Oleh : Andi Annur Aisyah
Anjirrr… Menorna itu orang, liatki maui ke kampus atau mau ke kondangan?”
“Kalau saya pakai bedak bayi ja, nda usah mi pakai skincare kayak itu.”
“Ketatna bajuna.”
“Ihh liatki pakai jilbab, tapi masih calleda.”
Hai kamu! Iya kamu.
Kamu tahu tidak? kalau sebenarnya cibiran-cibiran seperti ini tidak asing kita dengar atau mungkin bisa jadi secara sadar atau tidak kita menjadi pelaku dari cibiran itu.
Tahu tidak hal yang lebih parah dan much potentially dari pada itu? Iya cibiran yang datang secara langsung dari perempuan untuk mengintimidasi sesama perempuan.
Perilaku ataupun tindakan yang seolah-olah tidak membenarkan pilihan orang lain, seperti cara memilih pakaian, ber Make-Up, mengolok karakter dan sikap perempuan, secara tidak langsung mengarahkan kita pada tindakan diskriminasi dan merendahkan sesama perempuan atau biasa disebut sebagai internalized mysoginy.
Kita sepenuhnya harus sadar bahwa Standar maupun konstruksi sosial di masyarakat sudah sedemikian rupa mengkotak-kotakkan laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan disimbolkan sebagai feminim yang berarti keibuan, lemah-lembut, dan pasif, sementara laki-laki dilambangkan sebagai Maskulin yang berarti sosok yang kuat, pemimpin, dan aktif dalam membuat keputusan.
Yahh, dari dulu perempuan memang selalu diobjektifikasi, yang rasanya perempuan hadir hanya untuk disandingkan dengan laki-laki, beauty standards pun juga harus ditentukan oleh laki-laki.
Istilah “perempuan murahan” acap kali tersandang bagi perempuan-perempuan yang memakai pakaian yang terbuka ataupun perempuan yang memilih pulang malam. Perempuan juga kerap mendapatkan perlakuan yang buruk jika dirasa perempuan tidak mengikuti standar yang berlaku. Dalam kasus pemerkosaanpun misalnya, Praktik menyalahkan korban masih masif dilakukan bahkan tidak sedikit perempuan menyalahkan pakaian korban.
“Salahna, karena nataumi pulang malam rawan kriminalitas, pakaian terbuka lagi.”
Padahal korban adalah perempuan, namun tetap menjadi sasaran kesalahan oleh sesama perempuan.
Masyarakat cenderung mengintervensi cara perempuan menetapkan pilihannya dalam memakai pakaian, dibandingkan mendidik pelaku agar bersikap sopan dan tidak berpikiran kotor agar perempuan tidak diperkosa.
Apakah perempuan yang memakai pakaian terbuka semudah itu untuk diidentifikasi sebagai “Perempuan murahan?” padahal pakaian itu adalah salah satu cara mengungkapkan ekspresi.
Secara tidak sadar pemahaman tersebut terdoktrin di dalam kepala perempuan, sehingga hal ini menjadi salah satu sebab mengapa patriarki masih tetap langgeng sampai sekarang.
Perempuan dididik untuk tidak memiliki impian dan karakternya, sebab realitanya penindasan perempuan diperkuat oleh adanya andil sesama perempuan untuk mencibir dan merendahkan sesama perempuan.
Jika seperti ini apa yang harus dilakukan? Jawabannya sangatlah sederhana, tapi masih sangat sulit dilakukan.
Jika kamu melihat perempuan yang mengespresikan dirinya dengan hal-hal yang mereka ingingkan, jangan dikomentari, cukup beri apresiasi karena telah berhasil mewujudkan keinginan dengan caranya sendiri. Ketika melihat sesama perempuan yang memiliki badan yang terlalu kurus atau gemuk jangan dicibir hanya karena beauty standards masyarakat sekarang adalah langsing dan tinggi.
Beri perempuan ruang dan dukungan untuk bisa mengandalkan dirinya sendiri, karena semua perempuan bebas menjadi apapun yang diinginkan, karena perempuan lahir bukan menjadi pelengkap laki-laki, namun mereka berhak menjadi pribadi yang utuh atas dirinya sendiri dan hal itu itu adalah valid.
Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Hubungan International (HI) Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik (FUFP) Semester IV (Empat).