Kampus Sindrom Bipolar, Apa Kabar Peradaban?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi I Muhammad Kasim

Oleh: Muhammad Kasim

Menarik kiranya menyelisik berbagai kebijakan universitas yang muncul akhir-akhir ini di kampus peradaban sambil menikmati hidangan bakwan dari budde di kantin. Nampaknya kebijakan ini mampu membuat mahasiswa terhegemoni dan tak khayal lagi ini menjadi sub utama dalam tutur diskusi kecil setiap mahasiswa diberbagai pertemuan.

Bukankah kampus adalah ruang proses pencarian jati diri mahasiswa? Toh, pada kenyataanya bale-bale habis dilalap oleh api kebijakan kampus yang irasional dan murni over general. Dalam pengambilan keputusan ini tak melibatkan mahasiswa ataupun perwakilan mahasiswa sebagai konstituante (panitia percancang kebijakan), maka wajar saja kebijakan ini sama sekali tidak bernilai solutif bagi mahasiswa. Justru ini memupuk kekhawatiran dan rasa kecewa dari pelbagai kalangan mahasiswa.

Bale-bale merupakan wadah transformasi keilmuan selain dinding kampus yang begitu pekik dan panas. Bale-bale tentunya adalah wadah penghasil intelektual yang mampu menunjang peradaban sebagai spirit kampus. Proses intelektualisasi dan pecarian jati diri mahasiswa harus tumbuh secara alami, bukan dibentuk secara artifisial bahkan dengan unsur paksa. Sehingga hadirnya kritik keras dari mahasiswa adalah hal sangat rasional dan kebijakan serta tanggapan birokrat kampus sangat irasional dan mengutuk kebebasan.

Tak hanya itu, konstruk kaku dan mengekang pada mahasiswa semakin diperjelas dengan hadirnya larangan aktivitas malam di kampus. Bak sebuah obituarium yang mencibir dan mengoyak setiap pembacanya. Tak cukup menjadi penghancur dari diskusi dan proses berbagi pengalaman, kampus nyatanya kembali menjadi momok yang menakutkan dengan membatasi ruang kreativitas mahasiswa. Bahkan sampai hal mendasar seperti itu harus menjadi sasaran kampus atas pertimbangan kemungkinan negatif saja, lalu cenderung buta pada dampak positifnya.

Lalu apa yang akan kau berikan pada anakmu? Ingin menjadikan kampus sebagai penjara kebebasan intelektual atau ingin membuat kami sekaku-kakunya kaku? Bakwan saja di kantin ketika sudah kaku akan membuat siapa saja berpikir untuk memakannya. Apalagi mahasiswa sebagai agen of change, social kontrol dan lain sebagainya harus bak robot yang kaku ketika diperhadapkan dengan masyarakat. Semoga saja tidak ada rencana mengirim mahasiswa ke planet untuk mengabdi.

Dalam UUD 1945 tujuan mulia dari pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, lalu mengapa di kampus langkah-langkah pencerdasan justru harus terpotong oleh aturan yang saya rasa miskonstitusi. Kampus menginginkan mahasiswa berprestasi lalu wadah transformasi ilmu dihancurkan, waktu kreativitas mahasiswa dibatasi dan kritik membangun harus dibungkam. Olehnya kampus bisa dikata tidak konsisten dalam berbagai kebijakan serta memiliki keinginan yang sangat kontradiksi dengan keinginan yang ditekankan pada mahasiswa.

Saya tegaskan kampus hari ini telah mengidap Sindrom Bipolar. Tepatnya memiliki pernyataan dan keputusan yang tidak jelas dan berubah-ubah, bahkan parahnya kadangkala antara kebijakan dan harapan itu tidak relevan.

Meskipun demikian ini, tentunya tak layak jadi titik tolak terhadap munculnya dekandensi intelektual, kreativitas dan suara-suara perlawanan mahasiswa. Justru beberapa penunjang peradaban ini harus tetap eksis pada cita-citanya. Meski kampus nyatanya dengan berbagai terobosan kebijakan tak sama sekali mengarah pada peradaban. Maka mahasiswa menegaskan peradaban itu selalu ada dalam setiap gerak sederhana mahasiswa.

Tulisan ini alangkah bagusnya ditutup dengan sebuah fragmen yang sangat menarik dengan penjabaran filsafat waktu dari Martin Heideger, salah satu filsuf eksistesialisme asal Jerman yang berpandangan bahwa dalam waktu itu manusia harus mengada(eksis). Tentunya yang dimaksud mengada oleh Heideger di sini adalah eksis pada diri atau tetap menjadi diri sendiri tidak menjadi orang lain, tidak menjadi yang orang lain pilihkan, tidak menjadi yang organisasimu dan kampusmu pilihkan. Waktu adalah wadah atau perantara untuk kita sebagai manusia mempertegas eksistensinya.

Jadi tak selayaknya kampus memilihkan jalan pada mahasiswanya apalagi jalan yang hanya akan memoderasi gerakan intelektual dan ruang kreativitas serta hanya akan menjadi selaput pada nalar kritis mahasiswa.

*Penulis merupakam mahasiswa Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum (FSH).

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami