Kisah Kasih di Negeri Hujan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: M. Ilham

Oleh : Iyan Hidayat

Di awal tahun ini, kita disambut dengan berbagai suguhan fenomena Alam yang rutin terjadi seperti curah hujan yang cukup tinggi. Badan Meteorologi dan Geofisika, sebuah lembaga yang menangani hal demikian memperkirakan, musim hujan akan berlangsung hingga April nanti. Sejalan dengan itu, fenomena bencana Alam seperti banjir mulai bermunculan di berbagai judul pemberitaan media massa.

Dengan maksud memberikan efek ketenangan pada masyarakatnya, seorang raja disuatu kerajaan bagian Asia sebelah tenggara menyampaikan pernyataan, bahwa banjir memang wajar terjadi, dan itu murni akibat curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan banjir. Keterangan tersebut di lain waktu dan lain tempat menjadi bahan obrolan bapak-bapak berkumis di Warung kopi. Sembari mengisap tembakau lokal, salah seorang dari mereka menuduh bahwa ini merupakan efek eksploitasi terhadap hutan-hutan yang seharusnya menjadi daerah resapan air.

Di negeri lain, dengan kerajaan yang sama, salah seorang priyai ditangkap oleh panglima utusan raja dengan tuduhan atas monopoli persaingan usaha. Usut punya usut, sang priyai sedang bersekongkol dengan pedagang dari negeri nun jauh di sana untuk membangun sebuah proyek raksasa yang letaknya di ujung negeri. Letaknya berada di ujung pandang mata. Proyek raksasa tersebut memakan biaya yang besar serta meminta tumbal nelayan-nelayan yang berada di sekitarnya.

Tak luput dari keganasan, laut dan pantai dirusak dan dikeruk pasirnya demi kepentingan proyek raksasa sang priyai dan koleganya.

Suatu waktu, Kabar ditangkapnya priyai menjadi berita menggemberikan bagi ibu bapak nelayan di Negeri Ujung Pandang. Pesta perayaan pun diadakan besar-besaran menyambut kabar tersebut. Tak lupa bapak-bapak berkumis di warung kopi turut diundang merayakan suka cita. Dengan gembira, mereka ngobrol santai dengan kopi juga sajian makanan yang bahan bakunya dari laut. semuanya tersaji, menemani obrolan sampai larut malam, juga ayat-ayat peringatan oleh bapak berkumis yang menuduh eksploitasi terhadap alam. Semuanya disenangdungkan malam itu, walau dengan ekspresi dan bentuk penyampaian wajah gembira.

Sayangnya, kegembiraan hanya berjalan sehari semalam. Bapak ibu nelayan mulai sadar, walau tuan Priyai ditangkap, laut tetap rusak. Laut terlanjur marah dan enggan membagikan ikan-ikan yang dikandungnya, siapa hendak disalahkan?

Bapak ibu nelayan mengadu pada bapak bapak berkumis di Warung kopi, bapak bapak di sana hanya bercerita, bahwa ini semua akibat eksploitasi Alam.

Bapak ibu nelayan pun pergi tanpa meraih solusi. Di perjalanan pulang, bapak ibu nelayan bertemu bapak tidak bercelana tapi bersarung. Orang-orang bertanya, kenapa tidak memakai celana,belakangan diketahui bahwa ia korban banjir. Katanya, Ketika banjir datang ia tidak perlu repot menggulung celananya untuk menghindari air yang membasahi. Cukup mengangkat sarungnya, walau tidak menutup kemungkinan akan kebasahan juga.

Bapak ibu nelayan dan bapak sarungan hanya dapat pasrah, menunggu sembari berdoa pada Tuhan semesta. Berbeda dengan sekelompok muda mudi, Tidak mau pasrah, mereka menuntut perbaikan dan ganti rugi. Sayang raja tak rela keluar biaya untuk mengganti rugi semuanya, sebagai solusi raja menghadiahi para para pemuda dengan jabatan dan harta yang menggiurkan. Sebagian pemuda menerima dengan gembira, sebagian lagi menolak mentah-mentah. Entah apa yang terjadi, Raja menjelma anak baru gede atau yang labil, menjadi marah ketika ditolak cewek gebetannya. Raja pun memenjarakan mereka yang menolak, dan biarkan mereka yang menerima harta dan jabatan, kemudian hidup bahagia.

Al kisah, Sang Raja dan bawahannya hidup bahagia, sementara sebagian rakyatnya hanya dapat bersyukur atas kebahagiaan Sang Raja, sembari meratapi nasib.

 

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Semester VI

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami