Oleh : Nadia Hamrawati
“Kekaguman adalah hal wajar atas keindahan, kenyamanan, atau kebaikan. Tak ada yang salah dari aku mengagumimu, terlepas dari itu aku tak butuh balasan”
Pada awal Oktober lalu di sebuah desa kecil Kabupaten Tasikmalaya, untuk pertama kalinya Nadien bertemu seorang lelaki. Awalnya lelaki itu bagi Nadien masih terlihat biasa saja dengan rambut gondrong dan sedikit berjanggut.
Nadien dan lelaki itu sama-sama mendaftar dalam sebuah organisasi Pers Mahasiswa. Untuk masuk organisasi itu mereka harus melewati banyak tahap, salah satu yang paling dasar adalah In House Training Jurnalistik.
Selama kegiatan In House Training Jurnalistik, Nadien sekelompok dengan lelaki tersebut. lelaki itu bernama Fiersa. Nadien sering mencuri-curi waktu untuk mengamati sikap diam Fiersa terhadap Nadien dan kawan sekitar yang juga ikut pada In House Training Jurnalistik. Dari sana Nadien mulai kagum pada Fiersa yang ia anggap cukup dingin, bahkan lebih daripada kulkas satu pintu.
Selepas kegiatan tersebut proses panjang Nadien lalui dan menyisihkan beberapa kawan seperjuangan salah satunya Fiersa, si manusia es. Pelekatan manusia es Nadien sematkan pada lelaki berbadan tinggi itu disebabkan karena ia memiliki kebiasaan yang irit berbicara, sepengamatan Nadien.
Bulan berganti bulan, ditengah gerombolan kesibukan yang berjalan menghampiri, Nadien dan beberapa kawan mempunyai agenda liburan sembari menghadiri resepsi pernikahan salah satu senior Nadien di organisasi. Mereka berangkat dari kabupaten Tasikmalaya menuju wilayah Kota Bandung yang bergelar kota kembang menggunakan sepeda motor roda dua.
Tepat pukul 03:20 dini hari, Mereka sampai di rumah seorang kerabat yang mereka gunakan sebagai tempat menginap untuk beberapa hari. Nadien cukup bahagia, ia merasa nyaman karena beberapa hari akan menghabisi waktu dengan Fiersa, lelaki yang ia kagumi. Selepas melakukan ritual sebelum tidur yakni cuci kaki, tangan serta muka, Nadien masuk ke kamar bernuansa ungu. Meninggalkan Fiersa dengan tatapan yang dalam dengan penuh rahasia.
Setelah beberapa jam berada dalam keadaan tidur tanpa bermimpi, Nadien terbangun dengan ajakan keluar kamar untuk meminum teh dan menyantap beberapa iris roti berisikan selai durian.
Sepotong roti dan segelas teh ia habiskan sembari mengotak atik ponsel ditangan. Fiersa keluar dan duduk di sisi kursi tempat Nadien duduk. Setelah beberapa menit mereka saling berdampingan tanpa kata-kata, Fiersa bersuara dengan kalimat yang tak asing didengar “tolong nyalakan hospot dong,” ucapnya sembari menutup setengah badannya menggunakan sarung putih kotak-kotak.
Nadien pikir hanya udara kota Bandung yang dingin, ternyata sikap Fiersa juga. Entah karena belum menggosok gigi atau itu memang sudah menjadi bawaan lahir yang susah dihilangkan, Nadien mengira-ngira tentang Fiersa.
Setelah mencoba memecah keheningan di pagi hari, Nadien beranikan diri membuka percakapan sembari menyuruh Fiersa membangunkan salah satu kawan yang juga ikut berlibur di Bandung.
Mengabadikan
Agenda sebelum menghadiri hajatan pernikahan yaitu menyempatkan diri mengunjungi salah satu destinasi wisata yang menurut aplikasi google maps berjarak 31 Kilo Meter dari rumah tempat mereka menginap.
Selepas semuanya mandi dan bersiap, mereka berangkat meninggalkan rumah menuju destinasi wisata yang dipilih, Gedung sate. Pukul 11:34 mereka sampai di tujuan setelah melewati rute perjalanan yang cukup padat.
Singkat cerita, seorang yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota metropolitan terbesar di jawa barat seperti Nadien, sangat antusias untuk menyusuri setiap sudut keindahan yang ada di sana. Saat menemukan spot foto yang pas, Nadien mulai menjepretkan diri melalui kamera nikon milik salah satu kawan.
“Setiap detik adalah kenangan, ada dua pilihan yang bisa dilakukan, mengabadikannya dengan kamera atau membiarkannya berlalu begitu saja,” ucap Nadien dalam hati. Prinsip itu selalu terngiang ketika menemukan moment yang tepat untuk dikenang suatu saat nanti.
Ditengah sesi pendokumentasian, terlintas pikiran untuk menerapkan prinsip itu kepada si manusia es. Sebelum memintanya untuk berfoto bersama, terdengar mulutnya mengucapkan kalimat yang entah ditujukan kesiapa. “saya sih terserah kalau diajak foto, yah ayo,” ucapnya dengan sedikit lirih.
Mendengar ucapan itu, inisiatif Nadien untuk mengajak ia foto bareng layaknya kawan pada umumnya hanya untuk sekedar menempatkan ia sedikit di ruang penyimpanan ponsel miliknya. Setelah puas berfoto, mereka meninggalkan Gedung sate dengan tumpukan hasil foto yang siap dikirim kepada masing masing pemiliknya.
Nadien mengenang. Dalam hidupnya, baru kali ini ia merasakan perhatian yang lebih pada lelaki. Ia merasa dekat, merasa nyaman di sisi Fiersa. Sejak Nadien duduk dibangku SMA hingga usianya dewasa seperti saat ini, Nadien merasa sulit untuk menaruh hati pada lelaki manapun. “Tidak juga pada Fiersa, saat ini. Mungkin suatu waktu, mungkin.” Nadia merenung sejenak.
Karena dibatasi oleh ruang dan waktu, mereka menyudahi kegiatan mendinginkan pikiran kemudian bersiap kembali ke Tasikmalaya. Setelah berpamitan, sesuai kesepakatan, Nadien pulang dengan berboncengan dengan pria yang penuh teka teki dalam diamnya itu.
Titik Pulang
Sesampainya di titik pulang, Nadien langsung menuju ruang paling belakang di sebuah rumah singgah milik pers mahasiswa tempat ia berkecimpung. Di sana Nadien beranikan diri membuka singkap perasaan yang bersembunyi bersama tanya yang selalu memberontak pada dirinya, melalui Lina, salah satu kerabat dekat Fiersa.
Sambil meneguk segelas air putih Nadien melontarkan satu kalimat pertanyaan yang membuat Lina bingung, dengan wajahnya yang sedikit heran Lina mengungkapkan bahwa Fiersa termasuk orang yang mempunyai moodswing, suasana hatinya bisa berubah-ubah tergantung keadaan.
Tak hanya bercerita tentang perubahan mood Fiersa, Lina juga mengatakan bahwa Fiersa adalah sosok lelaki yang bisa diajak bercerita, “Asal baik moodnya, dia pasti enak ditemani cerita,” pungkasnya diakhir obrolan.
Keadaan kembali hening, Nadien menyimpulkan bahwa lelaki yang aktif di dunia kewartawanan itu tidak mungkin memiliki sifat diam jika bertemu dengan para narasumbernya, hal itu membuat ia semakin penasaran dengan sosok yang juga mahir dibidang desain grafis itu.
“Apakah ia hanya dingin kepada saya?”
“Ataukah ia termasuk lelaki yang mempunyai suhu berbeda terhadap setiap wanita?”
Entahlah, itu semua adalah pertanyaan yang belum Nadien temukan jawabannya.
Permintaan Maaf
Muak dengan pertanyaan yang tetap tinggal dikepalanya, Nadien memberanikan diri untuk sekedar memberi kode kepada Fiersa. Melalui tautan video dari aplikasi tiktok yang ia bagikan ke nomor whatsapp miliknya, Nadien menunggu respon sambil memperkirakan jawaban yang akan masuk dari Fiersa.
Pilihan itu cukup sulit bagi Nadien, sebab ia sedang berusaha keluar dari kebiasaan perempuan pada umumnya. Pantang memulai obrolan dengan lelaki yang pada dasarnya mereka bahkan memiliki perasaan di dalamnya.
“tingtong,” terdengar notifikasi dari ponsel Nadien.
Setelah hampir setengah hari Nadien menunggu balasan chat, akhirnya Fiersa mengirimkan beberapa kata diluar ekpetasinya. Fiersa menanggapi tautan video yang Nadien kirimkan dengan jurus keyoboard minimal, sangat singkat maksudnya.
“Saya Minta Maaf,” balas Fiersa
Keberanian Nadien tiba-tiba hilang, detak jantungnya tidak beraturan. Ia merasa kata maaf itu akan berujung pada jawaban penolakan atau sejenisnya. Ia gugup dan diam sejenak. Dalam kepalanya seolah sedang terjadi pertarungan, antara ia akan melanjutkan percakapan singkat dengan lelaki yang ia anggap baik padanya atau tidak.
Tapi rasa penasaran menaklukkan segalanya. Ia berusaha regangkan jari-jarinya yang bergetar dan bersiap untuk membalas pesan yang masuk, Nadien mempertanyakan kejelasan permintaan maaf yang Fiersa sampaikan.
“Maaf untuk?,” balas Nadien.
“Maaf karena belum bisa membalas perasaanmu,” balasan Fiersa yang membuat Nadien terdiam.
Nadien menyudahi percakapan melalui ponsel, ia tak mau larut dalam suasana yang terlalu jauh. Nadien takut jika lelaki itu terlalu berfikir dalam terkait perasaannya.
Walaupun pertanyaan yang sering kali terlintas dibenaknya belum juga terjawab, tetapi Nadien yakin bahwa lelaki yang ia sematkan julukan manusia es itu akan mencair dikemudian hari, semoga saja.
Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Semester VI