Oleh: Muhammad Junaedi
Waktu itu, hari jumat. Selesai salat, kami kembali ke sekretariat lembaga , melanjutkan obrolan yang sempat terpotong oleh rutinitas laki-laki pada hari jumat. Kami duduk di depan sekretariat untuk melanjutkan obrolan itu. Saya sungguh beruntung duduk di tengah-tengah senior, yang penuh dengan cerita mengarungi kampus, sudah makan asam garam dalam perjalanannya, mulai dari cerita pertentangan kiriman dari orang tua, apakah akan dipakai bayar kontrakan yang sudah lama jatuh tempo, atau dipakai ke warung makan, sampai cerita pura-pura nginap di kost teman, yang diyakini masih banyak simpan stok indomie di kostnya. Mereka sudah hafal dengan cerita itu.
Duduk di tengah-tengah senior artinya siap mendengarkan panjang kali lebar ceritanya, karena sifat manusia ialah mencurahkan pengalaman dan isi hatinya. Jadi, senior juga manusia biasa, yaaa..wajar mereka curhat. Mulai dari persoalan lamanya di kampus, sampai persoalan percintaannya.
Senior yang duduk di sebelah saya, dia memainkan gitar, dia memang jago memainkan gitar, ketika memainkan gitarnya, suasana akan pecah, kesunyian jadi keseruan, terbawa oleh suara petikan gitarnya. Dengan pakaian salat yang masih lengkap, peci masih di kepala dan sarung masih dipakai dia tetap memainkan gitarnya dan mendengarkan obrolan kami. Senior yang satunya, mencurahkan pengalamannya dengan penuh pengkhayatan. Dengan telanjang dada, peci dan sarung masih lengkap di tubuhnya, mungkin dia kepanasan atau dia lupa kalau sedang bertelanjang dada, karena dalam pengkhayatan tingkat tinggi menceritakan pengalamannya, pengkhayatannya menembus cakrawala, dan meraih semua isi perjalanannya dulu.
Senior yang telanjang dada, peci dan sarung masih lengkap di tubuhnya, bercerita banyak soal perjuangan masa lalunya, saat ia masih gagah, saat masih seperti kertas tidak ada coretannya. Polos, sifat polos yang dia bawa dari rumah, mulai ada coretan ketika menginjakkan kakinya di kampus, dia sudah mulai pemberani dan idealismenya terhadap hak manusia terpupuk dengan baik, dan tumbuh menjadi perlawanan terhadap penindas yang menindas hak manusia yang lain.
Benar kata Darwin dan Engels yang pernah menguraikan bahwa manusia, sejak mulai memisahkan diri dari binatang, mampu melewati fase penyesuaian dengan lingkungannya yang senantiasa berubah (lihat Engels, Peranan yang Dimainkan Kerja dalam Peralihan Kera Jadi Manusia). Dari manusia yang polos, menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sering melihat penindasan di kampus, terbentuklah idealisme seorang mahasiswa baru, dari yang polos jadi pemberani menentang penindas hak orang lain. mungkin itulah asal usul dari keberanian senior saya.
“Kaco’ ballang, ada mukerja kah? Kalau tidak ada, ayomi ikut sama saya” seruan senior saya. Dengan penuh tanda tanya. Saya tidak mengerti maksud dan tujuan senior mengajak ketempat yang masih tanda tanya.
“Tidak adaji senior, iyewww senior” dengan penuh kepolosan, saya mengiyakan seruan senior.
“Ayomii pale, naik moko di motor” seruan seniorku. Sayapun naik di motornya.
Dalam perjalanan, senior yang mengajak ketempat yang masih tanda tanya banyak bercerita, dia bercerita perjalanannya mengarungi dunia kampus, dia bercerita banyak pengalamannya, wajar dia bercerita panjang kali lebar, karena asam garam kampus sudah dia makan, dan sifat manusia adalah mencurahkan pengalaman dan isi hatinya, dan senior saya masih manusia biasa yang tidak bisa menahan derasnya keinginan untuk mencurahkan isi hatinya.
Setelah lama bercerita, akhirnya tempat tanda tanya tadi, tidak tanda tanya lagi, tempat tanda tanya itu, ramai oleh mahasiswa, ada yang sedang memegang petaka yang bertuliskan “tolak harga BBM, ada yang memegang pengeras suara sambil meneriakkan isi hatinya, dengan membara, suaranya membakar suasana, gerombolan mahasiswa yang berapi-api semangatnya terus meneriakkan isi hatinya, meneriakkan keadilan. Pak polisi dengan setia memperhatikan mahasiswa yang berapi-api.
Setelah satu jam berlalu mahasiswa meneriakkan isi hatinya, tiba-tiba gerombolan mahasiswa yang berapi-api, lari menghamburkan diri. Saya masih bingung, kenapa mereka menghamburkan diri. Dengan penuh penasaran, kenapa gerombolan menghamburkan diri, ternyata ada seorang melempar batu ke arah pak polisi yang dari tadi setia memperhatikan mahasiswa berapi-api menyuarakan isi hatinya, tidak tahu, apakah pelaku itu seorang provokator yang dikirim ketengah-tengah mahasiswa untuk membubarkan gerombolan mahasiswa, atau mahasiswa yang berapi-api sehingga deras api emosi tidak bisa dibendung lagi, dan akhirnya batu dari tangan mahasiswa berapi-api melayang, melayang ke arah pak polisi, pak polisi pun ikut berapi-api. Api emosi lawan api emosi, berkobarlah emosi, membakar hati nurani, tidak peduli lagi bahwa mahasiswa dan pak polisi adalah manusia, yang harus saling memanusiakan.
Emosi berapi-api jadikan pak polisi berubah menjadi singa, singa yang mengejar zebra di padang sabana, mahasiswa yang jadi zebra, yang menghamburkan diri dari kejaran sang singa. Saya terdiam melihat kejadian itu, entah kenapa, mungkin kejadian ini adalah kejadian yang pertama saya hadapi:dikejar pak polisi. Setelah terdiam di tempat, ada suara yang membangunkan dari diam saya, “lariko kaco’ ballang!ada polisi di belakangmu” sayapun terbangun dari diam, dan berusaha lari dari kejaran pak polisi, namun terlambat bangun dari diam, jarak lima langkah dari pak polisi, baru bangun dari diam. Saya mengeluarkan segala tenaga untuk menjauh diri dari pak polisi, namun pak polisi lebih cepat lari dan saya setengah sadar, berusaha lari, usaha untuk lari sudah terlambat, baju saya ditarik pak polisi, tapi saya masih tetap berusaha lari dan melepaskan diri, namun pak polisi lebih kuat. Setelah lama berusaha lari, sayapun hanya pasrah, dan merontah-rontah melepaskan diri, namun pak polisi kuat, sayapun diseret dengan paksa, dan dinaikkan diatas mobil pak polisi.
Dengan penuh pengkhayatan, senior yang telanjang dada, peci dan sarung masih lengkap di badannya, menceritakan masa lalunya, dia berusaha menembus cakrawala ingatannya untuk mencapai ingatan masa lalunya, dia berusaha mengingat dan menceritakan kepada saya pengalaman pertamanya dikejar pak polisi, dengan penuh pengkhayatan dia bercerita. Setelah ceritanya selesai, senior sayapun bertanya kepada saya.
“Pernah jako pergi ma’demo la buccu?”tanya senior aku, dengan senyum dan wajah yang seakan-akan ragu.
“Tidak pernahpa senior, takut-takutka natangkap pak polisi, jangan sampai sama seperti kita senior, yang natangkap pak polisi”jawabku dengan senyum kecil dan memutarbalikkan keraguan jadi pernyataan bahwa senior aku pernah diseret pak polisi saat berdemo.
Senior saya pun ketawa kecil “hahahaha, jammoko ikut demo kalau tidak terlalu mutau isunya, jammoko juga ikut demo kalau ikut-ikutan jako ke seniormu, harus mutau apa yang kamu perjuangkan, jangan sampai demo itu ditunggani oleh kepentingan, kan tidak bagus kalau dimanfaatkan jako seniormu, esensi dari turun kejalankan memperjuankan kepentingan ummat, bukan kepentingan perseorangan. Gappa natangkapko pak polisi”
Senior saya bercerita betapa sakit hatinya ketika hanya dimanfaatkan.
Rasa penyesalan datang seperti titik-titik yang muncul perlahan membentuk gambar, seperti kata yang muncul satu persatu dalam waktu sebelum menjadi kalimat yang selesai.
Seperti pemandangan pantai itu, mula-mula kabut, lantas perahu. Baru kemudian orang-orang datang bagai bayang-bayang hitam di kejauhan yang tidak akan pernah mendekat. Membawa jala, membawa bekal, dan segala peralatannya.
Mereka terdengar berkata-kata, mendorong perahunya, dan segera menjadi noktah yang lenyap ditelan pemandangan itu.
Apakah para nelayan hanya bagian dari gambar, ataukah manusia yang akan memahami segala sesuatunya tanpa memerlukan kata-kata dalam dunia yang telah sangat dikenalnya? Seperti nada sebuah lagu, makna tersusun dari detik ke detik, memastikan riwayat hidupku, riwayat hidupmu, dan bagaimana riwayat itu berpapasan hanya untuk berlalu.
Siapa yang tak akan menyesal, tersiksa beberapa hari, hanya persoalan dimanfaatkan oleh senior, untuk menyuarakan kepentingan pribadi dijalanan, saya sungguh menyesal mengiyakan perkataan senior saya, saya tak akan lupa saat tersiksa ditahanan pak polisi.
Makin malam, ruang tahanan seperti kulkas, dinding-dinding terasa menghembuskan udara dingin yang menusuk tulang. Saya menggigil, rahang beradu membuat kedua pasang gigi bergemeletuk karena gigil dingin yang tanpa ampun. Saya pun menggeret korek api sekedar untuk menghangatkan jemari.
Sesekali karena ingin merasakan panas saya sentuh bara api dari korek itu, kedinginan telah menumpulkan urat syaraf jari, kulit serasa menebal dan berkerut-kerut karena terlalu lama basah, bara itu tak membuat jari kepanasan, hanya terasa hangat. Satu demi satu saya geret korek itu, merasakan sensasi hangat dan memandang nyalanya yang membuat kegelapan terusir sebentar.
Tak sampai tengah malam isi korek api habis, menyisakan kepingan-kepingan hitam dari batangnya yang mengabu. Saya pun duduk meringkuk dengan tangan bersidekap seolah ingin melindungi degup jantung yang lemah. Air mata merembes keluar dari su- dut mata saya. Rasa dingin dan sakit membuat saya menangis tanpa suara.
Saat petugas shift pagi mengantarkan makanan dan tak ada suara sedikitpun yang terdengar dari ruang tahanan, si petugas dengan kesal membuka engsel pintu.
Tidak ada kabar dari senior yang mengajak pergi menyuarakan kepentingan pribadi, hati saya bagaikan piring yang telah pecah, pecah karena dimanfaatkan turun kejalan untuk menyuarakan kepentingan pribadinya, pecah ini tak akan kembali utuh seperti dulu, saat pertama kali mengenal dirinya, dan saya belajar banyak disini, senioritas adalah praktik-praktik mendominasi, bagaimana senior selalu merasa dominan dari junior, sehingga mereka memberlakukan junior bagaikan kerbau yang harus tunduk dan patuh diarahkan kemana saja, semau senior, dengan dalih untuk menghargai proses, untuk menghargai pendahulu, sebagaimana menghargai kakak kandung, yang lebih dulu dilahirkan dari rahim ibu. Dalih itu adalah dalih untuk mengukuhkan mereka sebagai dominan, sebagai yang tersebah dan dihargai.
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (FUFP) semester VIII.