Oleh: Askar Nur
Deretan pepohonan dengan kerindangannya sungguh disayangkan jika terlewati dengan ratapan, ia selalu ramah menawarkan udara segar. Kesedihan hanyalah persoalan gejolak batin yang tidak mampu diterjemahkan akal-pikiran sehingga terjadi pembekuan sel damai dalam diri. Menghirup udara segar dengan penuh kedamaian akan melahirkan kesejukan pikiran yang tentu akan meretas ruang sedih. Semua berhak bersedih tapi tidak semua kesedihan adalah hak. Kesedihan atas perkara yang terus direproduksi akan membutakan, akal budi stagnan, penolakan diri memuncak hingga terbelenggu dalam kehidupan yang mati.
Lihat, bukankah ratapan kesedihan itu lahir dari kegusaranmu pada dunia nyata yang beranekaragam, saling tindih-menindih, saling makan-memakan bahkan saling bunuh-membunuh hingga tak mampu mencegahnya? Sekarang, pohon yang pernah menawarkan udara segar di halaman sekolahmu telah tumbang satu persatu, lambaian padi di tengah sawah yang selalu menyapamu kala sore telah tertimbun bebatuan dan hutan hijau telah terbabat habis menjelma menjadi hamparan yang gersang. Semuanya hilang tertelan kepentingan sepihak oleh mereka yang memegang skema kuasa dengan gelimangan harta kekayaan dan ternyata benar, sedihmu tak mengubah apa-apa namun justru membutakanmu.
“Kita telah kalah, Car.” Penyesalan dan rasa sedih tergambar pada raut wajah Cir di sebuah warung yang dulunya hutan yang rindang. Sebuah warung bertingkat yang berdiri seragam dan disiplin sebagai bentuk reinkarnasi dari warung-warung sebelumnya yang dicap ‘liar’, banyak pemilik warung sebelumnya tidak mampu lagi merasakan warung bertingkat saat ini dikarenakan faktor biaya sewa yang tidak dapat mereka sanggupi sehingga memutuskan untuk mencari peruntungan di tempat lain.
“Kita tidak kalah, kita tidak sedang berada dalam kompetisi Cir. Percayalah kita masih punya ruang untuk memperbaiki.” Pekik dengan penuh semangat membara, entah semangat Car benar adanya atau hanya hendak menyemangati Cir yang tengah dirundung harapan yang hilang. Sikap bijak seorang kawan adalah memberikan semangat penuh di tengah dominasi rasa ingin menyerah pada kawannya.
Keseharian yang selalu mendung bagi dua sekawan ini. Mereka adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di sudut kota Makassar. Mereka yang memilih jalan yang berbeda dibanding mahasiswa kebanyakan. Bangun pagi, mengemas diri, menuju kampus, mendengar lantunan risalah dari pengajar yang sesekali memotivasi dengan mengajak bermimpi menjadi pribadi yang sukses bergelimang kekayaan, beranjak pulang menuju tempat yang ditinggalkan beberapa jam untuk mengerjakan tugas-tugas yang dihadiahkan oleh pengajar untuk segera dituntaskan.
“untuk apa kita harus melawan segala perkara yang dianggap tidak adil? Bukankah segalanya telah dibuat dengan sebaik-baiknya?”.
“Memilih berbeda dari yang lain menjadi kenyamanan, bukan begitu Cir? Kita tidak hanya hidup di dalam dunia ini melainkan kita hidup bersama dunia maka sebuah keharusan memandang dunia ini bukan hanya dari tawaran kesenangannya mana tahu banyak kesenangan yang hilang dan dirampas “
“Kesenangan seperti apa, Car?”. Imbuh Kacir dengan penuh penasaran
“Kesenangan di dalam gedung-gedung pencakar langit dengan kemegahan dan kekayaan materi yang berlimpah dan kesengsaraan di balik gedung yang harus kehilangan sesuap nasi”.
Kocar sesekali mempertemukan bibirnya dengan bibir gelas yang berisikan kopi, menghirup aromanya dan menghempaskannya dengan damai seketika melupakan sejenak uang pembayar kopi yang telah bertengger dalam deretan buku utang emak kantin sementara Kacir masih nampak penasaran dengan pembahasan sebelumnya, kadang-kadang memalingkan muka ke arah coretan-coretan yang menghiasi hampir seluruh dinding kantin dengan letusan kata demi kata mengisyaratkan amarah yang bergejolak layaknya sang orator yang tengah berorasi di bawah terik matahari di depan gedung parlemen menolak penggusuran bara-baraya, pedagang kaki lima di tengah kota dan reklamasi pantai yang kesemuanya menghilangkan piring kehidupan manusia.
“Tak perlu kau gusar Cir. Kita tetap harus melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”
Cuaca mendung sore itu menjadi latar drama perasaan Kacir yang tak karuan, sedikit lagi memasuki adegan klimaks yang memuakkan hingga rasa ingin muntah melihat dunia, “Cir…” sambil menepuk punggung Kacir dan membangunkannya dari lamunan panjang di negeri antah-berantah.
“Kemiskinan tidak akan mampu menciptakan sebuah perubahan melainkan kesadaran akan kemiskinan. Kita sekarang hidup di kehidupan yang nyata namun kerapkali mirip dengan kehidupan ilusi. Kekuasaan yang otoriter membuat kita miskin sementara penguasa yang feodalistis nan fasis membius kesadaran orang miskin akan kemiskinan”
Kacir termenung entah memikirkan apa yang telah dikatakan Kocar atau memikirkan sesuatu yang lain namun yang jelasnya ia tengah menyaksikan perdebatan dalam dirinya. Sesekali bibirnya yang menghitam karena nicotine melebar didukung raut wajah yang memberi tanda bahwa ia tengah tertawa terbahak mungkin karena menertawai dirinya sendiri yang memilih merasakan pahitnya melirik hidup dari segi yang berbeda atau mungkin membayangkan hingga menertawai para pendahulu yang pernah berwatak buas untuk menolak segala tatanan yang sewenang-wenang namun kini mereka bercokol di puncak menara tatanan, merawat senyum menata diri dan menganggap semuanya seolah-olah berjalan dengan sempurna.
“Car, aku tahu apa yang harus kita lakukan”. Tiba-tiba bangkit seolah meninggalkan segala yang membelenggunya dan mengagetkan Kocar yang tengah menikmati lintingannya
“Betul kan, kesedihan hanyalah bentuk kamuflase dunia yang kurang disyukuri. Sekarang apa yang harus kita lakukan menurutmu Cir?”. Tersenyum lebar, penuh haru menyaksikan Kacir melahirkan bahagianya
“Tatanan tetap berjalan dengan baik meski dalam kepincangan namun kita tak mampu mengindranya apalagi mengintervensinya layaknya dua sejoli diselimuti adegan rasa saling memiliki hingga dunia serasa milik mereka meskipun babak saling menaklukkan terjadi hingga berada di ambang ketidaksadaran”
“Kembali ke ruangan itu dan tidak meninggalkan dengan alasan kemuakan melainkan mengintervensinya dalam artian kita tidak lagi dijadikan bejana kosong sepihak yang harus diisi tapi kekosongan keduanya yang harus saling melengkapi dengan pola dialektis. Karena meninggalkan merupakan tindakan pecundang”. lanjutnya
Kocar dan Kacir kembali menemukan dirinya, “ayo kita bangun Cir dan cuci muka tapi jangan tidur kembali karena sesungguhnya tidur yang panjang adalah bangun dengan keraguan dan ketakutan. Kita harus selamatkan keselamatan yang masih terpasung di dapur kata yang pura-pura”.
Penulis merupakan eks Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) UIN Alauddin Makassar Periode 2018**