Surat Cinta Untuk Washilah

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh Muhammad Fauzan

 

Awal Mula

Sore itu hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan di depan rumahku. Nampak langit terlihat mulai gelap disertai suara gemuruh yang sangat mengkhawatirkan. Saat itu aku lagi tidak ada aktivitas, orang bisanya menyebutnya dengan istilah gabut sehingga aku berpikir dan mencari aktivitas apa yang bagus untuk dilakukan di tengah hujan seperti ini.

Setelah beberapa menit diam dan berpikir di dalam kamarku, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di depan teras rumah, menikmati suasana hujan ditemani segelas kopi buatan ibu sambil membaca sebuah buku berjudul “Pers Mahasiswa Indonesia” karya Amir Effendi Siregar, seorang penulis yang berasal dari Jogjakarta, salah satu tokoh pers di Indonesia.

Aku memang sudah sejak lama  memiliki keinginan untuk berkecimpung di dunia Pers Mahasiswa, hanya saja jurusan yang kuambil di kampus bukanlah jurusan Jurnalistik, namun bukan berarti aku tidak bisa menjadi jurnalis kampus.

Tepat satu tahun sebelumnya aku memutuskan untuk mengikuti salah satu UKM di kampus yang bergerak dalam bidang kejurnalistikan yaitu UKM LIMA UIN Alauddin Makassar, dengan Medianya yang biasa dikenal kebanyakan orang dengan nama Washilah. Di dalam buku yang kubaca tadi, aku mendapatkan banyak ilmu tentang kejurnalistikan sehingga membuatku semakin termotivasi untuk menapaki jejakku di garis pers mahasiswa.

Beberapa jam berlalu bersama buku dan kopi buatan ibuku, hujan tidak juga menunjukkan tanda-tanda untuk redah. “Mungkin cuaca hari ini memang belum bersahabat,” ucapku dalam hati sambil melihat kearah langit yang semakin gelap karena waktu juga sudah hampir memasuki waktu Maghrib.

“Bang, sholat maghrib !” teriak ibuku dari dalam rumah. “Iya bu, sebentar lagi” ucapku.

Mendengar teriakan ibu, aku kemudian menutup buku yang kubaca tadi, lalu kemudian meneguk sisa kopi yang tadi ku minum. Setelah itu aku mengambil buku tadi dan menyelipkannya diantara lengan kanan dan badanku, mungkin lebih mudahnya bisa dibilang kuselipkan rapat-rapat di bawah ketiakku dengan posisi tangan kanan mengankat gelas dan tangan kiriku memegang HP, lalu berjalan masuk ke dalam rumah menuju dapur dan kamarku.

 

Sebuah Pesan

Lantunan Adzan berkumandang dengan indahnya, mengetuk hati dan menyejukkan jiwa para insan yang mendengarnya. Aku kemudian mengambil air wudhu dilanjutkan menunaikan ibadah sholat Maghrib secara berjamaah dengan keluarga di Rumahku. Setelah itu aku langsung menuju kamarku, dan langsung merebahkan badan di tempat tidurku, namun saat itu aku belum berniat untuk tidur, hanya ingin berebahan sebentar.

Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terdengar sebuah suara kecil “Ting Nung”, awalnya aku bingung dan belum tau, suara dari mana itu, setelah beberapa detik bangun dan berdiam dengan wajah yang terlihat penasaran dari mana suara itu muncul, tanya aku baru sadar kalau itu adalah suara notifikasi dari HPku. Hahahaha, terdengar goblok memang, tapi yah kan namanya juga manusia, biasa memang tidak sadar dengan hal-hal yang ada di sekitarnya.

Mungkin itu bisa sedikit menjadi pesan moral buat kita bersama. Belum sempat mengambil hpku di atas meja belajarku, suara notifikasi itu terdengar lagi dan terus menerus berkelanjutan berbunyi seakan akan terdengar seperti instrumen musik yang naik turun. Dalam hati aku berkata “Ada apa sih ini, kok tumben banyak notif,” sambil berdiri mendekati HPku dan mengaktifkan layar, lalu mengecek notifikasi pesan yang tadi berbunyi.

Ketika baru saja mengkatifkan layar, tertulis pesan Group WhatsApp Washilah. Karena penasaran, ada pembahasan apa di dalam, aku langsung membuka WA dan terkejut melihat jumlah pesan yang ada di group itu sebanyak 50 pesan, padahal tadi sebelum sholat maghrib aku sempat buka WA masih ingat belum ada pesan atau pembahasan apa-apa di group itu.

Dari pada semakin dibuat penasaran dengan apa yang lagi dibahas didalam group itu, aku langsung buka dan melihat pesan pertama yang belum terbaca. Ternyata sebuah pesan bertuliskan,

“Assalamualaikum wr.wb., Selamat malam kawan-kawan, berhubung milad sebentar lagi dan jatuh pada tanggal 25 Mei, jadi teman-teman buat karya apapun bentuknya terkait pengalamannya di washilah, atau harapnnya untuk washilah di umur 36 tahun,” pesan tertulis dikirim oleh Pelita Nur, salah satu pengurus Washilah bagian Sumber Daya Manusia (SDM).

Setelah pesan itu, aku juga membaca satu persatu bagaimana respon dari teman-teman yang lainnya. Secara keseluruhan, ternyata teman-teman sangat antusias mendengar kabar baik itu, bahkan beberapa diantaranya sudah menyatakan siap untuk membuat karya sesuai bidang peminatan yang ia ambil. Tidak terkecuali aku yang mengambil peminatatan kepenulisan sudah pastinya harus bisa membuat karya tulis sesuai apa yang diharapkan.

Awalnya sempat bingung ingin membuat karya tulis seperti apa, apalagi sejauh ini aku kebanyakan menulis berita jenis straight yah kalau bukan feature. Sebenarnya selain itu aku juga punya sedikit kemampuan lah dalam bidang desain. Ingat yah, sedikit, tidak banyak, masih harus belajar banyak.

“Mau nulis apa yah bagusnya ini ?” bisiku dalam hati.

Saat itu juga tak terasa sudah beberapa menit berpikir dan memang belum dapat ide mau buat tulisan seperti apa nanti. Namun aku tiba-tiba teringat sebuah kalimat “Tulisan yang bagus adalah tulisan yang ditulis dan selesai,” sepertinya aku tidak terlalu ingat siapa yang penah mengucapkan kalimat itu, yang jelas dari situ aku mengambil kesimpulan bahwa yah intinya tulis saja dulu, dan selesaikan kemudian, persoalan dibaca atau tidak yah itu belakangan, tapi yang jelas kalau teman-teman baca kalimat ini berarti teman-teman sedang baca tulisaku.

Aku juga sebenarnya penasaran bagaimana dengan kabar teman-temanku yang lainnya, apakah mereka sudah punya ide untuk membuat tulisan seperti apa. Dari situ akhirnya, aku menghubungi salah satu teman baikku di Washilah, Fathur namanya melalui panggilan telpon WA.

“Halo, Assalamualaikum !” ucapku memberi salam.

“Waalaikumsalam, knapa bro ?” balas Fathur dilanjutkan pertanyaan.

“Eh kamu sudah liat group kah, ada arahan itu dari pengurus,” ucapku.

“Sudah, ini rencana sih mau buat cerpen bro,” ucap Fathur.

Fathur memang sudah terbiasa dalam hal kepenulisan, beragam karya tulis sudah ia buat dari straight, feature, in-depth, opini, bahkan yang paling luar biasanya dia juga sangat handal dalam menulis karya tulis sastra. Bagi kebanyakan anggota apalagi anak magang, menulis bentuk sastra ini butuh keahlian khusus, karena harus sering-sering membaca buku agar terbiasa dengan kata-kata yang bisa luar biasa sehingga memikat dan membawa para pembaca ke dalam suasana cerita atau tulisan. Sangat berbeda dengan aku, yang baru bisa membuat tulisan feature dan opini saja sudah sangat bersyukur.

Aku memang harus banyak belajar dari dia, tapi bukan berarti menjadi seperti dia, karena setiap orang harus menjadi dirinya masing-masing. Setidaknya mulai dari kebiasaan membaca buku yang saat ini sering kulakukan. Karena Fathur ini biasanya punya banyak ide, akhirnya aku memutuskan untuk bertanya ke dia.

“Tur, kira-kira aku buat karya tulis kaya apa yah ?” tanyaku ke Fathur.

“Yah, pertama itu sesuaikan sama niatmu lah, yang kedua coba buat tulisan yang bisa menggambarkan suasana hatimu untuk Washilah, tapi kamu juga harus cari-cari refrensi dulu lah di internet atau dimana gitu,” jawab Fathur.

“Oh iya sudah tur, makasih yah atas sarannya,” ucapku berterimakasih.

“Bah, santai ajalah jangan terlalu tegang bro, hahahahah,” balas Fathur dengan sedikit tertawa.

Karena sudah melewati beberapa waktu untuk berpikir dan mencari ide, waktu juga sepertinya sudah larut malam, adik dan ibuku juga sudah pada tertidur pulas dan masih ada satu tugas kuliah yang harus kuselesaikan untuk besok pagi dikumpul ke Dosen, akhirnya kuputuskan untuk karya tulis mungkin bisa dilanjut besok saja setelah aku menyelesaikan kuliah.

 

Mulai Menulis

Waktu telah berganti pagi, suara ayam berkokok terdengar dari kejauhan menjadi pertanda untuk mengawali aktivitas hari ini. Seperti biasanya, tepat pukul 08.00 WITA aku mengikuti kelas perkuliahan secara online melalui HP, memang sih seperti kebanyakan mahasiswa di luar sana, kuliah online ini dinilai kurang efektif.

Sama halnya kalau sudah berbicara mengenai aktivitas pembelajaran di organisasi yang kuikuti, ilmu yang kudapat masih kurang rasanya, namun apalah boleh buat jika surat edaran kebijakan pemerintah sudah berbicara dan membatasi kita dalam hal bertemu sapa. Setelah dua jam berlalu, kuliahku akhirnya selesai.

Sesuai dengan niatku tadi malam, setelah kuliah ini, aku harus membuat karya tulis untuk Washilah. “Dek, minjam abang minjam Laptopmu yah,” teriakku ke Adikku. “Buat apa bang ?” tanya Adikku. Sepertinya adikku ini ragu untuk meminjamkan laptopnya ke abangnya sendiri.

Akhirnya aku mengampiri dia ke kamarnya dan mengetuk pintu kamarnya. “Abang mau nulis, butuh Laptop,” ucapku dari depan pintu kamarnya. “Iya bang, sebentar,” ucap adikku dari dalam kamarnya. Seketika pintu kamarnya terbuka terbuka dan adikku langsung memberiku laptopnnya, “Ini bang, nanti kasih kembali kalau sudah yah,” ucap Adikku sambil menyodorkan laptopnya. “Iya,” jawabku singkat.

Setelah mendapati pinjaman laptop, aku langsung menuju ke meja belajar di kamarku dan membuka laptopnya untuk langsung mencari refrensi dan ide tulisan di internet. Hal yang pertama ku lakukan adalah membuka website washilah www.washilah.com dengan tujuan untuk melihat perkembangan publikasi beritanya. Ternyata 2 orang teman seperjuanganku di Washilah sudah lebih dulu membuat karya tulisnya.

Sampai di sini aku sempat kembali terdiam, sambil berusaha berpikir keras menemukan ide tulisan. Posisi tanganku saat itu berada diam di atas keyboard laptop dengan pandangan yang mengarah ke rangit-langit rumah. Mataku kemudian tertuju pada box berwarna hitam berukuran sedang yang yang kutaruh di atas meja belajarku.

Aku kemudian membuka box itu, dan ternyata isinya berupa selembar surat-surat yang pernah ku buat sewa selamaku berproses sebagai sekretaris di salah satu organisasi kampus juga.

Kuambil selembar surat itu lalu kuamati secara seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sambil melihat surat itu, aku teringat kata-kata dari Fathur tadi malam “coba buat tulisan yang bisa menggambarkan suasana hatimu untuk Washilah” ucap Fathur tadi malam. Akhirnya aku menemukan sebuah ide dari situ.

Dalam hati aku berkata “Kayaknya buat surat cinta untuk organisasi keren juga,”. Yah, sebuah surat cinta untuk Wasilah. Namun sampai di sini, aku masih butuh contoh bagaimana surat cinta yang baik untuk sebuah organisasi. Aku melanjutkan untuk browsing di internet, namun setelah hampir setengah jam mencari, aku masih tidak mendapati format surat cinta yang bisa kujadikan refrensi.

Dari pada membuang lebih banyak waktu lagi, akhirnya putuskan untuk menulis surat cinta itu dari awal hingga akhir tanpa merujuk ke satu format yang kuikuti.

Semuanya kutulis sesuai dengan apa yang terlintas di dalam kepalaku.

 

*Surat Cinta Untuknya*

*Surat Cinta*

*Dear Washilah,*

*Assalamualaikum wr.wb.*

Bersama sepucuk surat ini, teriring pula perasaan cinta dan bahagia atas hari spesialmu.

36 Tahun Kamu Berdiri dengan semangat perjuangan dan cinta yang abadi. Kau telah menghasilkan kader-kader yang hebat dalam setiap masa yang kau lewati. Aku bertahan sejauh ini karena hati dan jiwaku yakin, bahwa bersamu akan kuhasilkan beragam cerita dan menggapai mimpi di suatu hari nanti.

Setiap karya atau tulisan yang kuhasilkan bersamamu, tentunya menjadi kenangan manis yang mungkin terlihat biasa bagi orang-orang di luar sana, namun akan tetap menjadi kebanggaan tersendiri bagiku karena setidaknya aku berhasil menggoreskan tinta di atas lembaran-lembaran putih itu bersamamu.

“Apalah arti sebuah pengetahuan, bila kita tidak mampu mengabadikan dan mengikatnya dengan tulisan”.

Aku berterima kasih, karena kamu telah memberiku kesempatan untuk bisa dekat denganmu, memberiku banyak waktu, mengajarkanku apa arti dari semua yang telah dilewati sampai hari ini dan berharap hingga nanti.

Sampai saat ini, aku minta maaf belum bisa memberimu banyak waktu.

Aku berharap, perjalanan panjangmu ini tidak berhenti sampai di sini. Masih banyak cerita yang harus kita tulis bersama nantinya.

Semoga kamu tetap tegak berdiri dan memberi arah dalam setiap langkah yang kulewati hingga nantinya kita bisa bertemu lagi di hari spesialmu ini.

Selamat Milad Washilahku.

*Wassalamualaikum wr.wb.*

Makassar, 25 Mei 2021

Dariku,
Yang Mencintaimu.

Anggota Washilah

 

Bersyukur

Setelah kutulis secara rapi surat cintaku itu, aku kemudian langsung mengirimkannya melalui Email dan berharap bahwa apa yang kutulis itu bisa menjadi kado terbaik hari ini. Aku kemudian tersenyum bahagia, mengucap syukur karena telah diberikan satu lagi kesempatan oleh Tuhan sampai hari ini untuk bisa ikut serta merayakan kebahagian lembaga melalui sebuah surat yang berisikan tulisan cinta yang sederhana.

 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami