Washilah – Siang itu, di beranda rumah panggung yang dikitari hamparan sawah menghijau, keluarga Mustakim sedang berkumpul. Mereka menyantap buras atau lontong dan laha atau olahan ikan mentah segar, makanan khas Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) Sulawesi Selatan.
Di Sidrap, penganut Tolotang semakin menyusut jumlahnya. Mereka tersisih. Setelah negara memaksa agar mereka menganut agama Hindu.
Keluarga Mustakim, satu dari sekian keluarga penganut agama lokal Tolotang yang bertahan di Desa Kanyuara, Kecamatan Watang Sidenreng, Sidrap.
Adik ipar Mustakim, Irma mengisahkan keluarganya pernah mengalami pengusiran warga kampung saat hendak menjalankan ritual Sipulung.
Lima penganut Tolotang (sebelah kanan dan kiri) dan satu warga Enrekang (tengah) berkumpul di Saladan-tempat duduk daerah setempat, Kanyuara, Sidrap, Rabu (19/07/2023).| Foto : Washilah-Heni Handayani.
Orang Tolotang mengenal Sipulung sebagai ritual memanjatkan doa dan memohon kepada leluhur agar sejahtera dan terlindung dari marabahaya. Satu keluarga masyarakat Tolotang dari berbagai daerah perantauan berkumpul dalam satu tempat, tepatnya di kuburan nenek moyang.
Ritual Sipulung merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur lengkap dengan sesaji berupa makanan, wangi-wangian, uang, dupa yang dinyalakan. Mereka melepaskan ayam, duduk bersila di atas tikar tradisional, berkonsentrasi, dan memusatkan jiwa dan raga pada leluhur.
Mereka meyakini Dewata Seuwae sebagai Tuhan dan melaksanakan ritualnya dengan menyembah kuburan nenek moyang dan batu-batuan.
Irma dan keluarga hingga kini masih trauma karena larangan berziarah ke leluhur. “Kami sekeluarga terpaksa pergi meninggalkan lokasi ziarah padahal tidak melakukan hal yang salah,” ujar adik ipar Mustakim, Irma kepada Heni Handayani dari Washilah pada 19 Juli 2023 di kediamannya, Sidrap.
Irma mengenang, dua hari setelah perayaan idul fitri 23 Maret 2023, sekelompok pemuda dan orang sepuh berbondong-bondong mendatangi kuburan di atas bukit Bernama Buntu Kapere atau Gunung Kafir di Desa Bonto, Kecamatan Malua yang berjarak 37 kilometer dari pusat Kabupaten Enrekang.
Masyarakat menamainya Gunung Kafir karena kuburan tidak menghadap arah barat atau kiblat, melainkan ke timur. Lokasinya juga berada pada puncak bukit, yang kini juga dipergunakan sebagai pekuburan umum warga setempat.
Kuburan yang didatangi oleh masyarakat Tolotang terletak paling tinggi ketimbang kuburan lainnya. Luas makam itu dua kali lipat lebih ketimbang kuburan pada umumnya dengan batu nisan setinggi 1,5 m dan nisan lainnya setinggi 1 m.
Batu Nisan Kuburan Nenek Songkok setinggi 1,5 m yang sebelumnya di pagar besi cat berwarna putih oleh warga setempat.| Foto: Washilah-Heni Handayani
Mustakim pertama kali berziarah ke kuburan itu pada 2019. Semula warga setempat tidak mempermasalahkan kedatangan mereka saat itu. Setelahnya, Pandemi Covid-19 membuat Mustakim tidak berziarah selama dua tahun.
Ia kembali ke sana pada 2022. Kala itu, Mustakim datang bersama keluarga kecilnya, namun ditolak oleh masyarakat setempat.
Saat sekelompok penganut Tolotang tiba di perkuburan, warga setempat yang sebagian besar beragama Islam menolak.
Mereka menyebut ritual orang Tolotang musyrik. Mereka melarang orang Tolotang berziarah dan masuk kompleks pemakaman karena tidak sesuai syariat.
Menurut Mustakim, sebanyak 20 penganut Tolotang Kabupaten Sidrap diusir saat mengunjungi kuburan di Buntu Kapere.
Warga Setempat menyebut kuburan itu Lamunan Nenek Songko’ atau dalam bahasa Duri-bahasa daerah setempat yaitu Kuburan Nenek Songkok.
Sitti (85) dari Enrekang datang menemui Walle (70), kerabatnya yang puluhan tahun tidak bertemu karena memutuskan menikah dengan orang Tolotang l Foto: Washilah-Heni Handayani.
Setelah bertemu dengan Mahaning, Kepala Desa Bonto, Mustakim menjelaskan tujuan penganut Tolotang hanya sekadar ziarah kubur.
Mahaning mengizinkan Mustakim dan penganut Tolotang berziarah dengan syarat tidak membawa apapun yang berhubungan dengan ritual atau budaya mereka.
“Saya sebagai kepala desa tidak mungkin langsung merapat ke salah satu pihak, harus berjalan di tengah-tengah. Tidak ada hak saya melarang. Soal keyakinan kan bukan wilayah saya,” kata Mahaning kepada Heni di Kantor Kecamatan Malua, Enrekang pada 20 Juli 2023.
Mustakim tidak lagi membawa sesajen yang sempat dipermasalahkan oleh warga pada kunjungan selanjutnya. “Baca-baca memang di rumah, nanti disiram di kuburan saat sampai, tidak perlu membawa sesajen dan lain-lain,” katanya dalam bahasa bugis setempat.
Mustakim bercerita suatu hari dia sakit dan kerap bermimpi melihat kuburan leluhurnya. Beberapa kali Mustakim mencoba pengobatan hingga ke rumah sakit. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh.
Uwa–panggilan kehormatan bagi orang yang dituakan masyarakat Tolotang– menyarankan Mustakim menjalani ritual Sipulung.
Mustakim bernazar dan berjanji akan terus berkunjung ke kuburan yang puluhan tahun tidak pernah lagi dikunjungi itu bila ia sembuh.
Masalahnya masyarakat setempat tetap menolak kedatangan penganut Tolotang. Sikri, salah satu warga yang menolak kedatangan penganut Tolotang. “Mending pulang saja, sebelum warga kampung bermain kasar. Mereka tidak boleh keberatan karena kami yang punya kampung,” kata dia.
Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia UIN Alauddin Makassar, Fadli Andi Natsif, mengatakan warga tak boleh melarang siapapun, termasuk penganut Tolotang untuk berziarah. Makam itu merupakan ruang publik. “Larangan berdoa maupun ziarah melanggar hak orang untuk menjalankan keyakinannya,” kata Fadli.
Kepercayaan Tolotang berasal dari Kabupaten Wajo yang berpusat di Amparita, Sidrap. Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar menyebutkan pada abad ke-17 raja Wajo yang bernama Petta Mattoas memeluk Agama Islam. Dia memerintahkan semua masyarakat agar menganut Islam.
Bila tidak mau meninggalkan Tolotang dan menganut Islam, maka orang tersebut diusir dari Wajo sehingga komunitas Tolotang menyebar hingga Amparita, Kanyuara, Otting, dan Dongi. Namun, komunitas ini mayoritas bermukim di Amparita. Keseharian mereka seperti orang Bugis pada umumnya.
Pemeluk kepercayaan ini sekitar 15 ribu jiwa. Komunitas ini diakui oleh pemerintah sebagai aliran kepercayaan pada tahun 1966 berdasarkan surat keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu.
Sebagian memilih bernaung di bawah agama Hindu sehingga disebut Tolotang Hindu.
Penganut Tolotang yang juga lulusan Manajemen Magister Institut Teknologi & Bisnis Nobel Indonesia, Putri Mentari Syarifuddin, mengungkapkan bahwa kini masyarakat Tolotang berkurang, sekitar 5 ribu jiwa.
“Kurang lebih segitulah, itu karena banyak orang Tolotang yang terbagi dalam aliran Tolotang muslim atau Tolotang Benteng dan aliran tolotang murni atau Hindu,” katanya.
Penulis: Heni Handayani
___________
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.