Oleh : Iis Noor
Sore kian luruh. Jingga menguap menutupi segala ruang dan waktu. Riuh suara azan magrib penuhi langit yang membentang di sepanjang area kepulauan. Debur ombak hilir mudik menuju tepi. Pasangnya, menggenapi pasir yang penuh dengan karang. Perahu nelayan bolak-balik menuju tepian membawa hasil tangkapan. Matahari membenamkan diri tepat di arah barat bergantian dengan rembulan. Merangkai takjub dari mata perempuan perkotaan dan rombongan penumpang. Baru saja, perahu yang Ia tumpangi menepi di bibir pantai. Ia tak tau akan melakukan apa di tempat ini. Hanya saja, dengan kepenatan khas pemudi perkotaan, ia sedang merasa bosan. Puncaknya, ia putuskan untuk mengambil jeda sejenak dari tuntutan pekerjaan.
“Bu, besok saya ingin ke pulau. Mohon restu Ibu dan Bapak,” pesannya malam sebelumnya.
“Mau melakukan apa di sana Nak? Dengan siapa? Berapa lama?” Deret tanya itu menggema dari balik speaker handphone yang ia punya. Ia paham, khawatir dari ibunya begitu berlebih. Apalagi ia sendiri sejak kecil terlahir sebagai perempuan. Ia paham betul dengan maksud Ibu. Tak ingin kedua orangtuanya waswas, ia dengan segala peduli yang penuh pada khawatir Ibu, berusaha untuk menyakinkan. Apalagi ia pun tak tau akan melakukan apa di tempat yang akan ia kunjungi. Ia hanya tahu, pulau itu menarik simpatinya. Tak seperti kebanyakan pelancong, kedatangannya di tempat ini tak pernah ia pikirkan secara matang. Pasalnya bukan syahwat liburannya yang ingin ia tunaikan. Samar-samar dari perasaan yang menggantungi hidupnya kini, membuatnya penat dalam segala hiruk pikuk perkotaan.
“Ini pekerjaan kantor Bu, ijinkan yah Bu?” Ucapnya lirih.
Ia tak pernah berani untuk berterus terang pada kedua orangtuanya, khususnya pada Ibu. Sejak tiga bulan lalu, ia memutuskan untuk resign dari tempat kerja. Bukan karena gaji yang jadi soal. Hanya saja, pekerjaan telah begitu mengatur ritme hidupnya dengan segala kemonotonan. Bahkan ketika ditanyai kekasihnya, ia hanya akan menjawab “Saya hanya lelah dan bosan”. Kekasihnya pun tak mampu membuatnya jujur atas kondisi yang sedang ia alami. Beragam spekulan pun muncul di benak lelakinya. Mulai dari bos yang galak, kawan sekerja yang toxic maupun waktu kerja yang begitu banyak dengan upah yang tidak seberapa. Tetapi wanita ini pun selalu berusaha menyakinkan kekasihnya agar tidak khawatir dengan keputusannya.
“Saya hanya butuh jeda, Sal,” jawabnya.
*****
“Ini namanya Pulau apa?” Tanya perempuan itu setelah kapal yang ia tumpangi mendaratkan diri.
“Pulau Tanakeke Dek,” jawab pengemudi kapal.
Jemari lelaki parubaya ini sedang sibuk membereskan barang-barang yang dibawa para penumpang. Tampak dari guratan wajah dengan bekas luka jahitan di kening, mungkin akan membuat takut orang yang melihatnya. Tubuh kokoh dengan kumis dan jenggot terurai yang tak terurus. Apalagi dengan rambut ikal yang sudah beruban. Tampak, sorot matanya yang tajam dapat melunakkan siapa saja yang berbalas pandang dengannya.
“Adek akan berapa lama disini?” Tanya Bapak itu.
“Maaf, Pak. Saya tak tahu. Mungkin beberap hari. Seminggu mungkin.”
“Kalau adek tak tahu harus tinggal di mana, saya punya kakak di sini. Mungkin adek bisa tinggal di rumahnya. Ia juga suka kalau ada yang bisa temani kesendiriannya,” ucap bapak itu.
“Terima kasih, Pak. Sebenarnya saya juga tidak tau harus melakukan apa di sini. Apalagi keberangkatan saya hanya bermodalkan tawaran dari teman. Awalnya saya mendapat tawaran darinya, tapi hari ini katanya dia harus kembali ke kampung halaman. Salah satu kakaknya dilarikan ke rumah sakit karena sakitnya sedang kambuh”.
Ia menjawab sekenanya. Tahu betul apa yang ia sampaikan barusan akan menambah banyak pertanyaan susulan. Apalagi jawaban tadi belum sepenuhnya ia pertimbangkan.
“Menjawab seperlunya, bertanya seadanya,” rapalnya mengingatkan diri.
“Tolong Pak, mungkin saya bisa diantarkan ke rumah saudaranya,” ucapnya.
“Tunggu yah Dek, sebentar lagi selesai”.
Jemari Bapak itu masih sibuk membereskan barang-barang penumpang. Setelah menerima uang sewa kapal dari lima orang penumpang, ia bergegas melangkah menuju pondok kecil, tempat tunggu perempuan yang tidak ia kenali sama sekali.
“Mari Dek,” ajaknya.
Langkah demi langkah meninggalkan bekas jejak di tanah berpasir pulau. Beberapa setapak jalan tampak berisi paving block sebagai penghubung antar warga yang berumah tinggal di pulau ini. Hamparan pohon kelapa dengan gemulai gerak daunnya tertiup angin timur. Sapi maupun ayam ternak yang sedang menggaruk tanah menjadi ritme khas kampung yang susah diimbangi kota. Ia pun kini terhanyut atas setiap kata yang disampaikan kawan berjalannya. Sembari berjalan, banyak hal yang mereka bicarakan. Selain perkenalan singkat, kampung asal, atau tentang pekerjaan. Bapak si Pengemudi kapal, mungkin sudah berkali-kali mendapatkan penumpang dari berbagai rupa dan kebudayaan. Hal itu tampak dari tutur bahasa nasional yang cukup cakap. Padahal biasanya sangat jarang dikuasai oleh warga Indonesia. Apalagi dengan ia yang sudah berusia lanjut.
“Saya dulu, cukup lama di Malaysia. Pulang ke sini karena berurusan dengan polisi di sana. Waktu itu saya kena lapor. Dilapor teman sendiri. Saya marah, ia kena tonjok. Pelipisnya memar dan giginya copot empat,” urai bapak tua sambil tertawa.
“Kenapa Bapak pukul temannya?”
“Yah begitulah. Sama-sama dari Sulawesi malah membahayakan nasib sesama di perantauan. Tapi itu dulu Dek, waktu saya masih muda”.
Sembari menyelesaikan perkataannya, tampak asap rokok mengepul hebat di bibir hitamnya. Satu, dua, tiga kali isap menipiskan jarak antara tembakau dan filter rokok. Beberapa orang tampak memperhatikan mereka selama di perjalanan. Tetiba, bapak itu menghentikan langkah. Di hadapan keduanya, tampak rumah panggung kecil dengan jumlah anak tangga kurang dari sepuluh. Kiri kanannya rumah-rumah saling terhubung dari bentang kabel listrik yang energinya didapat dari panel surya. Perempuan tadi berusaha mengingat informasi yang dibagikan oleh bapak si pengemudi kapal.
“Hayati, Hayati, Hayati,” teriak sang bapak pada penghuni rumah.
Lamunan perempuan tadi tersita perbincangan dua orangtua di hadapannya. Ia masih berusaha menggali maksud obrolan keduanya yang sedang berdialek daerah. Tak berselang lama, Hayati, sang pemilik rumah mengisyaratkan ajakan padanya untuk naik ke atas rumah. Sebelum naik, ia berterima kasih dengan si bapak atas bantuannya. Ia pun menaiki anak tangga satu per satu. Berusaha mengikuti Hayati dari belakang. Ia pun dipersilahkan menaruh tas bawaannya di atas ranjang yang berada persis di ruang tamu.
“Siapa namanya Nak?” Ucap Hayati.
“Nama saya Ica. Dari Kota M. Maaf karena harus menyulitkan Nenek. Ehh, maaf saya mungkin akan senang kalau Ibu tidak menolak bila saya panggil Nenek,” pintanya.
“Tidak apa Nak. Saya juga sudah tua kan,” Hayati lantas tertawa. Mendengar itu, Ica tersipu.
Terdapat tiga lemari yang saling himpit berada persis di sisi tengah rumah. Menurut Hayati, Ia sengaja meletakkan posisi lemarinya di situ agar ada dinding pemisah antara ruang tamu dan dapur. Baginya, rumahnya sudah sangat nyaman untuk tinggal meski terbilang kecil. Apalagi setelah suaminya dikebumikan rentang waktu 1970-an. Sejak saat itu, Ia tinggal diatas area lahan seluas 20×7 m2 yang dibelinya sekitar tujuh jutaan. Meskipun pernah tinggal berdagang dan menetap lama di Kota M bersama sang Suami. Baginya tempat ternyaman untuk pulang adalah tanah kelahiran. Apalagi setelah menjanda di usia yang masih terbilang muda, Ia putuskan untuk tidak membagi cinta dengan lekaki manapun. Meskipun dari pengakuannya, sebanyak lima pria yang saat itu meminangnya untuk menjadi istri. Tetapi ia menolak dan memilih menjanda dan tinggal seorang diri.
Setelah beberapa waktu saling berbagi kisah, tak terasa malam kian temaram. Bintang gemintang tampak acak di atas langit pulau. Cahaya rembulan ikut mengundang suara jangkrik yang saling sahut-menyahut satu sama lain. Suara perut lapar Ica menggumam memberi jeda obrolan yang dilakukan dua perempuan malam itu. Hayati pun berdiri dari duduk yang sejak pukul tujuh tadi ia lakoni. Gerak langkahnya bolak-balik membawahi perabot makan berisi lauk-pauk. Setelahnya, Ica dipersilahkan untuk mencicipi kerang yang terasa lengkap bercampur kelapa parut. Selain itu, Ica begitu lahap menyantap kepiting rebus yang tersaji. Tak lupa, untuk memberi sensasi rasa berbeda, Hayati menyediakan tumisan sambal berbahan dasar cabe. Saking lahapnya, Ica beberapa kali meminta untuk menambah nasi. Hayati pun senang, perempuan remaja di hadapannya menyukai buah tangannya.
“Silahkan Nak. Jangan malu-malu. Kalau malu di kampung orang, bisa saja kita akan mati,” pesan Hayati.
*****
Setelah obrolan panjang, kedua perempuan ini menutup malam. Seisi pulau digenapi cahaya bulan. Aliran listrik dari mesin diesel baru saja dimatikan. Tepat pukul sepuluh, Hayati memberi tugas pada Ica untuk menyalakan pelita dengan korek api. Suara jangkrik, suara daun pohon yang dihempas angin timur, riuh suara debur ombak pasang mengisi rongga telinga Ica. Dua bola matanya masih sibuk mengamati api pelita. Apinya tak mati. Meskipun harus berusaha menyelamatkan diri dari terpaan angin. Api itu menolak padam. Angin pun tak henti masuk dan keluar dari jendela yang hanya ditutupi kain tanpa kaca. Semakin diperhatikan, Ica kian larut dalam lamunannya. Seluruh tanya di kepalanya tentang kehidupan perlahan mulai dalam Ia resapi. Tentang orangtua. Tentang kekasih. Tentang pekerjaan. Tentang perkawinan. Tentang masa depan. Semuanya tentang kehidupan.
“Ada apa denganmu?” Tanyanya pada diri sendiri.
Lusinan tanya membuatnya kian larut. Dua buah matanya, mengalirkan air. Deras tapi tidak berisak. Matanya kini sembap dipenuhi mimpi-mimpi yang belum juga mewujud.
“Ada apa, Nak? Kenapa menangis?” Tanya Hayati ingin memastikan.
“Tidak Nek. Mata saya kemasukan debu sejak di pelabuhan. Gatalnya masih terasa,” tegas Ica berusaha menyakinkan.
“Sudah larut, Nak. Tidurlah. Besok saja berceritanya”.
“Iya, Nek. Terima kasih”.
Ica masih saja berusaha terbebas dari beban pikiran. Ia masih fokus mengamati api pelita yang berada tepat di sebelah kirinya. Sementara, Hayati mendengkur pulas di dapur yang ia sulap sebagai ruang tidur. Bayang asap obat nyamuk menguap menunggui nyamuk-nyamuk yang cukup nakal. Sesekali menggigiti kulit Ica. Apalagi tak seperti biasanya, Ica sengaja tak memberi nutrisi bagi kulitnya dengan sepaket bahan kecantikan yang dihadiahi kekasihnya. Baginya, nyamuk adalah pelengkap malam ini. Jilbab yang Ia kenakan sejak di Pelabuhan, sengaja Ia lepas. Tak lupa mengurai rambut gelombangnya di bantal empuk berisi kapuk. Sesekali Ia berusaha mengingat apa saja yang bisa membuatnya tersenyum. Matanya begitu tak disiplin. Berkali-kali ditahan, air matanya masih terus mengalir di pipi. Ica tak tahu harus melakukan apa. Tak ingin memberi kabar dengan siapa pun.
Sudah berjam-jam terlewatkan. Ica belum bisa tidur karena pikiran yang tak kunjung tunduk. Berkali-kali ia memaksa diri. Semakin dipaksa, pikirannya kian mengurai banyak hal. Tak tahu harus berbuat apa. Ia putuskan untuk mengambil obat tidur yang dibawanya. Setelah meminum obat, pukul setengah empat subuh, ia kembali berbaring persis menghadapkan pandang dengan pelita. Meski telah berjam-jam, apinya tak kunjung padam. Ica masih berusaha mengurai maksud dunia. Maksud kedua matanya yang tak henti mengamati api. Maksud pikirannya yang belum bisa beristirahat. Maksud jejak langkah yang mengantarnya ke pulau. Semuanya rumit. Semuanya membingungkan. Semuanya. Semuanya.
*****
Pukul Sembilan pagi, Ica terbangun. Baru saja, ia terbangun karena tawa dan obrolan pagi yang sedang berlangsung tepat di bawah rumah Hayati. Setelah mengumpulkan energi beberapa menit, Ica berusaha bangkit dari pembaringan. Merapikan bantal. Melipat sarung yang melindungi dirinya dari dingin dan nyamuk malam. Tak lupa, ia kembali mengenakan jilbab.
“Sudah bangun Nak?” Tanya Hayati, berusaha memastikan.
“Maaf Nek. Saya telat bangun. Nenek sedang apa?”
Ica menjejakkan langkah demi langkah mengikuti Hayati menuju dapur. Aroma masakan dari wajan membuat Ica berselera. Di atasnya, tampak tumisan kangkung. Di sebelah wajan, ikan goreng siap santap menunggu mulut yang lapar. Di atas tungku, wajan tanah liat sedang menghitamkan bebijian kopi. Kepulang asap dari kayu bakar memenuhi dapur.
“Ica suka kopi kan?” Tanya Nenek.
“Iya, Nek. Saya suka. Saya bisa buat sendiri Nek?”
“Tidak usah Nak. Saya sudah sediakan kopi buatan khas racikan orangtua. Ica harus coba,” larang Nenek disertai tawa keduanya.
“Kopi khas Cap Assung untuk Ica yang suka sedih,” tawar Nenek dengan nada yang bercanda.
“Coba yah. Semoga rasa kopinya pas denganmu,” lanjutnya.
Setelah memberi komentar untuk kopi berasa khas buatan Hayati, Ica melanjutkan obrolan panjang dengannya. Pagi ini banyak hal yang keduanya bincangkan. Tentang asal-usul Hayati. Tentang pilihan tinggal di pulau. Tentang peninggalan Belanda berupa meriam. Tentang masa muda Hayati. Juga tentang pertemuan suami dengan dirinya. Ica larut dalam obrolan itu. Sesekali Hayati harus meraih kain daster yang dikenakannya untuk mengelap air mata. Entah karena kepulan asap atau karena renungan panjang yang membuatnya ingat pada kenangan bersama suami.
Ica hanya bisa bersyukur jejak langkah mengantar dirinya bertemu dengan Hayati. Sosok perempuan yang di masa muda hingga tuanya harus ia lewatkan seorang diri. Sosok yang hebat karena dapat melakukan segala hal meskipun tinggal seorang diri. Sosok perempuan mandiri yang menahan diri dari belas kasih laki-laki. Sosok tangguh yang tidak menunggu dikasihani. Bagi Hayati, hidup harus disyukuri. Seperti namanya, Hayati mungkin berarti menghayati hidup. Meskipun berat, semuanya hanya perlu disyukuri dengan perasaan ikhlas. Tuhan tahu apa yang dilakukan-Nya pada ciptaan-Nya. Tugas manusia hanya perlu berusaha. Entah hanya untuk sekedar melanjutkan hidup. Atau setidaknya dapat berguna bagi manusia lain. Pesan-pesan ini begitu berbekas di relung hati Ica. Ia berusaha mengurai maksud dan rentetan kata per kata yang disampaikan Hayati. Meskipun dengan tutur kata Hayati yang kerapkali bercampur dialek daerah dan bahasa nasional. Bagi Ica, semua ini bukan masalah. Ia hanya perlu menuliskan dengan alat rekam. Berupa fikiran yang berisi kenangan sejuta makna yang Ia dapatkan.
“Jadi apa masalahmu, Nak?”
Tanya itu tetiba mendiamkan Ica. Membuat Ica harus berfikir keras untuk menjawab pertanyaan Hayati. Apalagi dengan kehadirannya yang datang secara tiba-tiba. Minim rencana. Ia pun sendiri tak tau apa yang akan dilakukan di pulau saat ini. Sedikit memberi jeda dan merasa yakin dengan jawaban yang telah Ica fikirkan secara matang, “Saya tidak tahu Nek,” ucapnya lirih.
“Hanya saja, Nenek memberi tahu pada saya bagaimana menjadi seorang perempuan. Terima kasih,” sambungnya.