Oleh: Nur Rahmah Hidayah
“Bukan adat, agama, ataupun perasaan yang menjadi pembatas. Tapi tanah kita, tanah anarki. Tempat di mana kebebasan dan ketakutan bertarung sampai akhir”
Kepulan asap membumbung tinggi, memayungi gerombolan massa aksi yang sejak empat jam yang lalu memadati jalan, meneriakkan keadilan. Tak peduli dengan panas yang beradu dengan suara bising klakson pengendara maupun peluh yang membasahi tubuh. Mereka tetap berteriak, melawan! Meski suara yang keluar terdengar bergetar dan serak, meski tenggorokan perih dan kering, lama tak tersentuh air. Semangat mereka tak pernah menyusut, seperti kobaran api di sekeliling mereka yang kian memanas.
Di antara kerumunan itu, ku pusatkan pandanganku pada sosok lelaki yang sejak tadi berteriak melalui megafon yang tergenggam erat di tangannya. Tatapannya tajam menyoroti gedung DPRD di depan sana, gedung yang dihuni oleh mereka yang katanya wakil rakyat, namun tak seorang pun keluar untuk mendengar jeritan rakyatnya. Hanya ada barisan polisi bersenjata dan bertameng yang memagari gedung itu, melindungi mereka. Kapan pun siap menembakkan peluru panas ke arah mahasiswa yang dinilainya membangkang.
Setelah selesai dengan segala unek-uneknya, Raka melepas megafon ditangannya, memberikan kepada seorang pemuda lainnya yang ingin berorasi. Lantas, berjalan menemuiku yang sejak tadi menunggu.
“Kamu sudah meliput?” Tanyanya sembari menyambar air mineral yang tergeletak di sampingku, tanpa permisi.
“Bukankah aku terlihat keren di rekaman itu?” Tanyanya lagi, menunjuk kamera yang berada di pangkuanku. Pertanyaannya hanya ku balas dengan tatapan kesal.
Raka Putra Dirgantara, pemuda yang ku kenal sejak dua tahun yang lalu di acara seminar bertema politik. Sosoknya yang berwawasan luas, aktif dan pemberani, membuatnya menjadi sorotan di ruangan itu. Terlebih saat Ia membantah perkataan salah satu politikus yang menjadi narasumber, debat panas tak dapat dihindari. Dengan argumen yang kuat dan suara yang tegas, Raka berhasil membuat politikus itu tak dapat mengendalikan dirinya, mengakhiri sesi tanya jawab dengan emosi yang menyulut.
Aku yang saat itu masih berstatus sebagai reporter baru di salah satu organisasi jurnalistik kampus memilihnya sebagai narasumber untuk menanggapi kegiatan tersebut. Jawabannya sangat memuaskan walaupun terkesan sarkas. Pun, di beberapa kegiatan berikutnya, hingga kami menjadi sedekat sekarang. Sering bersama, hingga orang-orang menuduhku memiliki hubungan spesial dengannya.
Suatu ketika, saat berteduh dari hantaman derasnya hujan, aku menanyakan pendapatnya tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan.
“Aku sepakat dengan pendapat Aristoteles, cinta adalah persahabatan, saling melengkapi dan membutuhkan, saling menasihati dan memercayai,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari aliran air hujan.
***
Keadaan masih agak stabil sampai ketika seseorang yang entah siapa melempar batu ke arah polisi yang sedang berjaga. Akibatnya, kekacauan terjadi. Mahasiswa dan polisi saling serang. Gas air mata memenuhi udara di wilayah pertempuran. Batu-batu dilempar ke sembarang arah, mengenai siapapun. Tak tahu siapa kawan, siapa lawan.
Di tengah kekacauan itu, rentetan mobil tronton milik TNI membelah jalan. Puluhan tantara bersenjata melompat turun, bergabung bersama aparat kepolisian. Sejak dikembalikannya dwifungsi ABRI, kelompok berseragam loreng itu semakin rakus menguasai daratan. Mereka yang harusnya melindungi masyarakat sipil malah menjadi ancaman dan sumber ketakutan.
Kekuatan menjadi semakin tidak seimbang. Kelompok mahasiswa hanya bersenjatakan batu dan jenis benda tumpul lainnya, sementara para aparat menggunakan senjata api dilengkapi fasilitas pelindung. Akibatnya, pertumpahan darah dimana-mana, banyak mahasiswa yang berjatuhan terkena peluru yang ditembakkan. Suara teriakan dan rintihan kesakitan terdengar di segala penjuru. Jalan-jalan dipenuhi tubuh-tubuh yang terkapar dengan darah yang terus mengalir. Tragisnya, tak sedikit dari mahasiswa itu sengaja diinjak bahkan ditendang oleh aparat yang berlalu-lalang.
Dari kejauhan, di antara para pengendara yang terhenti, aku berdebat dengan Raka. Ia bersikeras ingin bergabung dengan demonstran lainnya. Katanya, ia tak ingin terlihat seperti pengecut. Hanya bersembunyi, sementara teman-teman lainnya berjuang.
“Bukankah masih ada hari esok? Lalu esoknya lagi! Kita tidak akan berhenti sampai kita menang!” Kataku kesal, mataku mulai memanas, menahan bendungan air yang ingin tumpah.
Namun, tetap saja — ia terlalu berkepala batu. Setelah menitipkan ranselnya, ia berlari — meninggalkanku. Sosoknya menghilang dibalik kepulan asap yang menyelimuti para pemberontak, mereka yang menginginkan keadilan. Jauh di depan sana, suara teriakan dan senjata saling bersahutan, memecah langit yang mulai memerah. Langit senja di atas sana menjadi saksi atas perlawanan mereka.
Sejak saat itu, tak lagi ku dapati sosoknya yang pemberani. Tak lagi ku dengar argumennya yang membuat lawan terdiam, juga pesan-pesan menyebalkan yang tiap hari ia kirimkan. Raka pamit bersama cahaya matahari yang perlahan menghilang. Hanya ada sepucuk surat yang ia tinggalkan, di dalam ransel yang ia titipkan.
***
Kau tahu?
Yang paling menyakitkan adalah ketika kita tak diberi pilihan.
Aku takut mati. Sangat takut!
Namun, aku juga sangat membenci dunia ini!
Tuhan memberiku kehidupan yang tak ku inginkan.
kemudian menghukumku setelahnya.
Lalu, seperti apa dunia yang ku inginkan?
Aku ingin dunia yang damai
Tak ada perampasan! Tak ada penindasan!
Tempat di mana orang-orang tak merasakan perbudakan.
Tempat di mana orang-orang menikmati kekayaan alamnya yang melimpah.
Tempat di mana orang-orang berdiskusi dengan tenang.
Juga, tempat di mana sepasang kekasih dapat menghabiskan waktu bersama,
tanpa terganggu oleh jadwal demonstrasi.
Jika Tuhan berkehendak, mari bertemu di kehidupan selanjutnya.
Tentu, dengan perasaan yang masih sama.
-Raka Putra Dirgantara.
*Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.