Oleh: Syahrul B
Namaku Lambertus yang akrab disapa Stuart, saya seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Makassar, ini adalah ceritaku.
Satu per satu pesan WhatsApp mulai masuk di handphone, seketika membuat suasana hening menjadi bising, sekaligus menandakan tiba saatnya diri ini diperbudak oleh waktu yang mengguling.
Waktu sangat cepat berlalu, semalaman suntuk aku ditemani oleh cerita si pembawa petaka, tak terasa alarm dari gawai mendesing di telinga, dengan cepat tangan ini meraba, lalu mematikan alarm yang bersuara, dan berusaha membuka kelopak mata, untuk menyambut sang fajar yang membias di kaca jendela, dengan harapan hari ini lebih baik dari kemarin.
Kenapa tidak, dulunya aku mengenal jadwal perkuliahan itu sudah diatur dalam kurikulum pendidikan. Tapi mengapa masih ada saja dosen yang ingin masuk di kelas untuk mengajar sesuai dengan keinginannya? Apakah ini bukan bagian dari perbudakan? Oh maaf, mungkin saya keliru, bukan diperbudak! Tapi kita dididik untuk dijadikan robot yang bisa diperintah dan dikendalikan kemanapun yang diingankan oleh para birokrasi itu.
Demi mengecap pendidikan yang ku harap bisa memperkaya sifat kemanusiaan malah yang kurasa adalah sebaliknya. Di era seperti ini, kita dituntut untuk memperkaya hidup secara material, hingga tak sadar bahwa kita adalah korban dari sistem ekonomi zaman sekarang, yang rela hakikatnya sebagai manusia itu hilang. Dibanding, kehilangan materi dari kehidupan.
Mungkin ada benarnya yang dikatakan Erick Formm dalam buku yang berjudul “Dari Pembangkangan Menuju Sosialime Humanistik.”
“Sistem ekonomi kita telah memperkaya manusia secara material, namun juga memiskinkan kemanusiaannya,” kutipan dari buku itu.
Belum lagi regulasi para birokrasi yang terus mempertahankan kita untuk mudah diatur dan dikendalikan layaknya robot yang hanya ikut pada apa yang diperintahkan. Sebagian kecil, seperti pelarangan berorganisasi bagi mahasiswa/mahasiswi semester I dan II dan pelarangan rambut gondrong.
Itu semua terpikirkan olehku, “mengapa masih terasa kediktatoran dalam dunia pendidikanku sekarang,” ujarku sambil duduk termenung. Selaras dengan hal itu waktu menunjukkan pukul 07:15 WITA. Itu artinya aku harus ke kampus dan mulai melangkahkan kakiku keluar dari rumah lalu mengambil motor yang ingin ku kendarai menuju kampus, tapi ditengah jalan handphoneku kembali bergetar tak ku sangka salah satu teman sekelas menelpon, memberitahu bahwa dosen sudah ada dalam kelas, aku pun berterima kasih kepada temanku ini, karena sudah menginfokan kepadaku.
Dengan keadaan terburu-buru akhirnya aku sampai di kampus dan berlari menuju ke kelas dengan jantung yang berdegub kencang karena terlambat. Aku pun memberanikan diri mengetuk pintu lalu masuk ke kelas. Tapi sayang semua tidak sesuai ekspektasi untuk mengikuti pelajaran.
Dosen yang lebih dulu masuk di kelas dengan cermat memperhatikan dengan mata yang tajam itu mengarah kepadaku. Setelah saya duduk dalam kelas, dosen itu menghampiri dan bertanya kepadaku dengan nada yang cukup tinggi.
“Saya lihat ada pemandangan yang beda dari kamu Kipli hari ini, tapi apa ya?, Mungkin rambutmu yang terlalu panjang sepertinya. Sudah mulai gondrong kamu ya?, Saya minta, pertemuan selanjutnya kamu cukur rambutmu itu, karena mata saya kurang enak memandang jika ada mahasiswa saya yang gondrong,” kata dosen itu dengan pandangan yang sinis.
Dengan rasa takut karena melanggar aturan kampus, saya mengangkat tangan saya lalu bertanya kepada dosen itu.
“Bu, saya memanjangkan rambut bukan sekedar ikut-ikutan. Tapi ini adalah bentuk perlawanan saya kepada kampus,” ujarku dengan nada yang tegas.
Dosen itu kembali bertanya.
“Perlawanan apa? Kamu sudah tahu aturan di sini, bahwa dilarang berambut gondrong, apa itu kurang jelas? Dengan nada yang agak tegas.
Saya kembali menjawab
“Perlawanan karena adanya ketidakadilan yang saya rasakan dan dianggap suatu hal yang biasa disini bu,” ujarku sambil menunduk.
Dosen itu mulai kembali ke tempat duduknya dan memperhatikan saya, seakan-akan saya adalah orang yang paling membangkang dalam kelas ini. Lalu ia kembali menanyakan.
“Keadilan apa yang kamu inginkan di kampus ini, apakah kampus ini tidak memperlakukanmu dengan adil?.”
Sambil tetap menundukkan kepala, saya berkata.
“Mengapa orang yang berambut gondrong seperti saya, tidak diizinkan masuk ke dalam kelas bu, dan mahasiswa yang absen di atas 3 kali itu nilainya eror. Sedangkan, dosen yang absen mengajar lebih dari 3 kali itu gaji tetap cair, jadwal perkuliahan yang seenaknya diatur sesuai keinginan, mengikuti seminar, sekaligus diadakan absensi 1 atau 2 pertemuan untuk menutupi jadwal perkuliahan! Apakah itu adil bu?”
Dosen itu diam dengan penyesalan yang terpancar dari raut wajahnya, lalu kembali menghampiri dan menyuruh ku cukur.
Tapi saya tetap pada pendirianku, dan berkata pada dosen itu.
“Saya rasa bu, kampus adalah tempat belajar bagaimana memanusiakan manusia, belajar untuk berpikir kritis, demi kehidupan bangsa yang lebih harmonis. Tapi hari ini, apa yang saya lihat bu, kampus bukanlah tempat untuk memanusiakan manusia, melainkan berusaha menghilangkan kemanusiaannya itu sendiri dengan segala ketidakadilan yang dianggap merupakan suatu hal kewajaran,” kataku.
Tapi lagi lagi, dosen itu tetap menyuruhku cukur, dengan dalih melanggar aturan kampus. Lalu berkata.
“Jika pertemuan selanjutnya saya masih lihat Kipli berambut gondrong. Pilihannya, saya keluar dari kelas dan Kipli masuk atau Kipli yang keluar dan saya tetap mengajar.” Kata dosen itu dengan nada yang rendah.
Selaras dengan itu, saya berdiri dari tempat duduk, lalu berkata.
“Baik bu! Tapi bagi saya, lebih baik saya melanggar aturan serta memilih aturan apa yang pantas diberlakukan kepada manusia, daripada harus tunduk pada aturan yang mengesampingkan keadilan dan pada akhirnya akan menghianati bangsanya sendiri,” ucapku sambil berdiri.
Berangkat dengan ucapanku, kaki ini perlahan melangkah keluar dari kelas dengan perasaan yang kecewa terhadap apa yang dilakukan kepadaku hari ini, serta anggapanku yang selama ini bahwa kelas adalah tempat untuk belajar arti manusia dan kehidupan yang sebenarnya, itu kenyataannya sangat berbeda dengan apa yang kualami hari ini.
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Falaq Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Semester IV.