Oleh: Ardi
Jurusan: Farmasi 09
Tetes peluh keringat mulai berjatuhan membasahi wajah mereka yang kepolos-polosan. Dari kejauhan sudah jelas terlihat mereka dan teman-temannya adalah mahasiswa baru (maba) dikampus hijau ini. Dengan rambut botak, kemeja kucel, celana kain dan tidak lupa pula pita biru yang tersimpul dilengan kanannya. Dari pita biru yang tersimpul tersebut cukup jelas memberitahuku bahwa mereka adalah maba dari jurusan Farmasi.
Mereka datang mendekatiku dengan langkah malu-malu. Salah seorang diantara mereka mulai bertanya, “anak farmasi ki’, kak?”
“Iya,” jawabku singkat.
“Boleh minta tanda tangan ta’?” tanyanya lagi dengan senyum yang sengaja dibuat-buat.
“Sini mi, de’!” kataku.
Mereka pun berebutan menyodorkan kertas daftar tanda tangannya yang mereka rangkul sedari tadi.
Mengumpulkan tanda tangan senior-senior sudah merupakan budaya di jurusan kami, Farmasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar,bagi maba yang baru masuk. Ini dimaksudkan agar mereka mulai mengenal senior-seniornya. Sering saya bertanya dalam hati, apa benar mereka bisa mengenal semua senior-seniornya yang berjumlah ratusan, mengingat jurusan ini sudah berdiri sejak delapan tahun lalu, hanya dengan mengumpulkan tanda tangannya? Terlebih mereka juga harus mengumpulkan tanda tangan beberapa senior yang telah alumni.Itupun wajib mereka kumpulkandalam rentan waktu dua minggu setelah tugas itu diberikan oleh pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Farmasi beserta senior-senior lainnya. Kalaupun ada toleransi bila mereka belum bisa mendapatkan sejumlah tanda tangan tersebut, maka akan diberikan tenggang waktu tambahan hingga kegiatan Bina Akrab.
Tidak heran,terkadang membuat mereka menggerutu dalam hati. Belum lagi banyak diantara seniornya yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. “Belikan ka’ dulu teh kotak, de’, baru kukasi ko tanda tanganku!”Ada juga yang agak genit, “SMS ka’ pale sebentar malam nah, dinda, baru tanda tangan ka’ di buku ta’!” sambil memberikan nomor ponselnya. Malah ada yang sok sibuk, “nanti pi, de’, banyak kukerja ini. Besok atau kapan-kapan pi.”
“Angkatan berapa ki’, kak?” salah satu diantara mereka yang baru datang bertanya saat aku asyikmemberikan tanda tangan.
“Kosong sembilan,” jawabku sambil sesaat melirik ke arah maba yang bertanya.
Setelah semua kertas-kertas itu kuhiasi dengan coretan tanganku, kucoba memperhatikan mereka satu per satu. Merasa diperhatikan, mereka hanya menunduk malu. Mungkin mereka menganggap saya akan sedikit berbuat nakal.
“Siapa ketua angkatan na 2012?” tanyaku memecah suasana.
“Saya kak,” jawab salah satu diantara mereka. Dia melangkah maju sambil mengangkat wajahnya memandangku.
“Apa modalmu jadi ketua angkatan, de’?”
“Keberanian ji, kak,” jawabnya spontan.
“Hanya keberanian?” tanyaku heran.
Dia mengernyit, mulai terlihat kaku mendengar pertanyaanku. Dengan sedikit ragu dia menjawab, “tapi kalau memang ada yang lebih pantas jadi ketua angkatan dari saya, kak, saya siap dan ikhlas digantikan.”
Jawabannya kedengaran tidak sesuai dengan pertanyaan yang baru kuberikan, tapi sebenarnya pertanyaanku pun ingin kuarahkan pada hal itu. Setidaknya dia mungkin sudah tahu dan mungkin mulai risih dengan pertanyaanku yang sedikit menyinggung posisinya.
Masih teringat jelas dibenakku pemilihan ketua di angkatanku, 2009, saat saya menjadi maba sepeti mereka dulu.
“Siapa yang mau jadi ketua angkatan diantara kalian, de’?” tanya salah satu senior saya di depan teman-temanku. Saat itu saya dan semua teman seangkatanku dikumpulkan dalam satu ruangan dengan diawasi sekitar belasan senior dari berbagai angkatan.
Beberapa temanku malu-malu mengacungkan tangan, adapula yang ditunjuk langsung oleh senior, tapi ada juga yang mencoba tes vokal berbicara, begitu menurutku. Hingga ada sekitar sepuluh orang lebih teman saya yang berdiri di depan, menyatakan kesiapan dan keberanian mereka menjadi ketua angkatan. Saya betul-betul terkesima saat itu melihat kepercayaan diri mereka yang luar biasa.
Setelah melakukan proses penyaringan bakal calon (balon) kandidat ketua angkatan hingga terjadi pemilihan langsung pada empat orang calon, terpilihlah satu orang yang akhirnya menjadi ketua bagi mahasiswa Farmasi angkatan kosong sembilan. Nahkoda angkatan 2009 dalam mengarungi perjalanan di jurusan Farmasi UIN ini. Namun seiring berjalannya waktu, pada beberapa pertemuan dan rapat antar mahasiswa Farmasi UIN, tulisan ketua angkatan masihtercantum,hanya saja nama yang berada di bawahnyahilang.Kosong! Sekarang yang menjadi pertanyaan yang acap membebani pikiranku, tanpa nahkoda mau kemana kapal ini dibawa?
Kini terpampang jelas di dinding ruangan ini, sekretariat HMJ Farmasi,enam foto dengan bingkai berjejer rapi. Masing-masing dibawahnya tertulis nama mereka, jabatan “ketua HMJ” lengkap dengan periode jabatannya. Saya tahu sejak tadi beberapa maba yang ada di ruangan ini memandangi foto-foto tersebut, mencoba menerka apakah mereka pernah melihat wajah-wajah sebelumnya.
Berbeda denganku, ketika kupandang foto-foto itu ada ketakutan yang tiba-tiba muncul menyergap relung jiwaku dan mengorek memori kelam masa lalu. Sempat kembali teringat saat masa di mana aku memangku jabatan ketua umum HMJ Farmasi priode 2011-2012, melaksanakan berbagai program kerja bersama rekan-rekan sepengurusan.
Sebelumnya, aku kagum dengan keberanian, ide, dan visi misi rekan-rekan dalam masa pengurusanku untuk memutuskan dan bersepakat memilih beberapa program kerja yang sangat luar biasa. Tetapi seiring berjalannya waktu, ditambah kesibukan pribadinya masing-masing, nyaris membuat program kerja yang dicanangkan,terbengkalai dan menjadi celotehan belaka antar mahasiswa Farmasi bila program kerja itu benar-benar tidak terealisasi. Untungnya masih ada sebagian kecil dari mereka yang memiliki loyalitas dan totalitas untuk tetap berjuang hingga akhir masa pengurusan kami. Mereka pantang menyerah menjalankan seluruh program kerjanya. Sebuah prestasi yang pantas diacungkan jempol.
Lama aku termenung. Masa-masa kelam tersebut ternyata sekarang memberiku banyak pelajaran berharga.Mereka heran melihatku yang masih termengung dan segan meninggalkanku tanpa sebuah kata, minimal ucapan terima kasih.
“Apalagi,de’?” tanyaku, mencoba mengusir mereka secara halus agar bisa leluasa bernostalgia mengingat masa-masa itu.
“Tidak adami, kak, terima kasih,” jawab salah seorang dari mereka lalu berpamitan keluar dari ruangan ini secara teratur.
“Keberanian saja tidak cukup, dinda!” ujarku lirih kepada udara pengap yang menemaniku sendiri di ruangan ini.“Butuh loyalitas, totalitas dan semangat pantang menyerah untuk menjalani kehidupan di Farmasi. Itulah sebenarnya makna yang tertuang dari pita bitu yang tersimpul dilengan kalian.Ceritakanlah turun temurun kepada adik-adik kalian nantinya makna dari pita biru itu. Kenapa bukan warna merah, hijau ataupun warna yang lain.”
Kurebahkan tubuhku dan meregangkan beberapa persendian yang agak kaku setelah melayani pemintaan tanda tangan adik-adik maba tadi. Perlahan kupejamkan mata, mengusik semua realita hidupku selama ini yang mungkin sebelumnya tidak pernah kuharapkan terjadi.