Akankah Semua Berakhir dalam Kisah?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Istimewa.

Oleh: Rahmat Rizky

Dari tiada, ada, dan akan tiada.

Dalam sejarah panjang kehidupan manusia, dahulu kita hanya satu bagian kecil yang tertatih-tatih bertahan dari jutaan bahkan miliaran organisme yang ada di Bumi.

Namun, dalam evolusi manusia atau homo sapiens yang berjalan pelan dan berdarah, Kita menjelma menjadi makhluk puncak, predator sejati, pembunuh ulung, mamalia licik tapi juga jenius.

Perkembangan manusia dari primitif hingga modern tidak terlepas dari budaya yang tercipta dengan sendirinya. Budaya itu kemudian menjadi pemicu utama perkembangan pemikiran dan daya cipta teknologi manusia.

Persaingan antar suatu kebudayaan juga memengaruhi produktifitas suatu peradaban. Sehingga suatu kebudayaan akan terus berkembang dan berubah, ada yang menemui ajalnya, ada pula yang bertahan dan eksis dari masa ke masa.

Sejak ditemukannya mesin uap pertama di Inggris hingga hari ini, peradaban manusia memasuki babak baru yang sangat berbeda dari sebelumnya. Kita menciptakan segala bentuk inovasi dan teknologi yang mutakhir. Mulai dari pesawat, mobil listrik, handphone, bangunan-bangunan pencakar langit, pendingin udara, rekayasa genetika, dan semua penemuan manusia yang tak ayal membuat orang-orang terdahulu akan mengatakan mustahil.

Hal itu juga yang hari ini kita katakan ketika melihat peninggalan monumental dari beberapa peradaban kuno masa lalu.

Kebudayaan manusia selalu menghasilkan sesuatu yang menakjubkan, menghipnotis setiap mata yang menatapnya. Hal-hal seperti itu bisa kita lihat dari beberapa peninggalan peradaban masa lalu, misalnya; Piramid di Mesir, batu-batu raksasa dengan pahatan wajah manusia di pulau paskah, hingga candi-candi dengan ukiran kompleks di Jawa tengah.

Semua itu adalah hasil cipta manusia dengan kebudayaannya, mereka membentuk suatu kebiasaan dengan pola-pola tertentu. Menciptakan undang-udang, lalu menentukan setiap perilaku dan kewajiban suatu kelompok masyarakat dalam dogma agama ataupun kediktatoran seorang pemimpin yang maha perintah.

Peradaban Mesir kuno, begitu banyak peninggalan yang bisa kita lihat di Mesir hari ini. Mulai dari monumen piramid, spinx, lukisan-lukisan, perhiasan dan lain sebagainya.

Dahulu mereka berada pada puncak peradaban yang sangat maju di masanya. Namun, hari ini yang tersisa hanya puing-puing, peninggalan fisik yang susah payah mereka bangun bertahun-tahun lamanya.

Bukan hanya mesir, di Indonesia sendiri ada banyak peradaban kuno yang juga hanya tersisa batu nisan ataupun cerita yang entah betul atau sekadar dongeng belaka. Manusia-manusia dengan kebudayaan yang unik dan modern lenyap ditelan bumi, kita hanya bisa memandang hasil cipta mereka dengan kekaguman.

Lalu apa yang mengakibatkan suatu kebudayaan itu runtuh?

Yang saya maksud keruntuhan (collapse) adalah penurunan drastis ukuran populasi manusia dan/atau kompleksitas politik, ekonomi, sosial, di wilayah yang cukup luas, untuk waktu yang lama. Oleh karena itu, fenomena keruntuhan merupakan bentuk ekstrem dari beberapa tipe kemerosotan suatu masyarakat sehingga pantas dilabeli sebagai keruntuhan.

Sejumlah tipe kemerosotan yang lebih ringan itu antara lain kenaikan dan penurunan kecil kemakmuran secada normal, serta restrukturisasi kecil politik, ekonomi, sosial pada masyarakat manapun.

penaklukan suatu masyarakat oleh tetangga dekatnya, atau kemerosotan akibat menanjaknya tetangga, tanpa perubahan ukuran populasi total atau kompleksitas di keseluruhan wilayah, dan penggantian atau penggulingan elite pemerintahan oleh elite pemerintahan lain.

Berdasarkan standar-standar itu, kebanyakan orang akan menganggap masyarakat-masyarakat silam berikut sebagai korban keruntuhan skala penuh, bukan sekadar kemerosotan kecil; Anasazi dan Cahokia di wilayah yang kini merupakan Amerika Serikat modern, kota-kota maya di Amerika tengah, masyarakat Moche dan Tiwanaku di Amerika Selatan, Yunani Mikene dan Kreta Minos di Eropa, Zimbabwe Raya di Afrika, Angkor Wat dan kota-kota Lembah Indus Harappa di Asia, serta Pulau Paskah di Samudra Pasifik.

Reruntuhan monumental yang ditinggalkan oleh masyarakat-masyarakat silam itu mencengkram kita dengan daya tarik romatis. Kita terkagum-kagum sewaktu kecil, ketika mempelajari tentang masyarakat zaman dulu melalui foto dan gambar.

Sewaktu kita bertumbuh besar, banyak di antara kita yang merencanakan melancong ke sana untuk merasakan langsung tempat-tempat itu sebagai wisatawan. Kita merasa tertarik pada keindahan reruntuhan yang seringkali spektakuler dan mencekam, dan juga kepada misteri-misteri yang mereka hadirkan.

Ukuran reruntuhan-reruntuhan itu menjadi saksi akan kemakmuran dan kekuasaan para pembangunnya dahulu—mereka menyombong, “Look on my works, ye mighty, and despair!” Dalam syair Shelley. Namun para pembangun itu lenyap, meninggalkan struktur-struktur agung yang telah mereka bangun dengan susah payah.

Bagaimana bisa masyarakat yang tadinya sedemikian perkasa lantas runtuh? Bagaimana nasib orang-orangnya? Apakah mereka pindah? Dan jika memang begitu mengapa? Atau apakah mereka tewas dengan cara yang tidak menyenangkan? Di balik misteri romantis ini ada pikiran yang meronrong, mungkinkah takdir semacam itu akhirnya menimpa juga masyarakat kita yang makmur?

Sudah lama dicurigai bahwa banyak keruntuhan misterius ini setidaknya dipicu sebagian oleh masalah-masalah ekologis. Manusia secara tidak sengaja menghancurkan sumber daya lingkungan yang diandalkan masyarakat mereka.

Kecurigaan mengenai bunuh diri ekologis tidak disengaja ini seperti ekosida (ecocide) telah dikonfirmasi oleh temuan-temuan para ahli arkeologi, ahli klimatologi,
ahli sejarah, ahli palenteologi, dan ahli palinologi (ahli serbuk sari) dalam beberapa dasawarsa terkahir.

Proses-proses perusakan lingkungan oleh masyarakat masa lalu dibagi ke dalam delapan kategori, yang kadarnya relatif berbeda dari kasus ke kasus; Penggundulan hutan dan penghancuran habitat, masalah tanah (erosi, penggaraman, dan hilangnya kesuburan tanah), masalah pengelolaan air, perburuan berlebihan, penangkapan ikan berlebihan, efek spesies yang didatangkan terhadap spesies asli, pertumbuhan populasi manusia, dan peningkatan dampak per kapita manusia.

Keruntuhan-keruntuhan masa lalu cenderung mengikuti jalur-jalur yang cukup serupa, variasi tema yang sama. Pertumbuhan jumlah penduduk memaksa masyarakat mengadopsi cara-cara produksi intensifikasi agrikultura misalnya, irigasi, tumpang sari, atau terasering, dan memperluas lahan pertanian dari tanah terbaik yang dipilih terlebih dahulu ke tanah yang kurang cocok ditanami, guna memberi makan mulut kelaparan yang semakin banyak saja.

Praktik-praktik tak berkelanjutan menyebabkan kerusakan lingkungan yang termasuk satu atau beberapa di antara delapan tipe yang tadi disebutkan, menyebabkan lahan-lahan yang kurang cocok ditanami pun harus ditinggalkan.

Akibatnya bagi masyarakat antara lain; kekurangan makanan, kelaparan, perang di antara orang yang berjumlah terlalu banyak memperebutkan sumber daya yang terlalu sedikit, dan penggulingan elite pemerintahan oleh massa yang kecewa.

Pada akhirnya, populasi menurun akibat kelaparan, perang atau penyakit, dan masyarakat pun kehilangan sebagian kompleksitas politik, ekonomi, dan budaya yang dikembangkannya pada puncak kejayaan.

Risiko keruntuhan-keruntuhan semacam itu kini merupakan sumber kekhawatiran yang semakin meningkat bahkan keruntuhan telah mewujud di Somalia, Rwanda dan beberapa negara dunia ketiga lainnya.

Banyak orang khawatir bahwa ekosida kini telah mengalahkan perang nuklir dan penyakit sebagai ancaman peradaban global. Masalah lingkungan yang kita hadapi saat ini mencakup kedelapan masalah yang sama yang telah menenggelamkan masyarakat-masyarakat masa lalu, plus empat masalah baru; perubahan iklim akibat manusia, penumpukan zat-zat kimia beracun di lingkungan, kekurangan energi, dan penggunaan kapasitas penuh fotosintesis Bumi oleh manusia.

Diklaim bahwa sebagian besar dari 12 ancaman ini akan menjadi kritis secara global dalam beberapa dasawarsa ke depan, kemungkinannya adalah kita saat itu telah selesaikan masalah-masalah itu, atau masalah-masalah itu akan menenggelamkan tak hanya Somalia melainkan juga masyarakat-masyarakat dunia pertama.

Jauh lebih mungkin daripada skenario kiamat yang mencakup kepunahan manusia atau keruntuhan apkalipsis peradaban industri, adalah “sekadar” masa depan dengan standar kehidupan yang jauh lebih rendah.

Resiko yang secara kronis jauh lebih tinggi dan melemahnya apa yang kini kita anggap sebagai nilai-nilai kunci kita. Keruntuhan semacam itu dapat dalam berbagai wujud, misalnya penyebaran penyakit ke seluruh dunia, atau malah perang, yang pada dasarnya dipicu oleh kelangkaan sumber daya lingkungan.

Bila penalaran ini benar, maka upaya kita hari ini akan menentukan dunia macam apa yang akan menjadi tempat generasi anak-anak dan remaja masa kini menghabiskan masa dewasa dan tua mereka.

Akankah suatu hari kelak wisatawan menatap nanar terpesona ke arah pencakar-pencakar langit raksasa New York, Abu Dhabi, Jakarta, Tokyo yang berkarat, seperti kini kita menatap reruntuhan kota-kota Maya yang digayuti rimba?

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami