Oleh : Muh Zulkifly
Masyarakat Bugis-Makassar digolongkan dalam rumpun ras Austronesia yakni Deutro Melayu atau Melayu Muda yang bermigrasi dari Yunan menuju pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi bagian selatan. Masyarakat Bugis-Makassar merupakan dua suku yang berbeda namun memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dan memiliki akar kesamaan bahasa, budaya, dan sejarahnya.Â
Kesamaan bahasa Bugis dengan Makassar sekitar empat puluh persen. Namun, ketika terjadi komunikasi dari dua pihak maka keduanya tidak dapat saling memahami dalam komunikasinya (Mills, “Proto South Sulawesi”: 492). Juga kesamaan aksara Bugis-Makassar yakni lontaraq yang dimiliki oleh keduanya.Â
Berkaitan dengan kebudayaan yang ada di Masyarakat Bugis-Makassar, yang masih hidup sampai hari ini ialah doi panai (Makassar) dan dui menre (Bugis). Istilah ini lebih dikenal khalayak ramai sebagai uang panai.
Sejarahnya, dalam Perang Makassar pada abad 17, Sultan Hasanuddin mempertahankan kekuasaannya dari serangan musuh atas dasar Siri‘ dan Pacce. Orang Makassar dan Arung Palakka mengangkat senjata untuk membebaskan negerinya dari penjajahan dan memulihkan Siri dan PĂ©sse orang Bugis.
Sejarah Pernikahan dan Panai
Untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi, manusia berpikir untuk menjaga hidupnya dari kerasnya kehidupan di bumi. Caranya dengan melakukan hubungan seksual agar ia mendapatkan keturunan sehingga dapat memperkuat kedudukan di kehidupan. Hubungan ini dilegalkan oleh pernikahan yang dilakukan secara resmi baik dari segi hukum, agama, dan adat.Â
Begitu Pula masyarakat Bugis-Makassar. Mereka menghadirkan sebuah pola kebudayaan yang dalam mengatur kehidupan sosial, hukum, hingga kepercayaan religi dalam kehidupannya. Pernikahan dalam masyarakat Bugis disebut dengan siala (mengambil satu sama lain) sehingga pihak perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam rumah tangga, sebelum melaksanakan pernikahan masyarakat Bugis-Makassar mempunyai beberapa serangkaian acara atau kegiatan sebelum melaksanakan akad nikah, salah satunya mengantar uang panai.
Jika ditelisik historis dari uang panai ini, merupakan kebiasaan kalangan bangsawan yang ada di tanah Bugis-Makassar sebelum mereka memeluk agama Islam. Kegiatan dilakukan dengan memberikan seserahan kepada pihak keluarga perempuan.Â
Nilai uang panai pada zaman dahulu sama halnya dengan sompa (mahar) yang secara harfiah berarti “persembahan”. Mahar ini berbeda dengan mahar yang ada dalam Islam. Kalau di dalam Islam, mahar itu berupa properti-properti, sedangkan sompa ini berupa sejumlah uang rella‘ ataupun ringgit dengan menyesuaikan status perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Pada masa-masa berikutnya, tradisi kalangan bangsawan ini diadopsi hampir di semua kalangan masyarakat Bugis-Makassar ketika hendak melaksanakan pernikahan.
Dewasa ini, uang panai kemudian mengalami pergeseran nilai atau berevolusi menjadi lahan dagang. Seolah-olah perempuan ini merupakan komoditas yang sangat berharga nilainya. Pihak keluarga perempuan biasanya menganggap derajatnya akan bertambah jika uang panai yang berikan kepada anaknya berjumlah banyak sehingga merasakan suatu pencapaian tersendiri (prestise).
Tentu ini sudah melenceng jauh dari maksud leluhur masyarakat Bugis-Makassar menciptakan tradisi ini sebagai bentuk penghormatan kepada seorang wanita. Ditambah lagi, peran media sosial yang digunakan untuk mengunggah persoalan uang panai ini seolah-olah menetapkan besaran uang panai tergantung tingkat pendidikan dan kekayaan wanita yang akan dilamar. Sehingga lelaki kurang percaya diri untuk melamar pujaan hatinya. Lelaki takut ditolak karena kecilnya uang panai yang ia berikan.Â
Seharusnya, pemberian uang panai ini didasarkan pada kemampuan untuk menikah seorang pria dan mampu menafkahi istrinya di kemudian hari. Hal yang perlu diperhatikan bahwasanya maharlah yang menjadi syarat sahnya suatu pernikahan karena mayoritas masyarakat Bugis-Makassar telah menjadi muslim. Uang panai ini merupakan uang belanja yang diserahkan untuk mengadakan pesta pernikahan.
*Penulis merupakan mahasiswa semester V Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar