Oleh: Nabila Rayhan
Deg deg deg.Â
Bunyi detak jantungku kian cepat. Aku sulit bernapas, mencoba meraup sebanyak mungkin udara yang ada. Pandanganku mulai mengabur, air mata seketika tumpah ketika Ibu jatuh di lantai putih nan dingin ini.Â
Pukul 17.09 WITA, dokter berucap Ayahku telah tiada. Mengapa? Hari yang harusnya penuh senyum, mengapa harus jadi duka? Tolong, kumohon bangunkan aku dari mimpi ini! Dengan langkah gemetar kuhampiri Ibu, memeluknya erat meraih sisa-sisa kesadaran ini. Ada kalanya aku mengambil secarik tisu lalu ku seka air matanya.Â
Semua berawal dari kepergian sosok cinta pertama seorang anak, yaitu Ayah. Tuhan memanggil Ayah saat aku berada di umur yang dinanti-nantikan remaja lainnya. Ayah divonis mengidap penyakit diabetes, kejamnya penyakit itu menggerogoti hampir seluruh bagian tubuh ayah.
Sedih yang tak berujung kurasakan, dunia seakan ruang hampa bagiku. Khawatir, bagaimana aku bisa melanjutkan pendidikan, sedangkan aku sudah kehilangan tulang punggung dalam keluargaku. Aku tidak bisa berharap banyak pada Ibu yang hanya kerja serabutan.
Setahun lagi masa putih abu-abuku usai, dengan segala macam romansa pertemanan, persahabatan, bahkan percintaan. Semuanya dirangkum menjadi kisah kasih yang sulit kulupakan. Dari sekelumit kisah-kisah indah yang kulewatkan, ada satu hal yang bersarang di pikiranku dan membuatku terganggu. Aku berpikir, bisakah seorang anak yatim melanjutkan pendidikan dan meraih mimpi menjadi sarjana?Â
Hari berganti tahun dengan begitu cepat. Di tahun 2017 semua siswa berlomba-lomba mendaftarkan diri pada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Aku pun begitu, dengan segera aku menyiapkan seluruh data yang diminta untuk mendaftarkan diri pada seleksi itu.
 Tanggal 8 April 2017, menjadi hari paling menegangkan, karena hari itu menjadi penentu ku melanjutkan pendidikan atau tidak. Dengan rasa takut, aku segera melihat pengumuman dengan segala doa yang kupanjatkan di sepertiga malamku menjadi nyata. Dan ya, ternyata benar, aku lolos pada seleksi yang diidam-idamkan seluruh siswa itu.
“Ibu, aku lolos SNMPTN,” ucapku dengan bangga.
“Alhamdulillah Nak,” kata Ibu sambil tersenyum tipis.Â
Bisikan mulai terdengar, takut Ibu bersikeras berpikir masalah biaya kuliahku. Hampir menyerah sebelum bertarung.
“Bu, Risa gak usah kuliah ya. Biaya kuliah mahal. Lebih baik Risa bantu cari nafkah,” ucapku.
“Jangan Nak, kalau kamu tidak kuliah malah tambah buruk keluarga kita.Yakin saja, akan ada saja rejeki yang beriringan datang menghampirimu,” katanya dengan suara bergetar.
Dua bulan berlalu, waktu yang singkat. Tiba saatnya tempat paling nyaman harus kutinggalkan. Rela jauh dari orang-orang yang kusayangi. Ibu menatapku dengan mata tuanya yang teduh, terekam dengan jelas saat Ibu dengan tangannya mengepal lalu menggenggam tanganku.
“Jaga diri baik-baik Nak, kamu kuliah di sana buat menuntut ilmu. Kita bukan orang berada, yang bisa diandalkan hanya otak. Jangan suka ikut-ikutan sama orang lain,” ucap Ibu dengan suara lirih.
“Iya Bu, mohon restunya. Doakan anak Ibu supaya dalam lindungan Tuhan ya Bu,” kataku.
“Aamiin Nak, Ibu selalu panjatkan doa untukmu,” kata Ibu dengan penuh harap.
“Bu, Risa berangkat ya,” ucapku lalu masuk ke bus.
Kubuka kepalan tangan, uang yang Ibu titipkan sebagai bekal hasil jerih payahnya. Jendela mobil kubuka lalu kulambaikan tangan tanda perpisahan hari itu dengan Ibuku.
“Bu, Risa janji bakalan jadi orang Bu. Biar bisa buat Ibu bangga,” batinku.
Aku berkuliah di luar kota. Di perantauan, Ibu selalu berpesan kepadaku agar bisa menjaga diri. Proses perkuliahanku diwarnai dengan berbagai macam kondisi, hiruk pikuk perkotaan membuatku tidak terbiasa selama hidup di kota. Gaya nyentrik teman-temanku yang buatku juga sulit bergaul dengan mereka. Aku jadi mengerti, mengapa Ibu selalu berpesan untuk menjaga diri di rumah orang.Â
Hari berganti hari, banyak peluh derita yang kuhadapi, hingga pahit manis yang harus kunikmati demi sekantong harapan yang harus kubawa pulang di desa tempat lahirku.
Di bulan pertama perkuliahanku, Ibu selalu mengirimi sejumlah uang dari hasil jerih payahnya. Karena jumlahnya tidak banyak aku menuntut diri agar selalu hemat. Kasihan Ibu harus menapaki jalan demi jalan demi selembar uang.Â
Di bulan kedua, ketiga, dan bulan-bulan berikutnya, Ibu kembali mengirimi sejumlah uang. Anehnya, aku baru sadar, setiap uang yang dikirimnya selalu berakhir angka 77. Entah itu 77 ribu, 177 ribu atau bahkan 377 ribu. Bayang-bayang penasaran menghantuiku.
“Ada apa dengan angka 77?”Â
Selanjutnya, kejanggalan kembali terjadi, bulan-bulan berikutnya Ibu kembali mengirimi uang masih dengan angka 77 di akhir. Tapi aku mencoba mengendalikan pikiran akan hal itu.Â
“Ahh, mungkin itu hanya kebetulan saja,” kataku.
Empat tahun berlalu begitu cepat. Menjadi mahasiswa akhir memang melelahkan. Jatuh bangun, keringat terkuras habis hingga air mata menjadi bagian dari cerita pendidikanku. Sampai saat masa yang kunanti-nanti untuk pulang bersua rindu dengan keluarga telah tiba.Â
Aku segera bergegas kembali menaiki bus ke kampung halamanku. Di halaman rumah terlihat Ibu yang menanti kehadiranku, rindu yang tak tertahan membuat air mata kembali tumpah. Tangan berselimut keriput yang kurindukan tuk kucium sembari kupeluk erat manusia mulia ini.
“Bagaimana kabar Ibu?” Ucapku berlinang air mata.
“Alhamdulillah Nak. Bagaimana kabar kamu?” kata Ibu dengan suara lirih.
“Alhamdulillah Bu. Risa udah berhasil, Risa jadi sarjana,” kataku.
Lama tak berjumpa, kami larut dalam cerita hingga tak sadar detik sudah berganti jam. Selepas sehari kedatanganku, ingatanku kerap kali tertuju pada gundukan tanah yang ditandai dengan nisan bertuliskan nama Ayahku. Ku hampiri makam itu dan kupanjatkan doa untuknya.
Berat langkah kaki, tapi harus kutinggalkan makam itu. Di perjalanan tak sengaja bertemu sahabat karib Ibu, dia Tante Hafsah. Ibu banyak berbagi cerita dengannya.
“Ehh, Tante Hafsah apa kabar?”
“Ehh, Risa baik Nak. Kamu kapan balik? Bagaimana kuliahmu, lancar?”
“Baru kemarin Tante, Alhamdulillah Risa udah lulus.”
“Alhamdulillah, bersyukur Nak kamu punya ibu seperti Ibumu. Ibumu selalu berharap agar anaknya bisa mattuju-tuju (mencapai tujuan dengan lancar),” kata Tante Hafsah.
“Ha? Apa selama ini makna uang berakhir angka 77 yang selalu dikirim Ibu supaya tujuanku lancar?” batinku.
Aku baru tahu, ternyata di balik kesuksesanku, selama ini ada tangan yang senantiasa menegadah memanjatkan doa. Ternyata doa-doa Ibu selama ini sedang bertarung di langit. Hari ini doa Ibu menjadi pemenangnya. Ya, aku berhasil sarjana, aku seorang sarjana.
*Penulis merupakan Mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.