dapati di sana.
Plato akhirnya kembali menemui gurunya dengan raut wajah yang cukup menyesal dan sedikit kebingungan, hingga kemudian sang guru bertanya “mengapa kau tidak membawa ranting yang ku maksud?” Plato pun menceritakan kejadian yang dia alami di dalam perkebunan tadi, hingga akhirnya sang guru pun menganggukkan kepala sembari tersenyum.
Socrates berkata kepada Plato, “wahai Plato, hidup dan kehidupan ini adalah sebuah proses pencarian. Sebagaimana kita adalah manusia yang dilahirkan karena cinta, maka dalam hidup kita mempunyai kewajiban untuk mencari dan menemukan cinta itu. Lantas, dalam pancarian tersebut kita tidak seharusnya bersikap gegabah. Ada yang cantik, molek, indah dan sebagainya lantas kau sebut itu cinta? Tentu tidak!
dalam pencarian itu kita harus melibatkan sikap skepitisme itu, agar di kemudian hari kita dapat mengambil pelajarannya. Cinta memang sangat suli ditemukan, kadang kita menemukan yang terbaik, namun fitrah kita sebagai manusia yang tak kunjung merasa puas terkadang salah ditempatkan. Jadi kesimpulannya, untuk mencari dan menemukan cinta itu kita harus ikhlas, jangan pernah merasa kau berkorban sedikitpun karena cinta. Sebab ketika kau merasa berkorban dalam pencarian cinta itu, maka secara otomatis kau telah menggugurkan cintamu sendiri.”
Lalu kemudian Plato kembali bertanya, jadi cinta itu apa? Socrates menjawab, cinta itu suci, putih, bersih dan jernih. Sebab beberapa sifat cinta tadi, kita pun perlu mempunyai bekal ikhlas yang cukup untuk mencari dan mengenali dia. Sebab tidak ada yang mesti terluka, kala cinta itu datang dalam diri manusia. Dan tentu, manusia yang telah mengenal dan menemukan cinta, maka ia tidak akan mati.
Wallaahu A’lam Bisshawaab
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH).