UIN Alauddin Dulu dan Sekarang

Facebook
Twitter
WhatsApp
Oleh |  Muh. Quraisy Mathar
Rasanya cukup lama saya rehat dalam dunia tulis menulis di media. Fase 3 bulan tanpa membuat selembar tulisan, memang merupakan sebuah rehat yang cukup lama buat saya. Kepadatan rutinitas struktural akhir tahun beserta laporan hasil kegiatannya menjadi faktor penghalang terbesar buat saya untuk menulis di hari-hari terakhir ini. Bahkan rutinitas tulisan rekreatif yang kadang tak lebih dari satu paragraf berbentuk “status” di facebook juga tak sekalipun ter-update. Lalu seorang mahasiswa koresponden tabloid UKM Lima Washilah UIN Alauddin datang ke ruangan kerja sembari memohon kesediaan saya untuk menulis sebuah artikel (opini) di tabloid tersebut. Saya langsung mengiyakan, mahasiswa koresponden tersebut selanjutnya menyodorkan surat permohonan penulisan opini dengan tema “UIN Alauddin Dulu dan Sekarang”. Akhirnya, ada waktu lagi untuk melampiaskan hasrat menulis yang sempat berkarat di penghujung tahun ini.
Sebetulnya dulu tidak ada UIN Alauddin, yang ada hanyalah IAIN Alauddin. Penyebutannya orang awam pun berubah dari penyebutan Ang Ing Eng berubah menjadi U I Eng. IAIN Alauddin memang telah terkonversi menjadi UIN Alauddin dan sejak saat itu pula kisah tentang IAIN Alauddin berakhir. Huruf awal I dan A dalam IAIN yang merupakan singkatan dari Institut Agama selanjutnya digantikan oleh sebiji huruf U yang merupakan singkatan dari Universitas. Maka huruf I dan N (Islam Negeri) yang merupakan huruf akhir dalam IAIN pun menjadi saksi bisu terkonversinya IA menjadi U, Institut Agama berubah menjadi Universitas. Lalu apa hebatnya U dibandingkan IA? Bukankah di berbagai tempat yang lain, Institut justru lebih bonafit dibandingkan dengan Universitas yang ada di sekitarnya. Sebut saja, Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS Surabaya), Institut Pertanian Bogor (IPB) atau Institut Kesenian Jakarta (IKJ) merupakan beberapa contoh kecil sebuah Institut yang justru lebih bonafit dibandingkan dengan Universitas yang lain. Artinya, tidak ada korelasi langsung antara perubahan Institut menjadi Universitas dalam urusan bonafitas.
Saya tidak akan terlalu jauh ke persoalan konversi dan penggantian IA menjadi U tersebut. Saya lebih dibatasi oleh tema UIN Alauddin Dulu dan Sekarang. Namun, di paragraf awal sudah saya sebutkan bahwa UIN Alauddin ini masih seumur jagung muda, sehingga belum layak untuk ditafsirkan dalam konteks keduluannya. Saya yakin, tema asli opini yang diberikan kepada saya adalah perbandingan antara UIN Alauddin sekarang dengan IAIN Alauddin yang dulu. Nah, kalau tentang itu, saya mungkin memang adalah salah satu ahlinya. Bagaimana tidak, fase masa kanak-kanak, saya lalui dengan tak satupun gedung di kampus IAIN Alauddin yang tak pernah saya panjati. Pada fase tersebut, gedung maksimal hanya 2 lantai, namun puncak atap tertingginya adalah atap gedung serbaguna yang kini telah disulap menjadi gedung training centre yang berlantai 7. Beberapa waktu lalu, saat berdiri di salah satu jendela gedung training centre, saya merasakan aroma ketinggiannya, namun jujur saya katakan “nuansa kebersahajaannya masih kalah jauh dengan atap gedung serbaguna IAIN Alauddin yang dulu”, atau mungkin persepsi tersebut lahir dari saya yang memang “orang dulu”.
Salah satu ikon tidak resmi sebuah kampus adalah keberadaan rumah jabatan (dinas) rektor. Rumah jabatan rektor UIN Alauddin masih belum ikut pindah mengikuti hijrahnya sebagian besar kegiatan administrasi dan akademik dari kampus I ke kampus II di daerah Samata, Gowa. Rumah jabatan rektor masih tetap berdiri di sudut kanan belakang kampus I. Rumah jabatan tersebut sebetulnya hanyalah merupakan sebuah peran pembantu pada fase sejarah perkembangan IAIN sampai terkonversi menjadi UIN Alauddin. Namun, posisinya yang bukan sebagai pemeran utama, justru menjadikan rumah jabatan sebagai ikon yang lebih objektif dalam memberikan fakta-fakta tentang bagaimana humanisnya IAIN yang dulu dibandingkan UIN yang sekarang. Silahkan tanyakan kepada para pensiunan (baik dosen, staf administrasi, satpam, supir serta beberapa alumni) beserta keluarga dan kerabatnya tentang bagaimana suasana rumah jabatan rektor pada fase IAIN dulu? Silahkan tanyakan juga kepada warga yang bermukim di sekitar kampus tentang hal yang sama. Lalu tanyakan juga hal tersebut kepada para senior (dosen dan staf administrasi) yang belum pensiun atau kepada siapa saja yang pernah berkunjung pada fase IAIN. Jawabnya kemungkinan akan sama, yakni “kami lebih suka dengan suasana rumah jabatan rektor yang dulu”.
Bagi sebagian pembaca, mungkin ini hanyalah sebuah ungkapan romantisme masa lalu. Namun bagi sebagian yang lain, nuansa masa lalu tersebut adalah sebuah perwujudan IAIN dengan rasa UIN, Institut dengan humanisme dan estetika yang sudah ala Universitas. Berbeda dengan rumah jabatan rektor hari ini yang justru menjadi sebuah wujud UIN dengan aroma STAIN. Pada fase IAIN, rumah jabatan rektor menjadi wadah berkumpulnya seluruh komunitas yang ada di IAIN. Tidak ada sekat struktural, fungsional apalagi yang namanya sertifikasi. Seluruh manusia IAIN pada fase tersebut lebur dalam kebersahajaan di rumah jabatan tersebut. Bagaimana dengan kondisi keterkinian rumah jabatan tersebut? Silahkan para pembaca untuk membuat tafsiran masing-masing, sebab kita memang masih menjadi bagian dari masa kini, walaupun sebagian dari kita tetap masih merindukan kesederhanaan dan kebersahajaan rumah jabatan rektor seperti dulu, saat kita masih disebut Institut Agama Islam Negeri Alauddin. 
*Penulis adalah ketua jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami