Cinta yang Ternoda

Facebook
Twitter
WhatsApp
Oleh: Hasbi Zainuddin
ilustrasi
SOMBA serasa di atas angin. Di sampingnya, perempuan yang selama ini dia taksir, telah melunak. Gadis itu tidak minder lagi. Curahan hatinya luap menumpahkan perasaannya yang terluka, persis di samping Somba. Dia menangis terisak mengenang saat-saat dirinya dicampakkan oleh lelaki yang sekarang adalah mantan pacarnya. Dan dia selalu sakit saat mengenang saat-saat itu.

Suasana itu pun tak dilewatkan Somba. Maka, lazimnya tingkah kebanyakan pria, Somba langsung mengusap air mata gadis itu. Membelai rambutnya, dan mendekapnya dalam-dalam. Lalu, meluncurlah kalimat-kalimat manis dari mulutnya. Kalimat yang retoris, penuh dengan bunga-bunga, sok menasehati, termasuk basa-basi.

Tangannya pun dia lingkarkan di atas pundak gadis itu, membuat kepalanya bersandar, dan dia dekap, erat, semakin erat. Gadis itu terbuai. Hingga malam semakin larut, dan keduanya tak kuasa menahan liar birahinya.

Sebagai pria, Somba memang punya banyak pengalaman. Acapkali dia berhasil menaklukkan hati perempuan.

Dia tahu betul, letak kelemahan wanita yang sudah dia akrabi. Meski begitu, Somba sesungguhnya bukan pria yang ganteng. Rambutnya keriting, hidungnya sedikit pesek, dengan kulit yang gelap. Jika dirunut, ciri-ciri itu jelas karena genetik. Ayah Somba, kakek sampai buyutnya juga punya ciri yang sama.

Sedang Cinde, gadis terakhir yang kini dia pacari itu, adalah seorang mahasiswi. Dia baru saja melepas status “Mahasiswa Baru.” Kulitnya putih, bulu matanya lentik, dan badannya semampai. Dia adalah seorang gadis dari sebuah daerah yang sejuk, jaraknya ratusan kilometer sebelah timur Kota Makassar. Keluarganya amat religius, keras, dan masih memegang teguh adat siri’ na pacce.

Sebelas Bulan Berlalu

Masih pagi-pagi sekali. Fajar belum sepenuhnya beringsut, dan warna langit masih gelap. Ayam masih terus berkokok, dan suaranya terus saja bersahutan mengisi heningnya pagi di sebuah kampung di pinggiran kota. Namun, ada suara lain yang tak biasa di pagi itu. Jerit tangis seorang bayi. Suaranya bertalu-talu, mengusik tidur warga salah satu gang perkampungan yang kumuh itu.

Orang pertama yang menemukannya adalah Daeng Nakku. Pengayuh becak yang kebetulan tertidur di sebuah gardu reyot milik juragannya. Semalaman Nakku suntuk bermain domino di gardu itu, hingga tertidur dan ditinggal kawan-kawannya. Dia sedikit gusar, karena semalam, anak-anak dari sebuah panti asuhan tak jauh dari gardu itu, sempat mengerjainya saat tertidur. Kini dia dibangunkan oleh tangisan (anak) bayi.

Nakku’ sekaligus membuat tangisan bayi itu semakin keras, hingga membangunkan warga. Dia tak tahu harus berbuat apa. Digendongnya bayi itu, dan dinyanyikannya lagu-lagu, namun tangis bayi itu malah bertambah kencang.

Berselang beberapa waktu kemudian, satu-satu warga berdatangan, dan Nakku akhirnya dikerumuni. Wajah mereka menyiratkan rasa penuh penasaran. Diperhatikannya bayi itu dengan penuh selidik, berharap mereka mengenalnya. Sayangnya tidak. Bayi malang itu adalah perempuan, bulu matanya lentik, dan rambutnya keriting. Warna kulitnya sedikit gelap, dan usianya ditaksir masih sekitar dua bulan.

Sebagian dari mereka yang kebanyakan ibu-ibu, kemudian bergantian mengambil dan menggendong bayi itu, hingga tangisannya merendah.

Di tempat lain, seorang wanita yang mengenakan kain sebagai tudung di kepala, sedang serius mengamati dari jauh. Dia sudah berdiri di sana sejak pagi-pagi sekali. Tatapannya tajam, penuh harap, namun kemudian berbinar. Sesekali dia menyeka air matanya yang jatuh tak tertahankan.

“Maafkan saya, Nak,” ucapnya dalam hati. Raut wajahnya menyiratkan rasa penyesalan. Tapi pikirannya tetap memaksanya untuk tetap pada pendiriannya. Pikiran yang penuh dengan keputusasaan. Putus asa menunggu seorang pria. Pria yang membuatnya terbuai, dan jatuh cinta. Pria yang pernah berjanji akan datang, suatu saat, membawa kehidupan yang layak; sebuah rumah tangga. Tapi, dia tak kunjung datang. Hingga akhirnya dia itu berkesimpulan, dia mungkin sudah tiada.

Sesaat kemudian, ponselnya berdering. Sebuah pesan singkat, dikirim oleh Jimmy. Ya, seorang manajer usaha spa club dan masase, di kawasan dekat pelabuhan sebelah barat kota. Perempuan itu tampaknya sudah mengukuhkan niatnya untuk bekerja di tempat pria itu. Dia kemudian beringsut, mengendap-endap, dan kemudian pergi.

Dua bulan kemudian

Udara terasa sejuk, di dalam sebuah surau, di salah satu sudut desa, dekat perkebunan kelapa sawit. Atapnya

yang tebal, dan terbuat dari anyaman ijuk, membuat orang-orang di dalamnya kerasan. Seperti tak ada sengat panas matahari di luar.

Suasana itu juga tampak dirasakan seorang pria di dalam Surau itu. Pria itu tampak sedang terbaring lelah. Dia benar-benar kelelahan, siang itu. Dialah Somba. Dia baru saja selesai memetik ratusan tandan kelapa sawit, dekat surau itu.

Somba hampir saja terlelap, saat seorang kawannya datang dan membangunkannya. “Bangunko Somba, banyak orang,” ucap kawannya.

Sedikit gontai Somba melangkah ke pancuran air terbuat dari bambu dekat surau itu. Dia kemudian membasuh air ke wajahnya, berkumur, dan membasuh kembali wajah dengan lebih khidmat. Namun, belum sempat dia membasuh tangannya, dia langsung berhenti, menatap tajam bekas luka goresan parang di lengannya. Luka yang bekasnya masih sangat jelas, meski sudah enam bulan berlalu.

Dia gemetar. Pikirannya berkejaran. Ingatannya langsung tertuju pada peristiwa itu. Peristiwa enam bulan silam. Di saat orang-orang berkelebat menggubrak pintu kamarnya. Orang-orang, dengan amarah yang menggelora, terus menggubrak, hingga pintunya terdobrak, koyak dan patah-patah.

Malam itu, asrama yang dihuni somba sedang gulita. Sakelar pembatas listriknya sedang turun karena kapasitasnya tak sanggup memenuhi pemakaian listrik penghuninya. Sayup-sayup, namun, siluet mereka terlihat jelas. Ada sekitar sepuluh orang, dan tampak sangat geram. Satu di antaranya memegang sebilah parang, dan meradang. Amarahnya membakar. Di tengah gelap, orang itu mengayunkan parang, membabi buta, menghantam lemari, meja, dan apapun di dalam kamar itu.

Berselang beberapa waktu, lampu kemudian menyala. Namun, tak ada satupun orang di kamar itu. Jendelanya terbuka lebar, dan ada beberapa titik darah berceceran di sisinya.

Somba berlari kencang, melintasi gang-gang sempit di kawasan pemukiman warga dan rumah kos-kosan mahasiswa. Degupan jantungnya begitu kencang, setimpal dengan irama langkah kakinya. Dia terus saja berlari tanpa sadar, melebihi batas kemampuan normalnya, meskipun sudah cukup jauh dia dari asrama, dan orang-orang itu pasti tak bisa menemukannya.

***

Somba merasa amat beruntung malam itu. Benaknya berkali-kali menyebut gelap, mati lampu, dan pembatas listrik sebagai joki keberuntungannya. Di suatu hari, keberuntungan itu kemudian dia sadari sebagai sebuah anugerah. Mungkin sebuah jalan yang ditunjukkan Tuhan. Untuk insyaf.

Somba membasuh kaki kirinya. Konsentrasinya masih buyar. Pikirannya berkejaran, melayang ke masa silam.

“Janganki ke kampung… Saya mohon, kita bisa dibunuh kalau pulang,” ujar Cinde, berkesah. Dari ujung telepon, Somba bergidik, tak bisa berkata apa-apa. Setelah dia mengutarakan rencananya menghadap keluarga gadis itu, di kampungnya. Untuk bertanggungjawab.

“Saya ini sudah dibuang… saya tidak diterima lagi keluarga… lebih baik kita ke kampungta saja,” tukas Cinde. “Tidak Cinde, saya yang temui bapakmu. Apapun risikonya, saya tanggungjawab,” tukasnya, memberanikan diri. Namun, Cinde terus melarang. Suaranya semakin parau. Isakan tangisnya mengisyaratkan bahaya besar yang mengancam.

Pembicaraan telepon itu tidak berlangsung lama. Hingga hari terus berlalu, dan dia semakin kebingungan. Dia tak habis pikir, adat macam apa pula yang membuat sebuah keluarga sampai rela membuang puterinya, bahkan tak segan membunuh, karena puteri itu sudah terlanjur ternoda.

Somba menyelesaikan salat sunnat dua rakaat. Batinnya mulai tenang, dan jernih memikirkan peristiwa itu.

Somba membatin, mungkin Cinde mengira dirinya sudah mati kala itu. Kata-kata Cinde kemudian terngiang di benaknya. “Cepatki lari, sembunyi. Bapak dan om saya marah sekali, mauki dibunuh. Tinggalkan asramata cepat, saya mohon….” Permintaan Cinde itu tak digubris Somba. Dia tak peduli.

Di akhir salatnya, Somba berzikir dan berdoa. Untuk kesekian kalinya, air matanya menetes, menyesali perbuatannya di masa silam. Sudah sebulan lebih dia menjadi kuli pekerja di perkebunan kelapa sawit itu. Selama itu pula, saban hari dia terus menekuri masa silamnya yang kelam.

Air matanya terus menetes. Dalam diam, dia berucap. “Semoga kau dan anak kita baik-baik di sana. Kita sudah punya tempat tinggal, meskipun masih kontrak, Cinde. Tunggu saya. Besok saya akan menjemputmu, membawamu kesini, dan kita bangun hidup baru…”

Bulukumba, 16 Februari 2012

*Penulis Adalah Mantan Ketua 
Umum UKM LIMA UIN Alauddin

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami