Rasio Tidak Seimbang, Proses Belajar Timpang

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Washilah - Andi Muh Saleh

Washilah – Mahasiswa UIN Alauddin Makassar kerap kali mengeluhkan proses belajar mengajar yang tidak efektif. Hal itu disebabkan karena rasio dosen yang tidak seimbang.

Dari delapan fakultas dan 54 program studi. Lebih dari 20 di antaranya memiliki rasio yang tidak seimbang antara jumlah mahasiswa dengan dosen, hal itu berdasarkan laporan Statistik UIN Alauddin Makassar 2021.

Mengacu pada ketentuan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti), perbandingan jumlah ideal dosen dengan mahasiswa di perguruan tinggi adalah 1:30 untuk mata kuliah eksakta dan 1:45 untuk mata kuliah sosial.

Wakil Rektor Bidang Akademik Pengembangan Lembaga, Prof Mardan, mengklaim bahwa rasio antara dosen dan mahasiswa di UIN Alauddin Makassar itu sangat ideal.

“Mahasiswa kita ini yang aktif sekarang adalah 26.783 sedangkan dosen 928 dan jika dibagi hasilnya, eksakta saja 1:18 dan sosial adalah 1:38, maka ini sudah sangat ideal,” ungkapnya, Selasa (24/1/23).

Lebih lanjut, Prof Mardan mengatakan bahwa PD Dikti tidak mempermasalahkan rasio antara dosen dan mahasiswa di UIN Alauddin Makassar.

“Rasio dosen sangat sehat, masalah kita hanya pada mahasiswa yang tidak tepat waktu penyelesaiannya,” tambahnya.

Prof Mardan mengklaim jika rasio antara dosen dan mahasiswa di UIN Alauddin Makassar telah ideal dan sehat.

Hal itu berbanding terbalik dengan salah satu Dosen Fakultas Dakwah & Komunikasi (FDK), Muhammad Sahid merasakan akibat dari rasio yang tidak seimbang tersebut menguras tenaga para dosen.

“Ketika kita dikasih kelas yang begitu banyak tentu akan menguras tenaga, apalagi rasio di jurusan Ilmu Komunikasi 1:65 yang artinya setiap mata kuliah 65 mahasiswa yang dosen tersebut ajar, apalagi tentu tidak ada ruangan yang muat,” ujarnya, Rabu (18/1/23).

Washilah menghimpun dari laporan Statistik UIN Alauddin Makassar 2021 terdapat 54 prodi dari 8 fakultas. Di mana rasio yang tidak ideal tersebut tampak jelas di FDK dengan rasio perbandingan tidak seimbang tertinggi dari tujuh fakultas lainnya.

FDK terdiri dari delapan prodi, di antaranya Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam dengan rasio 1:55, Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam dengan rasio 1:66, Program Studi Jurnalistik 1:60, Program studi Pengembangan Masyarakat Islam dengan rasio 1:65, Program Studi Ilmu Komunikasi dengan rasio 1:65, Manajemen Dakwah dengan rasio 1:65, Manajemen Haji dan Umrah 1:63, dan Kesejahteraan Sosial 1:81.

Menanggapi persoalan ketimpangan rasio, Koordinator Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa menilai bahwa dalam menyikapi permasalahan ini, pihak universitas selayaknya memberikan mekanisme berupa teguran terhadap rasio yang menjadi kenyataan di lapangan.

“Tentunya mekanisme teguran dari universitas harus dilakukan, jika ada saluran komunikasi maka hal tersebut jauh lebih baik,” tuturnya, Sabtu (11/2/23).

Hal itu senada dengan yang disampaikan Prof Mardan, ia menyampaikan jika terjadi suatu permasalahan kiranya dapat segera dilaporkan ke pihak rektorat.

“Di semester ini saya rasakan indeks nilai yang awalnya sempurna jadi menurun, akibat dari beberapa kali kelas terisi 60-70 orang sehingga di dalam kelas kami akan sangat tidak nyaman, banyak suara yang mengganggu sehingga belajarnya menjadi tidak efektif,” keluhnya, Jumat (20/1/23).

Mahasiswa yang akrab disapa Arsal itu juga menyampaikan kekecewaannya terhadap dosen yang mengajar tiga mata kuliah dalam satu kelas. Hal itu mengurangi karakteristik atau warna yang akan membuat kelas menjadi monoton serta terkesan membosankan untuk bertemu setidaknya satu minggu tiga kali dengan dosen yang sama.

“Metode perkuliahan dan grafik penilaiannya pun sama di matkul (mata kuliah) A, matkul B, dan matkul C, karena karekteristiknya satu orang pengajar,” kata Dia.

Hal yang paling krusial dan seratus persen tidak akan efektif menurut Arsal, ketika birokrasi Fakultas seperti Dekan turut mengambil andil dalam proses belajar mengajar.

“Seharusnya pejabat fakultas tidak lagi ikut turun untuk hal-hal semacam itu, karena akan banyak sekali kegiatan kampus dan akan menangani perkara kemahasiswaan, keuangan, dan administrasi. Kiranya hal ini nanti akan bertabrakan dengan jadwal perkuliahan,” ucap Arsal.

“Dekan itu tidak satu sampai dua kali jadwalnya bertabrakan, saya rasa itu setiap kali ada jadwal mengajarnya dan tentu acara kampus itu mewajibkan dia untuk hadir padahal seharusnya kita juga menjadi prioritas,” tambah Arsal.

Untuk meminta tanggapan dari pihak-pihak yang berperan penting dan tentu ikut bertanggung jawab terhadap rasio yang tidak seimbang di FDK, Reporter Washilah mencoba untuk menemui Ketua Jurusan (Kajur) dari beberapa Prodi, namun mereka tidak bersedia untuk diwawancara dengan berbagai alasan.

Keluhan itu tidak hanya datang dari Mahasiswa FDK Jurusan Ilmu komunikasi saja, hal serupa juga dirasakan oleh Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Filsafat, & Politik (FUFP), merujuk dari data statistik UIN Alauddin Makassar tahun 2021 rasio Prodi Ilmu Politik (Ipol) yaitu 1:79.

Salah satu Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Muh Ishar mengaku kesulitan menyerap ilmu yang diberikan, dikarenakan terdapat dosen yang mempercepat pertemuan, terlebih pada dosen yang tidak pernah masuk selama satu semester.

Ishar juga berpendapat, penambahan dosen sangat dibutuhkan. Jumlah mahasiswa politik yang cukup banyak namun dosen yang kurang sangat tidak efektif dalam proses belajar mengajar di kampus peradaban.

“Dan banyak dosen Ipol itu sekarang yang lagi lanjut pendidikannya juga,” beber mahasiswa angkatan 2021 tersebut.

Kajur Ilmu Politik, Syahrir Karim memberikan tanggapan dari keluhan mahasiswa terkait rasio yang tidak seimbang tersebut.

“Untuk mengantisipasi rasio yang tidak seimbang dengan mengupayakan beberapa kebijakan yang kiranya dapat mengindahkan rasio agar sesuai dengan aturan yang ada. Upaya pertama dengan mengurangi jumlah kelas yang sebelumnya terhitung sampai lima kelas, dan saat ini hanya ada tiga kelas saja, dari kurang lebih 120 mahasiswa baru menjadi sekitar 89 mahasiswa baru,” terangnya.

“Jika kami mempertahankan sekian ratus orang tersebut, dosennya akan tidak memadai tentu kami juga harus mengantisipasi itu,” pungkasnya.

Syahrir sendiri telah meminta tambahan formasi dosen dengan kualifikasi dosen yang dibutuhkan—pihaknya memberikan lima daftar dosen yang dibutuhkan, namun berujung kekecewaan karena hasil yang didapatkan untuk jurusan Ilmu Politik hanya satu dosen saja.

Hal ini kembali membuat pihak birokrasi fakultas kewalahan menghadapi berbagai keluhan, baik dari dosen maupun mahasiswa terhadap faktor-faktor yang ditimbulkan dari kurangnya tenaga pengajar. Sehingga Syahrir kembali mengupayakan kebijakan dengan menambahkan beberapa dosen Luar Biasa (LB), namun kembali terkendala dengan anggaran yang akan membebani fakultas.

“Kita tidak bisa mendatangkan terlalu banyak dosen LB karena akan membebani anggaran fakultas,” pungkasnya.

Liputan ini telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 121 spesial Magang.

Penulis: Heny Mustari/ Rahmat Hidayat

Editor: Irham Syahril

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami