Oleh: NurwahdaniaÂ
Diana, seorang gadis berusia 20 tahun. Matanya indah dengan senyum yang merekah sempurna. Sosok yang terkenal riang dan selalu gembira, seakan tak punya beban bahkan sedikitpun.
Memang, di usia yang sudah mulai memasuki masa ranum. Seseorang hanya butuh uang yang berlimpah, pasangan yang menetap, dan dukungan dari keluarga- terkhususnya orang tua.
Diana berhasil mendapatkan semua itu. Di saat kebanyakan temannya harus bekerja paruh waktu untuk biaya sehari – hari, dia hanya tinggal menunggu transferan uang bulanan dari orang tuanya. Tentu saja hal itu berhasil membuat teman – teman terdekatnya menganggap hidup Diana 90% sempurna.
“Enak juga ya jadi kamu. Punya pacar ganteng, uangmu unlimited, keluargamu juga support banget ke kamu,” pungkas Sulis, salah satu teman dekat Diana.
Mendengar celetuk Sulis, Diana hanya meresponnya dengan senyum tipis. Seolah ingin mengoreksi apa yang barusan Sulis katakan.
Tentu saja, Sulis bukan orang pertama yang berkata demikian. Hampir semua orang yang dekat dengan Diana pernah menyampaikan hal serupa padanya.
“Cukup sudah! aku sudah lelah bersandiwara,” ucap Diana dalam hati sembari menggelengkan kepalanya kuat – kuat.
Semua pujian yang didapatkan Diana selama ini ternyata mengganggu pikirannya. Sekian lama perasaan dilema membuat Diana tidur lebih larut dan makan lebih sedikit. Ya ! ada sesuatu yang disembunyikan Diana. Di balik keceriaan yang selama ini ditunjukkannya.
Hari itu, Diana memutuskan untuk menceritakan hal yang selama ini dipendamnya sendiri kepada teman – teman terdekatnya.
Tidak ada niat untuk dikasihani, tidak pula butuh solusi. Diana hanya ingin meluruskan dugaan teman – temannya selama ini. Dugaan tentang hidupnya yang katanya ‘sempurna’.
Seperti biasa, Diana dan teman – temannya pasti akan berkumpul terlebih dahulu di depan kelas sebelum dosen datang.
“Selama ini kalian salah. Hidupku tidak
sesempurna itu. Aku tidak seberuntung yang kalian kira. Orang tuaku tidak sepeduli dan sesayang itu padaku, mereka memang memenuhi tugasnya untuk membiayai kuliahku. Namun, kasih sayang dan support yang kalian kira cukup itu, tidak sedikitpun aku dapatkan dari mereka,” tegas Diana tanpa basa – basi.
Deg… Seketika rasa bersalah bercampur bingung menyelimuti teman – teman Diana.
Siapa sangka, ternyata Diana hanyalah seseorang yang sedang berjuang agar terus bisa berdiri menghadang ombak kehidupan yang semakin kencang menerpa.
Tidak ada yang menyangka bahwa satu hal itu yang ternyata kurang dari kehidupan Diana. Satu hal yang berhasil membuatnya merasa hilang semangat dan berhasil meruntuhkan tumpuannya.
Selama ini, gadis riang itu hanya mempertontonkan senyum dan tawa palsu saja ternyata. Ada banyak luka dan rasa pedih yang dia sembunyikan dalam hatinya. Diana lupa cara bahagia. Liupa cara tersenyum dengan tulus.
Cita – cita adalah alasan tunggal Diana untuk tetap bertahan di tengah berisiknya bisikan di kepala yang menyuruhnya untuk menyerah sampai disini saja. Dengan sisa – sisa semangat yang ada, Diana tetap berusaha hidup dengan sebaik mungkin. Tetap berusaha menguatkan diri walau hanya bertumpu dengan satu kaki.
*Penulis merupakan Mahasiswi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.