Sehari Semalam

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Washilah-Rahmat Hidayat

Oleh : Male’bi Salsabila

“Bangun Nak, sholat subuh,” ucap Mama. Cuaca subuh sangat dingin dan langit masih gelap. K ulanjut dengan segera bangkit untuk berwudhu dan sholat berjamaah di masjid. 

Pukul 07.00 aku mengendarai motor dengan terburu-buru, motorku melaju sangat cepat, mendahului motor dan mobil, berusaha agar tidak terlambat, tapi jalanan sangat macet, mobil dan motor berserakan sepanjang jalan. 

Kulihat seorang laki-laki terbaring tidak sadarkan diri di tengah jalan. Kakinya tergores, kepala dan badannya ditutup. Aku merasa kasihan kepadanya. “Kok gak ada yang angkat,” ucapku dalam hati. Banyak orang yang mengerumuni dan menunggu kedatangan polisi. 

Semua orang membicarakan kecelakaan tersebut, laki-laki yang terbaring itu meninggal dunia tidak bisa terselamatkan karena terdapat luka bagian kepala, tak henti-hentinya keluar darah hingga polisi datang dan menyelidiki kejadian tersebut. Tiba-tiba terdengar suara ambulans, datang dan mengangkut korban kecelakaan ke rumah sakit. 

Setiba di pusat perbelanjaan, tiba-tiba suara getaran nada dering mulai terdengar dari dalam tas, segera kuambil benda kotak merah muda lalu kuangkat telepon dari nomor yang tidak kukenal “Asalamualaikum, mau dijemput di mana dek?” Tanya sopir mobil. 

Sesaat aku termenung dengan pertanyaan itu. Aku masih ragu untuk mengiyakan akan pergi atau tidak. “Waalaikumussalam, mohon maaf Pak, aku tidak jadi berangkat hari ini, aku masih di luar rumah dan belum menyiapkan pakaian yang akan kubawa,” alasanku untuk menolak pergi. 

Belum lama kubatalkan sopir yang tadi, menelpon sopir yang lain tapi semuanya kutolak.  

Setelah kejadian itu, Ibu Rina marah lalu berkata, “Kenapa kamu batal untuk berangkat padahal saya sudah susah carikan mobil tapi kamu tolak”. Ibu Rina orang yang tegas, beliau ibu pondok yang membina dan mengajari anak-anak. 

Aku mulai panik, takut Ibu Rina marah dengan perilaku yang kurang ajar. “Maaf Ibu, aku belum sampai di rumah, makanya aku batalkan dan semua pakaian belum kumasukkan ke koper,” ucapku dengan perasaan takut. 

Aku merasa bersalah karena membatalkan sopir-sopir itu, aku pikir bisa berangkat besok tapi Ibu Rina tidak mengizinkanku untuk pergi besok. “Hari ini terakhir pemberangkatan karena besoknya sudah mulai belajar,” ucap Ibu Rina marah. 

Akhirnya kucoba minta izin kembali dengan menangis di hadapan Mama berharap agar diizinkan. “Aku harus berangkat malam ini Mama, Ibu Rina sudah menyuruh sopir untuk menjemputku tapi aku tolak, izinkan aku untuk berangkat malam ini Mama,” ucapku dengan suara merengek-rengek.

Mama khawatir kalo aku pergi ke kota. Karena baru kali ini aku pergi ke kota sendirian. “Bagaimana kalo terjadi sesuatu di jalanan Nak? Mama takut terjadi sesuatu padamu,” ucap mama.  

Mama sangat menyayangiku tapi baru kali ini bersikeras untuk tidak mengizinkanku. “Tidak usah berangkat Nak, siapa nanti yang bantu-bantu Mama di rumah,” ucap Mama yang buat aku makin bersedih. 

Sejak kecil semua permintaanku dikabulkan Mama dan Papa. Aku akan menangis dan mengamuk jika tidak diikuti permintaanku. “Pokoknya aku harus berangkat malam ini,” ucapku melawan Mama Papa dengan sifat keras kepala.

Bergegas ke kamar lalu kubereskan semua pakaianku. Setelah semuanya beres, kutelepon sopir untuk menjemputku pukul 08.00 malam. Ini adalah hal pertama dalam hidupku berangkat malam-malam dengan sopir yang tidak kukenal. Tapi aku harus optimis, dengan niat baik Insya Allah akan ada jalannya. 

Aku duduk di ruang tamu, tiba-tiba muncul suara klakson mobil, aku melihat mobil merah yang mirip mobil pribadi yang memiliki lima kursi saja tidak seperti mobil sewa pada umumnya. 

Karena waktu sudah molor, aku bergegas pergi untuk meninggalkan orangtuaku ke kota. Aku pamitan dengan mama papa meskipun mereka tidak setuju aku pergi. Mataku mulai berkaca-kaca menahan agar tidak ada setetes air mata yang jatuh. 

Tiba-tiba muncul sosok laki-laki yang keluar dari dalam mobil, “Yang mana barangnya dek?” Tanya seorang sopir dengan rambut gondrong, kurus, dan berkumis. Aku kaget melihat style sopir itu seperti preman, “Yang ini Pak,” kataku sambil menunjuk koper warna biru. 

Setelah barang selesai diangkut, aku masuk mobil. Dengan suara pelan, aku mengucap “Bismillahirrahmanirrahim.”

Kubuka kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Mama Papa berusaha menahan air mata yang hampir saja menetes. “Dadah Mama, Papa,” teriakku dengan suara lirih. Orangtuaku pasti merasa sepi di rumah setelah aku pergi. 

Setelah beberapa jauh dari rumah, aku pikir akan banyak penumpang selain aku, karena dia bilang ada penumpang lain yang ingin dijemput tapi aku penumpang satu-satunya yang ada di mobil. “Kita berangkat berdua saja ya, soalnya bapak yang tadi tidak jadi berangkat,” ucap sopir yang memandang ke cermin untuk melihatku. 

Aku mulai merasa takut. Pikiran yang tidak-tidak menghantuiku. Aku takut jika dia memperkosa dan membunuhku lalu membuangku ke jurang. 

“Iya gak papa pak,” ucapku dengan penuh berani.

Malam yang panjang, mataku rasanya ingin istirahat, badanku ingin diluruskan. Rasa was-was belum juga hilang, di jalanan yang sepi, gelap, dan berdua saja dalam mobil. 

Waktu menunjukkan pukul 02.00 malam dan aku tak kunjung sampai, perjalanan yang panjang dengan ketakutan hebat. Mobil melaju sangat kencang, 120km/jam. Tidak ada lampu jalan dan tidak ada satu pun rumah. Mobil atau motor yang lain pun tidak ada. Aku tidak tahu ada di mana sekarang. Seketika aku menangis meminta tolong, “Tolong aku, tolong aku. Mama. Papa. Tolong aku,” teriakku kencang. 

Tapi tidak satu pun yang mendengarkan teriakanku. Lalu sopir itu berhenti di pinggir hutan, tak ada orang lain di sana. Sepi dan gelap. “Kamu mau ngapain, jangan mendekat. Tolong, tolong,” ucapku dengan takut. 

Sopir itu mulai mengeluarkan pisau ingin membunuhku dan membuangku ke jurang. 

Tiba-tiba suara mobil polisi terdengar. Polisi menangkap sopir itu. Mama dan Papa memanggilku, “Anakku, kamu tidak apa-apa?,” ucap Mama sambil memelukku. Aku menyesal “Maafkan aku, Mama. Papa. Tidak mendengar kalian,” ucapku terkahir kalinya. 

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami