Tanamkan Rasa Optimis & Syukur

Facebook
Twitter
WhatsApp
Inspiradata.com

Oleh: Irmayanti

Bintang berkelap-kelip memamerkan keindahannya. Angin terhembus pelan dengan suara kodok yang terdengar begitu asyik. Dan keramaian antara orang-orang yang hanya untuk duduk saja diantara terangnya malam, atau hanya sekedar jalan-jalan, ataupun menikmati indahnya malam minggu bersama orang-orang terkasih yang datang silih berganti.

Di bawah pohon cemara udang biasa orang menyebutnya aku menikmati hembusan angin. Alun-alun Cianjur adalah sasaran utama ku melampiaskan segala penat yang ada. Serasa aku ingin menjadi seperti anak-anak yang ada di alun-alun ini yang tanpa ada rasa beban menikmati segala permainannya. Tanpa kusadari aku mengalihkan pendanganku menuju sesosok wanita yang menyendiri diminimnya cahaya lampu. Tidak begitu jelas raut wajahnya karena gelapnya malam, tapi aku tahu persis sepertinya dia penuh dengan masalah. Sesosok wanita yang mengenakan kemeja abu-abu, rasa penasaran itu muncul seketika memperhatikannya dengan penuh diam, menyapanya membuatku merasa canggung. Namun, Dalam benakku berpikir mungkin saja wanita itu membutuhkan teman curhat.

“Hay” sapa ku dengan senyum.
“Ya” jawabnya singkat dengan nada lirih.
Ia menatapku. Dari tatapannya aku paham, dia merasa terusik.
“Kamu sendirian?.” Kutatapnya dengan pasti, mukanya sepertinya tidak asing.
“Aku sendiri.
“Perkenalkan namaku…”
“Kamu kamu Nasya yah?”
“Iya betul rupanya kamu mengenalku, tapi aku lupa kamu itu siapa?.” (Kaget dan heran)
“Aku Binar masa kamu tidak ingat?”
“Binar? Oh kamu Binar gembrot itu. Iya aku ingat.”

Binar adalah teman seperjuanganku ketika kami masih duduk di bangku SD, dulu kami satu sekolah. Tapi ketika saya lulus dari SD keluargaku pindah ke Sulawesi sehingga kami terpisah dan pada akhirnya tidak pernah lagi bertemu. Dulu aku sering memanggilnya gembrot karena badannya yang gemuk dan tidak berhenti ngemil di sekolah. Namun, sekarang berubah drastis memiliki postur tubuh yang tinggi dan kelihatan anggun. Memiliki karakter yang kritis dan sopan adalah ciri-ciri Binar.

“Kamu punya masalah?“
Ia terus memainkan hpnya. Seolah tak mendengarkan pembicaraanku.
“Hmmm kamu dengar aku kan?” Kataku dengan nada halus, namun sebenarnya aku kesal.
“Iya-iya kamu bicara denganku?” Jawabnya santai.
“Terus kenapa tidak dijawab?” Pikirku dengan rasa penasaran akan sebuah jawaban pasti.
“Oh ya, ngomong-ngomong kamu kok ada di Cianjur?” (berpura-pura mengalihkan pembicaraan)
“Aku sekarang kuliah disini. Kataku pelan, saya paham mungkin Biar tak ingin menceritakan masalahnya kepadaku.”

Hari-hari berikutnya aku selalu menghubungi Binar lewat via Whatsapp. Sesekali aku menanyakan kabarnya dan mengajaknya jalan. Alun-alun Cianjur adalah tempat kami menghabiskan waktu dari panasnya terik matahari hingga senja tiba. Bukan hanya itu disana kami kerap diskusi lepas lagi-lagi adalah politik. Malam menjemput senja terasa berlalu begitu cepat saat diskusi mulai memanas.

Aku suka berdiskusi dengannya, meski seringkali aku kerap memilih diam, mungkin karena Binar merupakan mahasiswa dari jurusan Politik Islam sehingga ia lebih paham tentang politik, berbeda dengan saya yang dari jurusan Biologi masih minim pengetahuanku tentang politik. Tumpukan buku bertema politik adalah makanan bagi Binar tiap harinya. Sesekali aku meminjamnya sebagai tambahan ilmuku tentang politik.

Diskusi telah usai, tatapan Binar kosong, akhir-akhir ini dia seringkali melamun. Aku semakin penasaran dengannya, hal apa yang menimpanya sehingga ia seperti itu. Aku membujuk Binar agar mau mengatakan yang sesungguhnya. Tanpa berpikir panjang dia pelan-pelan bercerita. Binar pun akhirnya mengatakan terlalu banyaknya beban hidup yang Dia alami saat ini. Dia terpuruk ketika mengetahui ayahnya divonis penyakit kanker stadium 3, apalagi setahun yang lalu ibunya telah meninggal dunia.

“Hati seperti teriris-iris rasanya, pengen mati saja kalau begini.” Ungkapnya.

Sungguh aku merasa iba, aku juga pasti merasakan hal yang sama ketika aku berada di posisinya. Penyemangat adalah hal secuil yang dapat ku lakukan. Biaya pengobatan kanker bukanlah uang yang minim, membutuhkan ratusan juta rupiah, yang tiap minggu harus cuci darah dan ICU sudah menjadi rumah sehari-hari.

“Aku pusing Nas sekarang apa yang harus kulakukan Toko Bangunan milik ayah sudah terjual, tanah sepetak di belakang rumah juga habis dijual untuk pengobatan ayahku, sekarang hanya rumah yang tersisa. Mana lagi biaya SPP belum aku bayar untuk semester ini. Rasanya aku ingin berhenti kuliah saja kalau seperti ini.”
“Jangan. Jangan dong Nar kamu kan sudah semester 3 sekarang, sia-sialah usahamu saat ini kalau harus berhenti ditengah jalan.”
“Tapi kan Nis nyawa ayahku lebih penting dari segalanya nya. Pokoknya ayah harus sembuh, dia adalah satu-satu penyemangat ku, dan sekarang dia membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku sudah putus asa, tiap tengah malam ku berdoa semoga ada jalan keluar masalah ini. Tapi hasilnya selalu nihil, dengan berhenti kuliah adalah cara yang tepat untuk mengurangi biaya hidupku saat ini. Apalagi hasil usaha jualan onlineku saat ini juga tak seberapa.”
“Kamu harus tetap semangat dong. Nanti kita sama-sama cari jalan keluarnya, aku akan bantu kamu kok. Disaat kamu sedang mengalami musibah hendaknya kamu bersabar, jangan langsung menyerah. Insya Allah akan diberikan jalan keluar nantinya. Jangan mudah putus asa. Kamu bukanlah Binar yang aku kenal dulu sangat berbeda dengan sekarang. Dulu disaat banyak masalah kamu tidak menyerah.”
“Dulu. Dulu berbeda dengam sekarang Nas ini adalah masalah terberat yang pernah kualami. Kamu paham itukan?”
“Iya aku paham aku janji akan membatumu keluar dari masalah ini.”

Apa yang harus kulakukan untuk membantu Binar uang senilai 2 juta rupiah aja aku tak punya, apalagi ratusan juta dapat dari mana uang sebanyak itu. Tabungan, aku punya tabungan tapi mana cukup karena 2 minggu yang lalu sudah ku belikan laptop.

Ayah oh iya ada ayah. Ayah adalah salah satunya orang yang paling tepat untuk ku mintai bantuan, mungkin saja ayah bisa membantu. Oh ya kebetulan ayah kan kekurangan staf di Kantornya, mungkin saya ayah bisa menerima Binar untuk kerja di sana. Aku akan katakan ini kepada ayah seusai makan malam nanti, karena sudah tidak banyak waktu lagi.

Setelah makan malam ku katakan kepada ayah, bahwa ayah Binar membutuhkan biaya besar untuk pengobatan kankernya. Dengan panjang lebar ku ceritakan semuanya dengan harapan agar ayah bisa memberikan bantuan. Ayah setuju dengan tawaranku untuk menjadikan Binar sebagai staf di Kantor. Dan Binar di perbolehkan masuk Kantor besok. Ayah mengatakan pagi saja kerja di Kator nanti siangnya ku perbolehkan pulang untuk kuliah. Aku sangat senang sekali mendengar cerita ini. Dan ayah siap membiayai uang SPP Binar sampai sarjana nanti dan bukan hanya itu ayah langsung memberiku cek senilai 70 juta untuk pengabatan ayah Binar.
Aku harus segera menyampaikan kabar gembira ini kepada Binar agar ia tidak terpuruk lagi. Insyaallah cek ini bisa meringankan beban Binar.

“Halo assalamualaikum Binar kamu bisa ke rumahku sekarang juga?”
“Ya waalaikumsalam ada apa Nas, sepertinya penting sekali.”
“Kesini saja dulu nanti aku ceritakan, tidak usah banyak tanya.”
“Tapi. Tapi kan ini sudah malam, besok saja.”
“Sekarang saya tunggu, lagian baru pukul 20.00.”
“Tapi…..Tututtttttttt.”

15 menit kemudian Binar datang kuceritakan semuanya terkait apa yang ayah katakan kepadaku, dengan luapan air mata tak henti-hentinya Binar mengucapkan rasa terimakasih atas semua bantuan yang ayah berikan. Mungkin ini adalah jawaban atas doa-doanya selama ini. Semenjak itulah Binar selalu bangkit dari masalah-masalah yang menimpanya dan lebih bersemangat menjalani hari-harinya. Binar mengatakan dia tidak akan mengecewakan ayah atas kepercayaan yang sudah diberikan, akan bekerja secara profesional. Bisa bekerja di kantor ayah adalah puji syukur atas Rahmat Allah baginya.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) semester IV.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami