Belajar Jadi Wartawan di Kota “ Horas” Medan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Rahmawati *
Deru suara pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, pertanda sudah lepas landas sekitar pukul 05.30 WITA, seolah memecah kesunyian. Pagi itu perjalananku baru dimulai setelah melewati serangkaian pemeriksaan petugas. Berbekal keberanian! Bismillah, aku yakin sampai di tempat tujuan, Medan, Sumatera Utara, dengan selamat.

Perjalanan ini merupakan rangkaian kegiatan Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN) yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kreatif Universitas Negeri Medan (Unimed), berlangsung selama sepekan. Terhitung sejak (06-11/05/2013) lalu. Diikuti beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Antara lain, UIN Alauddin Makassar, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Lampung, Universitas Sriwijaya Palembang, IAIN Imam Bonjol Padang, Universitas Andalas Padang, Universitas Padang, Institut Tekhnologi Medan (ITM), dan IAIN Sumatra Utara.

Persiapan Keberangkatan
Bagiku ini merupakan kunjugan luar provinsi yang pertama, terlebih lintas pulau. Ya, bisa ditebak ini juga penerbangan yang pertama. Untuk mengikuti kegiatan ini memang tidaklah mudah. Bisa dibilang penuh perjuangan hingga hari H keberangkatan.
Betapa tidak, semuanya begitu tiba-tiba. Meski demikian undangan mewakili Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) LIMA Washilah UIN Alauddin Makassar untuk mengikuti pelatihan ini sebenarnya sudah lama dikirimkan melalui e-mail. Tetapi dengan berbagai kesibukan dan faktor biaya, menjadikan teman-teman seolah bersikap acuh. Dan saya pun tidak pernah mendapatkan informasi tentang ini, setelah menjadi pengurus demisioner.

Tak hanya itu, mereka yang mendaftar juga harus melewati tahap seleksi, sampai terpilih 25 orang setelah memenuhi syarat yang telah ditentukan . Salah satu syaratnya, mengirimkan naskah tulisan sebanyak 3000 karakter alias 10 lembar tentang “ Peran Pers dalam Eksistensi Sejarah”. Tak pelak, hal ini pun menjadi batu sandungan. Mengapa? Untuk memulai menulis saja susah, apalagi menulis sebanyak itu dengan tema tulisan yang terbilang sulit pula.

Memang semuanya begitu tiba-tiba. Mungkin istilah lainnya adalah “The power of kepepet”. Bagi saya inilah kekuatan yang sesungguhnya. Kekuatan untuk memulai sesuatu yang saya anggap sulit sebelumnya. Pasalnya, saya mendapatkan kabar ini minus satu hari pendaftaran akan ditutup. Tetapi dengan komunikasi yang dibangun dengan panitia, akhirnya mereka memberikan sehari tambahan waktu yakni pengiriman ditutup pukul 12.00 WITA Rabu, (24/04/2013). Kesempatan itupun tak kusia-siakan, berbekal sehari, mengerahkan segala kemampuan dan pengetahuan tentang pers, didukung semangat yang full pula, akhirnya saya berhasil mengirimkan tulisan. Tinggal menyelesaikan registrasi dan booking tiket pesawat.

Hari Pertama di Medan
Tiba di bandara Polonia Medan sekitar pukul 11.45 WIB, setelah melewati perjalanan sekitar lima jam dari Makassar, inilah hari pertama saya di kota yang dikenal dengan tagline “ Horas” nya. Kesan pertama menginjakkan kaki di kota ini adalah suasananya yang begitu panas, tampaknya cuaca panasnya melebihi kota Makassar. Pihak panitia yang sedari tadi saya tunggu, sepertinya tak kunjung datang. Baru sekitar satu jam kemudian mereka menampakkan diri. Ternyata mereka juga sedang menunggu kedatangan seorang peserta dari LPM Teknokra, Universitas Lampung.

Perjalanan menyusuri lorong-lorong kota Medan pun dimulai. Pengalaman yang mengesankan bisa melihat geliat warga kota Medan mulai dari pasar tradisional hingga suasana di sekitar gedung-gedung yang berada di sepanjang jalan. Akhirnya sekitar pukul 14.00 WIB, saya tiba di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) dimana panitia LPM Kreatif Unimed sudah berkumpul.

Dengan penuh kehangatan mereka menyambut saya lengkap dengan logat ala Makassar. Kompak mereka berteriak “ Selamat datang di Medan, apa kareba Makassar,” katanya. Tampaknya di ruangan itu sudah hadir pula peserta dari LPM Gelora Sriwijaya, Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya Palembang. Suasana yang santai, sesekali diselipi candaan, seolah menjadikan kami semakin akrab meski kami baru saja bertemu, serta berasal dari daerah, suku, dan agama yang berbeda. Keakraban itu semakin lengkap setelah ditutup dengan santap siang.
Sore harinya, sekitar pukul 17.00 WIB, hujan gerimis mengiringi langkah kami menuju Mess PBSI Medan sebagai lokasi penginapan selama mengikuti kegiatan ini. Tiba di Mess, kami menuju kamar masing-masing yang telah ditentukan panitia. Hingga pada malam harinya, kami pun memulai perkenalan dan sharing pengalaman seputar LPM masing-masing

Hari Kedua
Di hari kedua, PJTLN pun akhirnya resmi dibuka. Bertempat di depan Auditorium Kampus Unimed. Lagi-lagi sambutan hangat tertuju kepada Makassar hingga akhirnya saya diminta ke atas panggung untuk menyapa Mahasiswa yang memadati pelataran auditorium dengan sapaan khas Makassar “aga kareba”. Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan workshop Jurnalistik yang menghadirkan pembicara sejarahwan, anggota DPRD, dan akademisi. Yang unik, para pembicara ini ternyata menyimpang banyak ketertarikan dengan kota “daeng” kita. Termasuk makanan khas Makassar seperti, Konro, Coto, maupun Pisang ijo.

Usai makan siang, pelatihan jurnalistik ini pun dilanjutkan dengan menghadirkan pemateri sejarahwan nasional kontroversial asal Medan, Phill Ichwan Azhari. Dari pemaparannya sudah jelas ia banyak menggugat peristiwa sejarah yang diakuinya sebagai pembohongan. Sebut saja, ia mempertanyakan apakah benar Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, termasuk keaslian lagu Indonesia Raya. Ia juga termasuk sejarahwan yang banyak “memburu” peninggalan sejarah masa lampau hingga ke negara Jerman, termasuk sejarah hadirnya pers di Indonesia.

Hari Ketiga- empat
Seperti hari sebelumnya, di hari ketiga masih diisi dengan materi. Kali ini menghadirkan pemateri, Wartawan Kompas, Muhammad Ahmad Faiq, serta pimpinan redakasi majalah sejarah pertama di Indonesia, Historia, Bonny Triana. Mereka banyak bercerita tentang pengalaman meliput peristiwa-peristiwa bersejarah bahkan mengungkap penemuan baru melalui hasil liputan investigasi. Ahmad Faiq misalnya, melalui materi yang disampaikan, ia menampilkan tayangan perjuangan wartawan meliput di daerah konflik seperti peristiwa kerusuhan GAM di Aceh serta bagaimana wartawan meliput tragedi tsunami di Aceh.
Apalah artinya pelatihan jika hanya dicekoki teori. Karena itu, di hari keempat kamipun diberi tugas untuk meliput di lapangan. Kali ini, saya dan teman kelompok lain mendapat tugas mengunjungi museum Tjong A Fie, museum yang cukup tersohor di kota Medan yang terletak di jl. Ahmad Yani. Tak sampai disitu, saya juga mengunjungi stasiun kereta api dan lapangan merdeka yang merupakan salah satu pusat wisata di kota Medan.
Setelah meliput, panitia memberi intruksi untuk membuat berita lengkap dengan waktu deadline yang cukup menguras tenaga. Meski begitu, hal ini merupakan sebuah tantangan untuk menjadi wartawan profesional.

Danau Toba dan Pulau Samosir
Lawatan ke kota Medan semakin berkesan setelah mengunjungi Danau Toba dan Pulau Samosir. Memakan waktu sekitar empat jam, perjalanan itu kami mulai dari kampus Unimed pada pukul 01.00 dini hari, Sabtu (11/05/2013), dan tiba di Kabupaten Parapat, Danau Toba, sekitar pukul 06.00 pagi. Bisa melihat sunrise secara langsung di ufuk timur danau toba memberi kebahagiaan tersendiri.

Danau Toba dikenal sebagai salah satu danau terbesar di Indonesia memang menyimpang banyak kekaguman bagi siapapun yang pernah mengunjunginya. Dikelilingi pegunungan, air yang terlihat begitu tenang, ditambah suasana yang dingin akan membuat siapapun serasa tak ingin pulang. Selain itu, kita juga bisa melihat lebih dekat “ Batu Gantung” yang memiliki cerita mistis di kalangan masyarakat Danau Toba.

Tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi pulau Samosir sebagai salah satu pulau terbesar di dunia. Untuk menuju pulau ini, bisa melewati jalur laut dengan menyebrangi Danau Toba menggunakan perahu, membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk bisa sampai di Pulau ini.
Tiba di Pulau Samosir, mata akan dimanjakan dengan pernak-pernik khas batak serta souvenir menarik lainnya. Di pulau ini saya juga bisa melihat langsung patung si Jali-jali berjoged dan mengunjungi makam Raja Sidabutar yang berumur sekitar 460 tahun. Raja Sidabutar sendiri merupakan raja pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Samosir. Namun, sebelum masuk di area makam, saya pun wajib memakai ulos (selendang) khas Batak.
Inilah serangkaian perjalanan yang begitu mengesankan. Perjalanan yang sarat nuansa pendidikan sekaligus pembelajaran bagaimana menjadi wartawan adalah pengalaman yang tak akan terlupakan.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami