Oleh: Muhammad Junaedi
Jauh di dalam hutan yang warna hijaunya semakin terdegradasi, tak hijau lagi, hanya ada gersang di tanah yang kering. Kemurungan menjadi pohon, tidak mudah tumbang, besar, dan menjulang ke atas langit. Kemurungan yang nyaris hadir disetiap hutan dan daratan di negeri ini.
“Kita harus pindah ke tempat yang lain. Kita butuh makanan dan tempat yang lebih baik daripada ini! Kehancuran ini semakin tidak terkendali dan kita semakin merana, harus hentikan semua kegilaan ini!” Pekik Karo, monyet khas Kalimantan, dengan hidung memanjang. Kulitnya yang eksotis, membuatnya disegani segala jenis hewan.
“Ya, kita butuh tempat yang layak, tempat yang bisa mengatasi kesengsaraan.” Timpal Kassi, beruang madu berwajah sangar. Rasa geram membuatnya terlihat semakin seram.
“Bagaimana caranya pindah ke tempat yang lebih baik? Waktu kita habis untuk berlari dan bersembunyi dari pemburuh, kita tidak memiliki waktu untuk mencari tempat yang layak. Gagasan itu saya rasa terlalu besar, kawan.” Lolo, ayam cemani yang seluruh tubuhnya berwarna hitam.
“Melawan!” pekik Koko, seekor belalang tua. “Melawan adalah satu- satunya kunci untuk menghilangkan kesengsaraan ini. Bukankah pepatah selalu bilang, ada kemauan ada jalan!” Lanjutnya.
“Melawan?” Lolo, seekor gajah tanpa gading, tak mengerti gagasan itu, begitupun hewan-hewan yang lain, mereka hanya saling pandang, bingung. Koko terkekeh sendirian.
“Jangan percaya dengan gagasannya” pekik Tonro, seekor burung elang. “Dia senior aku di sekolah”
“Dia hanya pandai bicara. Dulu, Koko menyuruh kami menulis hal apapun, terus dia kritisi tulisan kami, tanpa sebab dan tanpa alasan tulisan kami dianggap salah”
“Padahal dia tidak pernah menulis hal apapun. Apakah dia pantas mengkritisi sesuatu yang tidak pernah dia kerjakan. Sungguh kami sangat kecewa. Kami perlu para pengkritik tulisan, yang bagus tulisannya, tulisannya padu dan utuh, sehingga pembaca dapat mengikutinya. Karena kami tidak memanggil kata ‘senior’ kepada mereka, hanya untuk mengkritisi tanpa alasan”
“Jangan perdebatkan soal pengkritik, sebab pengkritik bukan untuk diperdebatkan. Jangan cerita soal keadilan, sebab keadilan hanya ada dilangit” Karo ikut bicara
“Kenapa kita terkadang tidak pernah adil dalam menggunakan istilah ini” Bobo ikut bicara, seekor banteng yang alim.
“Bila mau adil kita justru mesti menggunakan istilah ‘ambil positifnya’ pada tempatnya, seperti penerapan Islam yang sering dinegatifin melulu” pekik Konro, seekor burung maleo, teman diskusi si Bobo yang tidak pernah sepaham dengannya.
Garis-garis cahaya matahari memanjang ke tengah hutan dengan begitu mudah masuk lebih dalam untuk menyinari, tidak terhalang oleh pepohonan. Pohon ditebang setiap saat. Jika hujan datang, banjir pun ikut. Jika panas matahari datang, kekeringan akan ikut bergandengan dengan tragedi.
“Kita akan pergi ke perkampungan, dan maaf…kita akan menginvasi para manusia yang serakah” pekik Kombo, seekor badak tua tak bercula lagi, karena ulah manusia yang serakah. Dengan membara.
“Ide gila!”ucap Konro, tak yakin “Diperkampungan banyak manusia dan segala jenis peralatan memburunya:tombak, senapan, pisau, panah, busur, kita akan dibunuh dengan mudah oleh para manusia”
“Segalanya tidak mudah, kematian adalah harga yang pantas untuk semua mimpi.” Kombo menatapi kerumunan aneka macam hewan.
Hening, tidak ada hewan yang bicara. Hanya terdengar suara bunyi pemotong kayu, gema pohon yang tumbang, dan deru mesin dari mobil truk melintas di dalam hutan yang sepanjang siang dan malam, mengangkut puluhan kayu gelondong(an) dari hutan
“Mimpi yang sangat mahal,” ucap Karo, matanya menerawang, “Akankah kita meraih mimpi semacam itu?” keraguannya semakin membelukar.
“Aku setuju!” teriak Tassu, seekor anoa, ia sangat antusias mendukung gagasan Karo.
“Kawan-kawan, dengan menginvasi para manusia, kita bisa mendapatkan tiga keuntungan. Pertama, memperlambat kehancuran. Kedua, memugar kehancuran agar kembali penuh pesona. Ketiga, memanfaatkan kemegahan teknologi untuk merekayasa diri kita menjadi lebih tahan polusi, lebih cerdas, lebih kuat!” Papar Tassu seperti sedang menguraikan filsafat tranhumanisme.
Asap menyelimuti seluruh langit, menjadi kelabu, berlayar-layar arungi udara, tak punya tujuan. Gemuruh mesin truk, berhardik-hardik dengan suara mesin pemotong kayu. Selongsong pipa besar menjulang ke langit, menyemprotkan limbah. Sementara gedung-gedung semakin bertambah, menggantikan pepohonan. Mesin tidak bisa memilih, menumbangkan semua pohon, tidak sekadar pohon, segala apa yang berada di hutan. Dikelamnya hutan, banyak cara untuk mengalihfungsikan hutan jadi tempat industri, salah satunya dengan pembakaran hutan, datang dari korporasi-korporasi besar yang akan membangun industri.
Ribuan hewan, berlari menuju perkampungan. Meloncat menghindari jeratan perangkap pemburu banyak terpasang di tengah hutan, berlari antara semak belukar, menghindari lahan terbuka, supaya tidak terlihat oleh pemburu yang dilengkapi senapan. Mereka harus kuat-kuat menahan nafas agar tak terlalu banyak mengisap asap yang mengepul di udara.
“Aman, keluar sekarang…” Karo memberi isyarat kepada teman-temannya untuk keluar semak-semak.
Ribuan hewan, melompat dari semak-semak. Berbaris berjalan di samping rumah-rumah manusia, banyak tulang hewan yang tergantung di rumah manusia, mungkin tulang yang tergantung adalah tulang dari keluarga mereka, yang berhasil diburu oleh manusia.
“Terus bergerak dan jangan biarkan satupun manusia mengetahui kedatangan kita.” Bisik Konro, matanya berlarian ke sekeliling mengawasi keadaan.
Ribuan hewan, berjalan mengendap-endap, memilih tempat- tempat yang aman dari tatapan manusia yang masih terjaga. Langit di atas sana menggelayutkan bulan, cahayanya bercucuran menyepuh segalanya menjadi tampak keperakan.
“Aku tidak tahu gunakan barang dari manusia, apa gunanya kain yang menutupi badan manusia?” gumam Barri.
“Kakek mungkin tidak tahu gunakan barang-barang dari manusia, tapi ikut mengusir manusia akan sangat membantu mimpi kita. Berbahagialah, karena setiap kita adalah pahlawan, Kek!”Bassu, seekor babi rusa melipur kesedihan Barri.
Akhirnya, dengan segala cara, ribuan hewan berhasil menyelinap ke dalam gedung, tanpa diketahui satupun manusia. Mereka masuk ke ruang penyimpanan persenjataan dan mengambil alat persenjataan yang tiada terkira, ribuan senjata api, senjata biologi, senjata kimia, senjata peledak, dan banyak lagi.
“Ambil senjata apa saja semampu kalian. untuk menginvasi para manusia, harus banyak perlengkapan persenjataan!” Karo memberi komando kemudian berlari kencang menuju tempat penyimpanan persenjataan terjauh di dalam ruangan.
“Senjata nuklir” pekik Tonro.
“Tuhan tidak bermain dadu! Ya Tuhan, inilah kemerdekaan yang diceritakan itu!” Bobo nyaris melonjak melihat senjata yang kini sudah digenggamnya.
Ribuan hewan sudah menemukan senjatanya masing-masing, tidak hanya satu senjata. Setiap hewab setidaknya membawa tiga buah senjata.
Greeetttt… Pintu berderit, langkah kaki yang ritmis terdengar mendekat. Karo memberi isyarat agar kawanan hewan terdiam, bersembunyi dengan segala cara.
“Hantu yang menyebalkan! Sekarang mereka tidak hanya menakut-nakutiku dengan suara, mereka sudah berani menyalakan lampu. Kurang ajar!” Gumam manusia yang sedang berjaga yang membawa senjata api. Matanya menatapi lorong-lorong tempat senjata, tidak ada siapa pun. Ia mematikan lampu, menutup lagi pintu, ketukan sepatunya terdengar ritmis, menggema di dalam ruangan, semakin lama, semakin pudar, semakin menjauh.
“Rrrrrrhhh!!!” penjaga tadi rupanya mengendus kehadiran Karo dan kawanannya, ia kini sudah berdiri jumawa di belakang ribuan hewan-hewan. Ia memasang kuda kudanya, bersiap menembak hewan-hewan yang mencuri persenjataan manusia.
“Diam di tempat dan menyerahlah hewan bodoh! Kalian tertangkap basah mencuri persenjataan kami!” teriaknya lagi.
Semua hewan memutar badan. Tonro meringis, tidak kuasa membayangkan jika timah panas itu masuk dalam tubuhnya.
“Jangan halangi kami manusia bodoh! Menyingkirlah!” Barri mengancam, ia berjalan mendekati manusia itu.
“Kalian adalah makananku, bagaimana mungkin kalian melawanku. Ha ha ha ha…” manusia itu terbahak jumawa.
“Perang!” teriak Barri.
Seribu hewan di belakangnya bersamaan menerjang. Ribuan hewan memburu manusia, bertumpuk-tumpuk, menggunung.
“Perang?” Karo menelan ludah.
“Manusia-manusia itu sudah melampaui batas!” Teriak Boy, seekor burung cendrawasi.
“Perang!!!” Semua hewan berteriak lantang, menginginkan perang. Karo yang paling disegani semua hewan, masih terdiam, masih menimang.
“Perang!” Teriakan marah dan heroik semakin bergemuruh, tidak ada pilihan lain, Karo pun mengangguk, “Baiklah, kita akan berperang…” ucapnya datar.
Suara desing tiba-tiba meledak, seperti gemuruh petir yang menyambar-nyambar diatas langit, tiba-tiba memecahkan suasana sunyi di ruang penyimpanan senjata para manusia. Suara desing itu datang dari tembakan para hewan yang dari tadi siap berperan melawan manusia yang pembuat kehancuran, yang serakah, dan yang tidak ada puasnya.
“Mundur!” Ribuan manusia tunggang-langgang menyelamatkan diri, berlari menuju tempat-tempat yang tidak bisa dijangkau peluru. Ribuan manusia tak sempat mencari selamat, mati mengenaskan tertembak ribuan peluru, meledak dengan ribuan bahan peledak yang dicuri di gudang persenjataan manusia, diserang semilyar hewan yang marah.
“Rasakan pembalasan kami wahai makhluk-makhluk serakah!” Pekik Konro.
Apalah artinya segala macam kejumawaan kalian, apalah juga artinya kemegahan teknologi kalian sendiri dalam sekali tembakan para hewan yang marah? Semuanya porak-poranda, hancur menjadi puing, tak bermakna. Rumah yang megah, yang selalu boros cahaya, segalanya, segala-galanya habis tak bersisa.
Dalam desing peluru dan ledakan bom yang masih menerjang, terus membombardir sampai ke jantung perkampungan. Dalam derak kehancuran yang tak terhindarkan, di celah jerit jutaan kematian, Kanro tertegun, menatapi bangkai manusia. Menatapi darah yang keluar dari kepala hewan yang tertembak. Perlahan-lahan, Kanro berjalan ke belakang, meninggalkan perang.
“Konro, apa yang kamu lakukan? Sejak kapan kamu menjadi pecundang!” teriak Karo, geram.
“Konro, kembalilah, berperang bersama kami! Kita harus merebut kemerdekaan!” Teriak Bobo.
Konro berhenti, dia tertegun, menatap kawan-kawannya yang semilyar. Menatap amuk senjata api dan ledakan bom, reruntuhan, pohon tumbang, bangkai manusia yang mati mengenaskan, kehancuran.
“Lihat semua yang terjadi ini. Sampai pada titik ini, apalah bedanya kita dengan manusia itu? Hanya para pembuat kehancuran di muka bumi,” ucap Konro, nanar.
“Tidak ada perang tanpa kehancuran, tidak ada kemerdekaan tanpa pengorbanan! Berpikir moderatlah, Konro. Tinggalkan romantisme semacam itu!” umpat Barri.
Konro tak peduli, ia tak lagi mau mendengar segala bujukan. Konro berkelisut, menghindari peluru yang sembarang melayang di udara, sesekali melompat melewati papan yang menerjang, seringkali ia harus berkelit menghindari bangkai manusia yang koyak mengenaskan. [*]
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP) semester IX.