Pro & Kontra : Kebijakan Larangan Mudik

Facebook
Twitter
WhatsApp
Infografis : Muh. Arfah (Magang)

Washilah – Aturan baru perihal mobilitas mudik lebaran 2021 diperluas mulai 22 April hingga 24 Mei 2021 mendatang. Aturan ini merupakan addendum atas Surat Edaran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitiri  1442 Hijriah sebagai Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang berlaku sejak tanggal 6 Mei-17 Mei 2021.

Suara lantunan takbir melalui pengeras suara menggema dipenjuru area Samata dan sekitarnya, sementara suara deru lalu lalang kendaraan sibuk hilir mudik memenuhi panggilan-Nya.

Nanda salah seorang mahasiswi UIN Alauddin Makassar berjalan menunduk dari arah bangunan berlantai 4 yang dinamai Asrama PIBA menuju Masjid terdekat guna melaksanakan shalat idul fitri.

Tak seperti lebaran tahun sebelumnya, tahun ini mahasiswi yang juga merupakan jurusan Perbandingan  Mazhab dan hukum ini harus menelan pil pahit kenyataan, yah  lebaran di perantauan jauh dari keluarga.

Tak ada sungkeman dengan orang tua, pun kerabat. Suara gelak tawa yang biasa dibungkus rapi candaan sepertinya menjadi suasana yang dirindukannya.

Bukan tanpa alasan perempuan yang bernama lengkap Nanda Arisqa Lapatantja ini tak mudik, namun karena adanya aturan pemerintah mengenai larangan mudik, Akibatnya segala planning yang telah diatur sedemikian rupa batal seketika.

Saat dihubungi melalui WhatsaApp kenapa tak memilih pulang kampung sebelum aturan dimulai, Ia mengatakan ada urusan skripsi yang harus dikejar deadline. “Kemarin ada rencana mau pulang kalau urusan skripsi selesai, tapi pas lihat tanggal 6 diberlakukan larangan mudik jadi tidak keburu pulang”, Jumat (14/05/2021).

Di lain sisi meskipun tak sepenuhnya pro dengan aturan larangan mudik, namun memaksa untuk pulang kampung ditengah kondisi pandemi seperti ini malah menjadi momok menakutkan baginya. “Khawatirka juga pulang, takutnya bawa covid ka pulang,”cemasnya.

Nanda bukan satu-satunya Mahasiswi UIN Alauddin Makassar yang tak mudik masih ada mahasiswi lainnya. Sari ( bukan nama sebenarnya) turut mengungkapkan kekesalannya terhadap kebijakan pemerintah yang terkesan ambigu.

Baginya larangan mudik menjadi sia-sia ketika Warga Negara Asing (WNA) seperti India bahkan China  masih saja memiliki akses bebas keluar masuk ke Indonesia, belum lagi tempat wisata yang masih dipadati pengunjung. Padahal substansi pelarangan mudik jelas-jelas untuk memutus rantai penyebaran covid-19.

“Mudik tujuan ta cuma ketemu sama keluarga ji terlebih orang yang pulang ke rumah cuma pas lebaran tawwa mending pemerintah larang itu tempat belanja seperti Mall atau Pasar belum lagi tempat wisata,” ujar salah satu Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik tersebut. Selasa (18/05/2021).

Meneropong Kilas sejarah tradisi mudik

Meneropong kilas sejarah tradisi mudik. Mudik awalnya berasal dari Bahasa Jawa yaitu, Ngoko berarti “mulih disik” yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti pulang kampung. Sebenarnya tradisi mudik sudah berjalan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Dimana pada zaman itu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya.

Sekitar tahun 1970-an baru berkembang istilah mudik di Indonesia. Tentunya tradisi mudik lebaran tidak akan lepas dari momentum hari libur lebaran dan dimanfaatkan para perantau untuk kembali ke kampung halaman.

Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang dosen program studi sosiologi agama fakultas ushuluddin, filsafat dan politik, Dr.Asrul Muslimin bahwa Sebenarnya mudik sudah menjadi tradisi hampir dibanyak negara termasuk di Indonesia. Serta bukan hanya dilakukan oleh umat Islam saja tapi juga umat lain seperti non muslim.

“Ketika kita umat Islam melakukan perayaan Idul fitri kurang afdal rasanya kalau kita tidak melakukan silaturahmi dikampung dan itu sebenarnya sudah menjadi tradisi,” jelasnya saat dihubungi melalui sambungan telepon WhatsApp, Rabu (09/05/2021)

Namun  hadirnya pandemi memicu kontradiksi sosial,beberapa masyarakat perlu beradaptasi dengan kebiasaan baru.

Meminta maaf secara virtual disenyalir sebagai jalan alternatif satu-satunya dalam menanggapi kebijakan larangan mudik pemerintah. Sekedar melepas rindu kepada sanak saudara dikampung. Tapi tetap saja esensi kesakralan silaturahmi secara langsung tidak bisa tergantikan.

“Bila dikaji fenomena mudik secara sosiologi, dimana silaturahmi secara virtual belum bisa menggantikan nilai kesakralan sebuah silaturahmi secara langsung,kehadiran media sosial diera globalisasi ini bahkan belum bisa menjadi sesuatu yang menggantikan mudik secara langsung,” ucap salah satu dosen FUFP tersebut.

Pemerintah perlu berbenah

Nampaknya kebijakan mengenai larangan mudik menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.

Hal itu terbukti dari sikap abai yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dikutip dari berita platform online Kompas.com sedikitnya ada 1,1% Masyarakat indonesia yang nekat mudik jika dikalkulasi kan/dijumlahkan kurang lebih 1,4-1,5 juta orang mudik selama masa pelarangan diberlakukan.

Salah satu Dosen Ilmu politik Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik, Zulfiani S.IP.,M.Si mengungkapkan meskipun aturan mudik telah diatur sedemikian ketat, tapi pelaksanaan di lapangan menurutnya masih sangat longgar dijalankan.

Terlebih memang momentumnya bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa jadi di waktu-waktu tertentu bisa dimanfaatkan pemudik untuk bermain “kucing-kucingan” dengan petugas.

“Contohnya pada saat waktu berbuka puasa tiba, moment ini dimanfaatkan pemudik untuk lolos melewati pos penjagaan dengan leluasa,” jelasnya.

Lebih lanjut Ia menuturkan  masih banyak lagi kelonggaran yang bisa ditemukan pemudik. Misalnya, melewati pos penjagaan antara waktu tengah malam hingga subuh hari, dipastikan pemudik bisa melenggang tanpa ada hambatan disebabkan pos penjagaan yang sudah kosong tanpa petugas.

Padahal jika ada pembiaran dari pemerintah maka dipastikan mudik menjadi klaster baru dan turut memberikan sumbangsih terhadap meningkatnya lonjakan kasus covid-19 di Indonesia.

Untuk itu diharapkan pemerintah perlu pembenahan, mulai dari pelaksanaan kebijakan seperti penguatan sanksi ataupun edukasi ke masyarakat perlu dimasifkan.

Sementara itu, aturan larangan mudik yang dianggap tergesa-gesa juga menjadi catatan tersendiri untuk pemerintah. Sebaiknya pemerintah lebih banyak melakukan sosialisasi sebelumnya terkait upaya pencegahan penyebaran covid melalui larangan mudik, sehingga masyarakat memahami bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah demi kesehatan bersama bukan semata-mata melarang masyarakat untuk berkumpul dengan keluarga.

“Menurut saya yang perlu dibenahi terkait pelaksanaan kebijakan ini adalah sanksi yang tegas terhadap pelanggar kebijakan mudik, mereka jangan hanya disuruh untuk putar balik tapi bisa dengan memberikan sanksi sosial atau sanksi denda di tempat agar ada efek jera yang betul-betul dirasakan oleh para pelanggar mudik,” pungkasnya.

Penulis : Nur Afni Aripin (Magang)
Editor : Ulfa Rizkia Apriliyani

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami